Membongkar Kerancuan Regulasi Minerba di Indonesia
Meneropong Bisnis Tambang Pasca PP Minerba

Membongkar Kerancuan Regulasi Minerba di Indonesia

Kurang lebih terdapat 5 problem hukum yang secara mudah bisa diidentifikasi dari keberadaan regulasi tentang Minerba.

M DANI PRATAMA HUZAINI/YOZ
Bacaan 2 Menit

Pasal 27 UU No. 4 Tahun 2009:
(1) Untuk kepentingan strategis nasional, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan dengan memperhatikan aspirasi daerah menetapkan WPN sebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas tertentu dan daerah konservasi dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan.
(2) WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan sebagian luas wilayahnya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3) WPN yang ditetapkan untuk konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan batasan waktu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Melihat proses keluarnya IUPK sebagaimana yang diatur oleh UU No. 4 Tahun 2009, bisa dipahami bahwa ada perbedaannya dengan IUPK yang menggantikan KK sebagaimana yang terjadi pada PT. FI dan PT AMNT. Patut dianalisis, pijakan hukum IUPK tersebut dari mana. Berikut ilustrasi ideal terbitnya IUPK:
Hukumonline.com
“Ketika melihat UU Minerba, tidak bisa dimaknai lain, IUPK itu muaranya adalah WPN. Ketika Pemerintah mengeluarkan IUPK hasil transformasi KK, itu menurut saya menyalahi benar UU Minerba. Proses yang sudah diatur dalam UU Minerba itu dilewati. Tiba-tiba di Permen, dikatakan KK bisa berubah menjadi IUPK,” timpal Ahmad Redi yang merupakan dosen FH Universitas Tarumanegara.








(Baca Juga: Konsistensi Pemerintah Laksanakan UU Minerba Dipertanyakan)







Baca juga: PP Minerba dan Aturan Pelaksananya Dinilai Melanggar UU)


Poin Penting Permen ESDM No.5 Tahun 2017:








Poin Penting Permen ESDM No.6 Tahun 2017:

Baca juga: Revisi UU Minerba Tekankan Hilirisasi Dalam Negeri

Konstruksi Hukum Tak Sesuai
(PP) No.1 Tahun 2017Permen ESDM No.5 Tahun 2017Permen ESDM No.6 Tahun 2017UU No.4 Tahun 2009

disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaanCabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh NegaraBumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasionalKetentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Lantas, bagaimana kondisinya sekarang? Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum, Energi, Pertambangan, Bisman Bakhtiar, berpendapat kondisi regulasi yang berkaitan dengan tata kelola SDA di tanah air sudah tidak sesuai dengan konstruksi hukum sebagaimana yang tertera di atas. “Hari ini yang namanya aturan pelaksanaan bisa sejajar dengan UU No.4 Tahun 2009, bahkan yang namanya peraturan pelaksanaan bisa lebih tinggi dari pada UU,” kata Bisman.

Bisman merujuk kepada cerita pengaturan ekspor mineral logam yang menurut amanah UU  No.4 Tahun 2009 telah jelas disebutkan limitasi toleransi waktunya, namun kemudian limitasi waktu tersebut sering mengalami perubahan akibat penyesuaian-penyesuaian dalam perubahan kedua dan keempat PPNo.23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. 

PP No.23 Tahun 2010 yang secara teknis merupakan aturan pelaksana dari UU No.4 Tahun 2009, isinya menguatkan pasal 103 ayat (1) dan 170 UU No.4 Tahun 2009. Pasal 103 ayat (1) UU No.4Tahun 2009menyatakan, Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

Menurut Bisman, pasal ini secara materiil jelas menyatakan kewajiban para pemegang Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi untuk melakukan aktifitas pengolahan dan pemurnian (kegiatan hilirisasi pertambangan) di dalam negeri. Kemudian, di Pasal 170 UU No.4 Tahun 2009, Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 170 UU No. 4 Tahun 2009 ini, kata Bisman, secara tersurat memberi limitasi bagi para pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi untuk melakukan aktifitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri selambat-lambatnya 5 tahun sejak UU No.4 Tahun 2009 dikeluarkan.Pengaturan dalam kedua pasal tersebut di atas kemudian dikuatkan dengan lahirnya PP No.23 Tahun 2010 yang mewajibkan pelaksanaan pengolahan dan pemurnian bagi pemegang IUP atau IUPK yang berasal dari hasil penyesuaian kuasa pertambangan paling lambat 12 Januari 2014.

Persoalan kemudian muncul ketika disaat berakhirnya batas ekspor mineral mentah ke luar negeri, pemerintah kemudian mengeluarkan PP No.1 Tahun 2014 yang merupakan perubahan kedua atas PP No.23 Tahun 2010. PP No.1 Tahun 2014 mengatur tentang pelaksanaan kewajiban pengolahan dan pemurnian bagi pemegang IUP/IUPK paling lambat 12 Januari 2017. Artinya, dengan terbitnya PP ini, Pemerintah memberikan toleransi kepada perusahaan tambang pemegang IUP/IUPK yang belum melakukan aktifitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, selambat-lambatnya 5 tahun sejak PP ini diterbitkan.

Pemerintah yang pada saat itu diwakili oleh Menteri ESDM Jero Wacik, sebagaimana dirilis Asosiasi Pertambangan Indonesia melalui website resminya ima-api.com, mengemukakan alasannya bahwa kebijakan ini ditempuh untuk menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran dan berkurangnya pemasukan negara. "Jangan sampai ada PHK besar-besaran ketika pemerintah memberlakukan amanat UU Minerba," ujar Bisman.

Kebijakan Pemerintah yang memberikan relaksasi ekspor mineral logam yang pertama ini kontan mengundang respons publik. Indonesia Resources Studies (IRESS) saat itu menilai pemerintah melanggar UUD 1945 dan UU No.4 Tahun 2009 jika masih membolehkan ekspor konsentrat pasca 12 Januari 2014.

Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara mengatakan bahwa UU Minerba secara tegas menyatakan hasil tambang wajib diolah dan dimurnikan di dalam negeri paling lambat 12 Januari 2014. "Dengan demikian, UU tidak hanya mewajibkan pengolahan saja, tapi sampai permunian. Kalau pemerintah masih memberikan ijin ekspor konsentrat, sama saja melanggar UUD dan UU Minerba," ujarnya.

Kini, persoalan yang sama kembali terulang. Saat batas waktu toleransi ekspor yang diberikan pemerintah akan habis per 12 Januari 2017, di tanggal yang bersamaan, pada 11 Januari 2017 pemerintah mengeluarkan 3 regulasi terkait tata kelola minerba secara sekaligus.

PP No. 1 Tahun 2017 yang merupakan perubahan keempat atas PP 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Permen ESDM No 5 Tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pegolahan dan Pemurnian, serta Permen ESDM No. 6 Tahun 2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Ekspor. Melalui Permen ESDM No.5 Tahun 2017, pemerintah kembali memberikan relaksasi terhadap limit ketentuan ekspor kepada pemegang IUP/IUPK sampai 5 tahun ke depan.

Menanggapi hal ini, Bisman mengatakan "betapa hukum (pertambangan) tidak ada kepastiannya, betapa tidak ada jaminan hukum bagi industri mineral dan batu bara di Indonesia" ujarnya.

Sejumlah Problem Hukum
Dari beberapa hal di atas, menarik untuk dibahas tentang problem hukum yang terdapat dalam regulasi minerba. Kurang lebih terdapat 5 problem hukum yang secara mudah bisa diidentifikasi dari keberadaan regulasi tentang Minerba. Pertama, polemik pengolahan dan pemurnian sebagai akumulatif; Kedua, tentang bentuk subdelegasi pengaturan peningkatan nilai tambah ke dari UU No.4 Tahun 2009 kepada Permen ESDM; Ketiga, proses dan tahapan pembentukan Permen ESDM; Keempat, izin penjualan keluar negeri; dan Kelima, perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK.

Problem pertama, terkait hilangnya kata pemurnian dalam Pasal 112C ayat (4), PP No. 1 Tahun 2017. Aktivitas hilirisasi migas sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 4 Tahun 2009. UU No. 4 Tahun 2009, Pasal 102 dan Pasal 103 mewajibkan peningkatan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dengan cara melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Namun, dalam Pasal 112C angka 4 berbunyi, Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu”.

Menurut Bisman, ketiadaan kata pemurnian setelah kata pengolahan dalam pasal 112C angka 4 dalam PP No.1 Tahun 2017 tersebut merupakan bentuk penghilangan terhadap satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan pemegang IUP/IUPK. “Di UU No.4/2009, tidak ada 1 pun kata pengolahan yang berdiri sendiri, selalu bersanding dengan pemurnian. Ini melanggar pasal 102 dan 103 ayat (1),” kata Bisman.

Problem kedua, soal bentuk subdelegasi pengaturan peningkatan nilai tambah ke dari UU No. 4 Tahun 2009 kepada Permen ESDM. Pasal 112C angka 5 PP No.1 Tahun 2017 menyatakan, Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengolahan dan pemurnian, batasan minimum pengolahan dan pemurnian serta penjualan ke luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri. Artinya menurut Pasal ini, ketentuan mengenai pelaksanaan pengolahan dan pemurnian, batasan minimum pengolahan dan pemurinan, serta penjualan ke luar negeri diatur dengan menggunakan instrumen Peraturan Menteri.

Harusnya, kata Bisman, ketentuan mengenai peningkatan nilai tambah seperti yang disebut dalam pasal 112C angka 5 tersebut, diatur dengan menggunakan Peraturan pemerintah (PP) bukan dengan Permen ESDM. Hal ini sebagaimana yang diatur Pasal 103 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2009 yang menyatakan, Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan  peraturan pemerintah.

“Itu artinya harus diatur dengan delegasi sesuai yang ditentukan. Kalau diatur dengan peraturan Pemerintah, maka mengaturnya harus PP, tidak bisa diatur dengan Permen,” tegas Bisman.

Terkait hal ini, ada pengaturannya dalam Lampiran II butir 201 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan, Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok- pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan tetapi materi muatan itu harus diatur hanya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai ... “diatur dengan”.

“Inilah teknik pembuatan peratuan perundang-undangan,” kata Bisman. 
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait