Menanti Kejelasan Hukum Produk Surety Bond dalam Industri Asuransi
Utama

Menanti Kejelasan Hukum Produk Surety Bond dalam Industri Asuransi

Perusahaan asuransi yang tetap memasarkan produk surety bond dapat dikenakan sanksi berupa pidana 15 tahun dan denda Rp10 miliar.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi “Perkembangan Surety Bond dalam Industri Bisnis Asuransi dan Penjaminan di Indonesia” yang diadakan hukumonline di Jakarta, Selasa (29/1). Foto: RES
Acara diskusi “Perkembangan Surety Bond dalam Industri Bisnis Asuransi dan Penjaminan di Indonesia” yang diadakan hukumonline di Jakarta, Selasa (29/1). Foto: RES

Kehadiran Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang tiga tahun lalu diterbitkan ternyata menimbulkan polemik bagi industri keuangan saat ini. Pasalnya, salah satu ketentuan dalam aturan tersebut menyatakan secara spesifik perusahaan penjaminan merupakan pihak paling berwenang dalam memasarkan produk penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety bond) sejak 16 Januari 2019. Sehingga, industri keuangan di luar penjaminan dianggap tidak berhak memasarkan produk surety bond tersebut.

 

Industri asuransi merupakan pihak yang paling terkena dampak dari ketentuan tersebut. Padahal, secara historis, industri asuransi telah memasarkan produk surety bond sejak era 90-an. Saat itu, PT Jasa Raharja (Persero), perusahaan asuransi plat merah tersebut merupakan satu-satunya perusahaan jasa keuangan yang berwenang menerbitkan produk ini melalui Keputusan Presiden Nomor 14A/1980 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN.

 

Sehingga, persoalan ini menimbulkan pertanyaan dari pelaku usaha. Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Dody Dalimunthe, mempertanyakan mengenai kejelasan aturan tersebut.  Menurutnya, aturan tersebut dapat mengurangi variasi produk perusahaan asuransi yang telah lama menjadi pemain utama. Bahkan, dia menyatakan surety bond merupakan empat besar dari total pendapatan industri asuransi.

 

“Industri asuransi umum telah menerbitkan sertifikat jaminan sejak 1978 untuk menunjang para kontraktor menengah dalam melaksanakan pembangunan. Bahkan dalam lima tahun terakhir telah menerbitkan jaminan bernilai lebih dari Rp 800 triliun,” jelas Dody dalam diskusi “Perkembangan Surety Bond dalam Industri Bisnis Asuransi dan Penjaminan di Indonesia” yang diadakan hukumonline di Jakarta, Selasa (29/1).

 

Dody menjelaskan selama kurun waktu hampir 40 tahun tersebut, produk surety bond yang dipasarkan industri asuransi semakin beragam seperti jaminan penawaran (bid bond), jaminan pelaksanaan (performance bond), jaminan uang muka (advance payment bond), jaminan pemeliharaan (maintenance bond), jaminan pembayaran serta custom bond (kepabeanan).

 

Dengan adanya pembatasan tersebut, Dody mengatakan terjadi kebingungan pada industri asuransi mengenai legalitas penjualan produk surety bond. Terlebih lagi, bagi perusahaan-perusahaan asuransi yang berada di daerah karena dikhawatirkan memasarkan produk ilegal.

 

“Kondisi ini membuat teman-teman (perusahaan asuransi di daerah) terganggu sebab dikhawtirkan menjual produk yang tidak legal,” kata Dody.

 

Meski demikian, Dody beranggapan saat ini perusahaan asuransi masih dapat memasarkan produk surety bond karena dalam Pasal 57 Ayat 4 UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang menggantikan UU 18/1999 memperbolehkan perusahaan asuransi menerbitkan produk penjaminan.

 

Selain itu, UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Peraturan OJK Nomor 69/POJK.5/2016 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan Reasuransi juga mengizinkan perluasan ruang lingkup perusahaan asuransi umum berkegiatan usaha surety bond.

 

(Baca: Ingat! Kini Perusahaan Asuransi Tak Bisa Lagi Keluarkan Surety Bond)

 

Hal sama disampaikan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kornelius Simanjuntak. Kornelius yang merupakan akademisi hukum perasuransian ini, menjelaskan hadirnya UU Penjaminan menyebabkan perusahaan asuransi umum yang telah mendapat izin memasarkan surety bond harus tunduk dalam waktu 3 tahun sejak aturan tersebut diundangkan, yaitu 19 Januari 2019.

 

Sehingga, perusahaan asuransi harus mempunyai izin usaha lembaga lenjaminan atau perusahaan penjaminan terlebih dahulu agar dapat memasarkan produk surety bond. Sebab, hanya perusahaan berizin penjaminan saja yang dapat memasarkan produk tersebut. Namun, hal tersebut dianggap tidak dapat terjadi karena perusahaan asuransi tidak bisa memiliki izin usaha sebagai perusahaan pembiayaan.

 

“Hal ini berarti perusahaan asuransi umum tidak memenuhi kriteria sebagai perusahaan penjaminan, karena itu perusahaan asuransi umum tidak memenuhi persyaratan sebagai perusahaan penjaminan, maka setelah 3 tahun aturan ini terbit, perusahaan asuransi umum yang selama ini telah mendapat izin untuk memasarkan, mejual dan menerbitkan surety bond, tidak lagi dapat secara sah menurut UU Nomor 1/2016 untuk memasarkan/menjual dan menerbitkan produk surety bond,” jelas Kornelius.

 

Menurutnya, apabila perusahaan asuransi umum tetap memasarkan, menjual dan menerbitkan surety bond ada ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.

 

Atas persoalan tersebut, Kornelius mengimbau agar OJK segera menerbitkan memberlakukan aturan yang berisikan perluasan ruang lingkup usaha asuransi umum yaitu diperluas dengan penjaminan surety bond. Hal tersebut diperlukan agar perusahaan asuransi umum tetap dapat memasarkan, menjual dan menerbitkan surety bond.

 

“Paling tidak OJK segera menerbitkan surat edaran untuk memberi kepastian pada pelaku usaha,” pungkas Kornelius.

 

(Baca: OJK Siapkan 5 Kebijakan Utama di Tahun 2019, Ini Rinciannya)

 

Sebelumnya, praktisi hukum perasuransian Ricardo Simanjuntak mengatakan perkembangan produk surety bond ini tidak lepas dari peran industri asuransi.  Dia menceritakan saat UU Perasuransian pertama kali disusun pada 1992 tidak ada pernyataan spesifik bagi perusahaan asuransi dapat menerbitkan produk surety bond ini. Ketentuan tersebut baru dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 761/KMK.013/1992 yang diberikan kepada 20 perusahaan asuransi. 

 

Kemudian, khusus penerbitan surety bond sebagai penjaminan pembayaran kewajiban importir terhadap bea impor yang terutang kepada negara (custom bond) kala itu khusus pula dikeluarkan KMK No. 108/KMK.01/1995, yang dibatasi hanya berupa izin kepada 15 perusahaan asuransi. Artinya, tak semua perusahaan asuransi berdasarkan KMK 761 dapat menerbitkan surety bond untuk garansi pembayaran bea impor terutang.

 

Namun, selang hampir 40 tahun berjalan sebagai produk asuransi, surety bond akhirnya disebutkan secara spesifik sebagai produk lembaga penjaminan dengan lahirnya UU No. 1 tahun 2016 tentang Penjaminan. Bahkan ditegaskan pada pasal 61 ayat (1) UU a quo, bahwa setiap orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya UU 1/2016 wajib menyesuaikan dengan ketentuan UU Penjaminan paling lambat tiga tahun sejak berlakunya UU a quo.

 

Hukumonline.com

Sumber: Materi Ricardo Simanjuntak

 

Lebih lanjut, Ricardo berpendapat terjadi penyempitan variasi produk pada industri asuransi dengan terbitnya UU Penjaminan ini. Ditambah lagi dengan pembatasan kewenangan perusahaan asuransi dalam penerbitan surety bond berdasarkan UU No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian, tampak tak terlihat komitmen pemerintah untuk memperkuat posisi perusahaan asuransi dalam mengeluarkan surety bond.

 

Terkait hal itu, lanjut Ricardo, Pasal 2 UU Perasuransian membatasi bahwa perusahaan asuransi hanya bisa menerbitkan produk asuransi, lalu dalam pengembangannya tidak spesifik dikatakan bahwa surety bond adalah produk asuransi.

 

“Kesimpulannya, produk yang lahir dan dikembangkan oleh perusahaan asuransi, kini dialihkan kepada lembaga penjaminan akibat Pasal 61 UU Penjaminan termasuk karena adanya pembatasan dengan kata ‘hanya’ pada Pasal 2 UU Perasuransian,” tegasnya.

 

Secara mekanisme bisnis, produk surety bond memang lebih condong kepada industri penjaminan. Sebab, dalam transaksi surety bond ini melibatkan tiga pihak yaitu pemberi kepercayaan (obligee), kontraktor (prinsipal) dan pemberi penjaminan (surety). Sedangkan, mekanisme bisnis perusahaan asuransi hanya terdapat dua pihak yaitu nasabah dan perusahaan asuransi sebagai penanggung risiko.

 

Meski demikian, perusahaan asuransi tetap dapat memasarkan produk surety bond ini. Sebab, terdapat beberapa ketentuan seperti dalam UU dalam Pasal 57 Ayat 4 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang menggantikan UU 18/1999 memperbolehkan perusahaan asuransi menerbitkan produk penjaminan.

 

Selain itu, UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Peraturan OJK Nomor 69/POJK.5/2016 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah dan Perusahaan Reasuransi juga mengizinkan perluasan ruang lingkup perusahaan asuransi umum berkegiatan usaha surety bond.

 

Atas kondisi tersebut, Ricardo menilai terdapat struktur transaksi surety bond yang dapat diterapkan perusahaan asuransi.

 

Hukumonline.com

Sumber: Materi Ricardo Simanjuntak

 

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum menyatakan secara tegas mengenai ketentuan ini. Sebelumnya, Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) 2B OJK, Bambang W Budiawan menyebut saat ini OJK masih mengkaji soal isu ini. Kajian lebih kepada manfaat dan mudharatnya serta meneliti kapasitas dan kebutuhan hingga mencari jalan terbaik untuk menjawab persoalan terkait izin perusahaan asuransi dalam penerbitan surety bond.

 

“Semuanya sedang dikaji, terutama looking forward potensi penjaminan dan kapasitas perusahaan penjamin dan asuransi yang melakukan suretyship. In shaa Allah akan segera ada kebijakannya,” terang Bambang dalam pesan singkatnya kepada hukumonline.com, Rabu (16/1).

 

Tags:

Berita Terkait