Membentuk Sistem Pemerintahan Kokoh, Bukan Tokoh
Kolom

Membentuk Sistem Pemerintahan Kokoh, Bukan Tokoh

Pembenahan sistem pemerintahan Indonesia sudah tidak dapat ditunda lebih lama lagi. Agenda ini patut ditempatkan sebagai prioritas dalam berbangsa dan bernegara.

Bacaan 6 Menit
Membentuk Sistem Pemerintahan Kokoh, Bukan Tokoh
Hukumonline

Pokok bahasan tentang bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahan diulas dalam teori Ilmu Negara. Apa itu Ilmu Negara? Ilmu ini sebenarnya mengenalkan pokok-pokok pikiran yang mendukung latar belakang lahirnya dan pembentukan suatu negara. Materinya sangat universal dan abstrak serta tidak terikat pada waktu dan tempat tertentu. Mata kuliah ini biasa disampaikan pada mahasiswa fakultas hukum tingkat pertama di Indonesia. Materi Ilmu Negara sebagai pengantar sebelum mengambil mata kuliah lain yang topiknya juga negara. Sebut saja antara lain hukum tata negara, hukum administrasi negara, atau hukum internasional. Muatan mata kuliah ini sebenarnya adalah filsafat kenegaraan.

Baca juga:

Kedudukan Presiden dalam Sistem-Sistem Pemerintahan

Mengenal Lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif

PSHK:UU IKN Bentuk Kesewenang-Wenangan Kuasa Legislasi Pemerintah-DPR

Teori dalam Ilmu Negara tidak hanya sekadar memberi pemahaman tentang bagaimana bernegara yang baik dan benar. Universalitas topik-topik dalam kajiannya dapat dijadikan dasar kritik terhadap praktik di bidang hukum ketatanegaraan. Konteks ketatanegaraan yang dimaksud adalah yang bersifat konkrit—terikat waktu dan negara tertentu. Kali ini kritik dari penulis ditujukan terhadap relasi Presiden sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif terhadap stagnasi sistem pemerintahan di Indonesia.

Sistem pemerintahan Indonesia yang ditentukan dalam UUD 1945 setidaknya meliputi tujuh pengaturan. Pertama, bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi. Kedua, bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial. Ketiga, Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket. Keempat, kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Kelima, parlemen terdiri dari dua bagian (bikameral) yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keenam, para anggota dewan sekaligus anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan. Ketujuh, kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya.

Sistem pemerintahan dalam UUD 1945 merupakan pedoman dalam membangun Indonesia seutuhnya. Masyarakat Indonesia mengetahui bahwa sejak era reformasi bergulir telah terjadi perubahan dan pembangunan yang begitu pesat. Ini dibuktikan dengan berbagai macam sarana dan prasarana infrastruktur yang berdiri kokoh nan megah. Lantas, bagaimana dengan kesejahteraan manusianya? Apakah telah berbanding lurus dengan kemegahan infrastrukturnya?

Fakta menariknya adalah setiap rezim pemerintah—baik yang telah berlalu masanya maupun yang tengah menjalani masanya—menyatakan klaim pertumbuhan ekonomi signifikan bagi masyarakat Indonesia. Berbagai data keuangan, statistik, dan bahan referensi pendukung lainnya dijadikan bukti pencapaian pemerintahannya. Salah satu parameternya mengacu pada catatan pertumbuhan Produk Domestik Bruto per kapita Indonesia. Menurut data perkiraan Asian Development Bank mencapai 3,8% pada tahun 2023 dengan prediksi sebesar 4,0% pada tahun 2024. Tercatat ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,03% pada kuartal pertama tahun 2023 dibandingkan dengan kuartal pertama tahun 2022. Pertumbuhan ini turut dipengaruhi dengan proyeksi daya beli masyarakat (power parity purchase). Terlihat tingkat kecenderungan budaya konsumtif masyarakat Indonesia begitu tinggi.

Bagi masyarakat Indonesia deretan informasi angka pertumbuhan ekonomi tidak berdampak penting. Hal terpenting bukan sekadar angka tetapi realitas terwujudnya stabilitas ekonomi bagi masing-masing kepala keluarga. Itulah kesejahteraan yang hakiki dalam membangun kehidupan. Sesuai dengan amanat UUD 1945, pemerintah mengemban tugas untuk menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia. Amanat ini mutlak untuk segera diwujudkan. Syaratnya perlu ada suatu sistem pemerintahan yang stabil untuk mewujudkannya.

Belajar dari Sejarah

Bangsa Indonesia seharusnya belajar dari sejarah. Pemerintahan Soekarno berusaha untuk membangun bangsa dengan mengusung ideologi sebagai pondasi bangsa. Pemerintahan Orde Baru Soeharto menempuh jalan lain dengan menjalankan program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Metodenya dikenal dengan sebutan “Akselerasi Pembangunan 25 Tahun dengan 8 Jalur Pemerataan”. Konsep dasarnya Trilogi Pembangunan yaitu Stabilitas Nasional, PertumbuhanEkonomi, dan Pemerataan. Artinya, stabilitas nasional mutlak diperlukan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Program Pelita I s.d. Pelita VI dilakukan selama masa Soeharto menjabat sebagai penguasa eksekutif di Indonesia. Hanya saja Pelita VI tidak dapat dirampungkan akibat krisis moneter dan jatuhnya rezim Orde Baru tahun 1998.

Terlintas pemikiran, mengapa pucuk pimpinan eksekutif Orde Lama dan Orde Baru berambisi menjabat begitu lama? Sampai-sampai isi batang tubuh UUD 1945 soal masa jabatan presiden—yang semula diatur seumur hidup—diubah menjadi tidak tak terbatas pada masa Orde Baru. Jangan-jangan keinginan menjabat dalam kurun waktu yang begitu lama tidak semata-mata demi melanggengkan kekuasaannya. Justru, mungkin terdapat agenda membangun sistem pemerintahan yang solid. Indikasi ketidakinginan untuk lama-lama berkuasa ditandai dengan proses suksesi pada kedua rezim ini tidak diwarnai pertumpahan darah. Penguasa yang jatuh tidak melakukan perlawanan apalagi sampai dalam bentuk perlawanan bersenjata. Lebih jauh lagi, selalu disebutkan bahwa Pelita VI merupakan tahap lepas landas. Hal ini dapat dimaknai bahwa tugas pemerintah untuk membangun pondasi sistem pemerintahan melalui programnya telah selesai.

Bandingkan dengan sejarah di Amerika Serikat sebagai representasi negara maju. Bagaimana predikat negara maju itu dapat melekat kepadanya dapat dilihat dari perjalanan sejarahnya. Layaknya bangsa-bangsa yang baru merdeka, umumnya akan melaksanakan pembangunan melalui tiga tahap, yaitu unifikasi, industrialisasi dan welfare state. Masing-masing tahapan dilalui dalam kurun waktu yang begitu lama hingga ratusan tahun. Tidak jarang didahului dengan perang saudara. Lihat bagaimana Jepang di zaman dahulu. Penguasa feodal Oda Nobunaga berupaya untuk menyatukan wilayah Jepang di bawah kekuasaannya. Jepang akhirnya berhasil dipersatukan di era shogun Tokugawa Ieyasu. Langkah unifikasi yang dilakukan oleh Tokugawa antara lain unifikasi sistem peradilan di seluruh wilayah Jepang. Sejarah menunjukkan baik di Amerika Serikat maupun di Jepang menuntut kerja keras dan waktu yang begitu lama untuk membentuk sistem pemerintahan yang kuat. Tidak bisa simsalabim.

Jika sistem pemerintahan adalah sebuah kapal, perlu diketahui untuk tujuan apa kapal dibuat sebelum membangun kapal yang kokoh. Kapal yang dibuat akan menjadi alat untuk mencapai tujuan itu. Lalu, kapal pun tidak dapat berlayar tanpa seorang kapten yang menjadi nakhoda. Inilah letak esensinya yaitu fungsi kapal dan tugas dari seorang kapten. Keduanya adalah hal yang berbeda satu dengan lainnya.

Mari ambil contoh dari proses pemilihan presiden di Amerika Serikat. Presiden terpilih—setelah pengambilan sumpah dan pidato inaugurasinya—akan dituntun ke Gedung Putih. Ketika sampai di ruang kerjanya, dirinya disambut oleh protokol kepresidenan yang kemudian menjelaskan tentang tugas dan kewajiban Presiden—termasuk hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan—sebelum diberikan akses mengetahui rahasia negara. Tampak bahwa di Amerika Serikat sudah terdapat suatu sistem yang bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara.

Hal berbeda terjadi di Indonesia. Polemik timbul karena setiap terjadi pergantian Presiden akan terjadi pergantian kebijakan yang hampir menyeluruh. Presiden yang diibaratkan sebagai kapten seolah bebas mengganti jenis kapal menjadi kapal perang, kapal tanker, kapal tunda, atau terserah apa pun itu. Pada periode pertama pengangkatan Presiden Jokowi, ia mengatakan bahwa pemerintahan sebelumnya tidak menyisakan anggaran untuk menjalankan roda pemerintahan. Kali ini tampak jelas keberlanjutan Ibu Kota Nusantara dipertaruhkan pada kandidat presiden terpilih dalam pemilu 2024. Seharusnya peristiwa-peristiwa semacam ini tidak perlu terjadi apabila Indonesia telah memiliki sistem pemerintahan yang kuat.

Mari melihat kembali Amerika Serikat. Mantan Presiden Bill Clinton dulu terpilih dengan kondisi kurang dari 51% populasi masyarakat Amerika Serikat menggunakan hak pilih. Bagi masyarakat Amerika Serikat, peristiwa semacam itu tidak aneh. Mereka meyakini yang bekerja adalah sistem meski siapa pun yang memangku jabatan presiden. Sistem yang telah memberikan mereka jaminan hidup dan kesejahteraan. Amat disayangkan hal ini belum tumbuh menjadi sebuah tradisi bernegara di Indonesia.

Pada akhirnya, ada tiga pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Pertama, Indonesia perlu membangun sistem pemerintahan yang mampu menjamin kehidupan dan kesejahteraan rakyatnya, bukan penguasanya. Hanya saja untuk membentuk pemerintahan yang baik, benar, dan kokoh membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Hal ini juga dipengaruhi dengan seberapa besar jiwa kenegarawanan pemimpin Republik Indonesia. Kedua, Presiden terpilih telah memiliki kesadaran hukum bahwa presiden adalah jabatan. Jabatan itu ada masanya. Jabatannya tidak berarti memberikan kewenangan penuh untuk mengubah sistem pemerintahan di Indonesia sesukanya. Terakhir, perlu ada upaya penegakan hukum dalam rangka membangun sistem pemerintahan. Perlu keberanian untuk menegakkan hukum ketika lembaga eksekutif melakukan penyalahgunaan kewenangan. Pembenahan sistem pemerintahan Indonesia sudah tidak dapat ditunda lebih lama lagi. Agenda ini patut ditempatkan sebagai prioritas dalam berbangsa dan bernegara.

*) Dr. Ari Wahyudi Hertanto, S.H., M.H., Dosen Bidang Studi Dasar-Dasar Ilmu Hukum Universitas Indonesia.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait