Membedah Putusan MK Soal Pemilu Serentak
Utama

Membedah Putusan MK Soal Pemilu Serentak

Beragam persoalan yang muncul dalam penyelengaraan pemilu serentak perlu dievaluasi secara “radikal”. Adanya pengujian konstusionalitas “pemilu serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu bisa menjadi bahan evaluasi bersama.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Artinya, putusan ini telah memberi definisi yang dimaksud dengan “pemilu serentak”, memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu daerah (lokal). Namun, berbeda dengan Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang tidak memberi definisi yang jelas terkait sistem pemilu serentak? MK yang saat itu diketuai Hamdan Zoelva seolah menyerahkan kepada pembentuk UU untuk memberi pengertian mengenai pemilu serentak.    

 

Kontradiksi

Mengomentari dua putusan MK itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Prof Susi Dwi Harijanti menilai efek pemilu serentak pangkal persoalannya terletak pada putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang menghapus norma pelaksanaan pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan pileg dalam UU Pilpres pada Januari 2014 silam. Sebab, dalam Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 ini, MK tidak memberi definisi yang jelas dan tuntas apa yang dimaksud dengan pemilu serentak. Jika dibandingkan dengan putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan pilpres dan pileg digelar terpisah tetap konstitusional.

 

“Dalam putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 tidak menjelaskan dan memberi petunjuk dari ‘pemilu serentak’. Mahkamah justru menyerahkan kepada pembuat UU untuk menafsirkan frasa ‘serentak’ dalam UU Pemilu,” bebernya. (Baca Juga: Dilema Sistem Pemilu Serentak)

 

Menurut Prof Susi, MK tidak konsisten karena kedua putusan MK itu kontradiksi. Padahal aturan yang diuji sama terkait dengan aturan pemilu anggota DPR, DPR, DPR, DPRD dan presiden serta wakil presiden. Semestinya, MK dalam putusan 14/PUU-XI/2013 konsisten dengan Putusan MK 51-52-59/PUU-VI/2008. Apalagi, Prof Maria Farida saat itu memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan memegang teguh putusan MK 51-52-59/PUU-VI/2008.

 

“Seharusnya, Putusan MK Tahun 2014 dalam pertimbangannya, dapat menggunakan dalil-dalil yang termuat dalam Putusan MK Tahun 2008,” kata Susi.

 

Dalam pertimbangan Putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008 terkait jadwal pemilu yang termuat dalam Pasal 3 ayat (5) berbunyi, “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu DPR, DPRD dan DPD.” Mahkamah berpendapat hal tersebut merupakan cara atau persoalan prosedural pelaksanaan yang tidak bertentangan dengan hukum dan konstitusi.

 

Pertimbangan ini sama dengan pendapat tiga hakim MK yang mengajukan dissenting opinion, yang menyatakan pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan setelah pemilu legislatif tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Tapi, dalam putusan MK No. 14/PUU-XI/2013, MK berpendapat sebaliknya, Pasal 3 ayat (5) UU Pilpres dinyatakan bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional). Namun, putusan MK ini berlaku pada Pemilu Tahun 2019.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait