Mendorong Pembentukan Pokja Nasional RUU Sisdiknas
Terbaru

Mendorong Pembentukan Pokja Nasional RUU Sisdiknas

Agar membuka ruang konsultasi, termasuk merumuskan draf RUU tandingan serta daftar inventarisasi masalah terhadap draf RUU yang disusun pemerintah.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Narasumber sebuah diskusi terkait polemik RUU Sisdiknas usulan pemerintah di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (6/9/2022). Foto: RFQ
Narasumber sebuah diskusi terkait polemik RUU Sisdiknas usulan pemerintah di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (6/9/2022). Foto: RFQ

Adanya dugaan penghapusan tunjangan profesi guru dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) menjadi satu dari sekian isu yang menuai sorotan publik. Protes dan kecurigaan kalangan asosiasi tenaga pengajar dan guru mengharuskan adanya transparasi terhadap keberadaan draf RUU Sisdiknas. Antara lain dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) sebagai kanal konsultasi bagi semua masukan terhadap RUU Sisdiknas.

Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda menegaskan DPR belum menerima secara resmi draf RUU tentang Sisdiknas. Kendatipun pemerintah telah mengusulkan RUU Sisdiknas masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022 perubahan dan Prolegnas Prioritas 2023, tapi faktanya belum adanya draf resmi dari pemerintah yang disodorkan ke DPR. Dengan begitu, Huda belum dapat mengomentari materi RUU Sisdiknas.

Meski demikian, komisi bidang pendidikan yang dipimpinnya itu telah menyerap masukan dari berbagai pemangku kepentingan di bidang pendidikan. Seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) serta Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi).  Menurutnya, dalam rangka membuat transparan proses penyusunan dan pembahasan RUU Sisdiknas, diperlukan pembentukan Pokja Nasional RUU Sisdiknas.

“Saya menginisiasi untuk mendorong pembentukan Pokja Nasional Revisi UU Sidiknas. Saya sudah sampaikan ini 3-4 hari yang lalu,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (6/9/2022) kemarin.

Baca Juga:

Dia berpandangan Pokja Nasional RUU Sisdiknas menjadi forum yang memastikan stakeholder yang tidak dilibatkan dalam proses konsultasi publik serta penyusunan RUU Sisdiknas oleh pemerintah. Nah, Pokja Nasional RUU Sisdiknas itulah nantinya membuat rumusan tandingan draf RUU yang dibuat pemerintah sembari DPR menunggu secara resmi dari pemerintah. Begitu pula sikap DPR terhadap usulan pemerintah agar RUU Sisdiknas masuk Prolegnas Prioritas 2022 perubahan dan Prolegnas Prioritas 2023.

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu melanjutkan pembentukan Pokja Nasional RUU Sisdiknas menjadi urgen agar para stakeholder pendidikan sebagai forum dalam merumuskan daftar inventarisasi masalah (DIM) setidaknya. Baginya, forum tersebut menjadi lebih produktif ketimbang pemerintah membiarkan konsultasi melalui kanal website. Lagipula, masih banyak kelompok yang resisten terhadap draf yang disusun pemerintah

Dikatakan Huda, pemerintah menginisiasi membuat website konsultasi seperti halnya saat RUU Cipta Kerja berpolemik. Pemerintah pun membuat website agar masyarakat memberikan masukan dan kritik serta melibatkan peran serta publik. Tapi bagi Huda, pertemuan publik secara fisik dengan pemerintah jauh lebih dibutuhkan ketimbang sebatas memberikan masukan melalui website yang terbatas sifatnya.

“Jadi masih butuh pertemuan publik, hadir fisik Mas Menteri (Mendikbudristek, red), berdialog. Saya menyebutnya membuka ruang dialog yang seluas-luasnya. Dan kalau masih memakai mesin saya kira kurang pas,” katanya.

Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Sumardiansyah mengamini pandangan Huda. Menurutnya, PGRI memimpikan adanya gagasan dan ide dalam menciptakan rancangan sistem pendidikan yang ideal sebagai produk konstitusi. Setidaknya produk UU yang mampu mempersatukan dunia pendidikan nasional.

Menurutnya, dalam pembuatan regulasi setingkat UU, perlu memenuhin proses tahapan yang benar yang dilakukan Kemendikbudristek. Saat ide Sisdiknas digagas, PGRI merespon positif. Tapi menjadi soal saat perumusan RUU tanpa melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna. Termasuk studi banding, studi evaluasi terhadap UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No.12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.

“Baru masuk ke tahapan selanjutnya, naskah akademik. Dalam naskah akademik itu nanti masuk yang namanya pembuatan peta jalan pendidikan, sampai ada diskusi terkumpul, kemudian baru uji publik,” kata dia.

Soal metode omnibus law yang bakal digunakan dalam mengintegrasikan UU 20/2003, UU 14/2005, dan UU 12/2012 menjadi RUU Sisdiknas pun patut dipertanyakan. Dia menilai metode omnibus law yang menjadi rujukan dalam membuat UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pun bermasalah. Sebab, putusan MK atas uji materi UU 11/2020 menilai metode omnibus law tidak terdapat dan dianut dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

“Kita seringkali terjebak pada narasi dengan adanya omnibus law, maka pendidikan kita menjadi lebih baik. Faktanya role modelnya juga belum ada UU Cipta Kerja juga bermasalah,” ujarnya.

Pengamat pendidikan, Asep Sapaat berpandangan pemerintah mesti memberikan ruang lebih bagi stakeholder pendidikan, serta elemen masyarakat. Menurutnya setiap stakehoder pendidikan memiliki pemikiran dan gagasan dalam memajukan dunia pendidikan nasional. Termasuk soal tenaga pendidik seperti guru dan dosen.

“Jadi Mas Mendikbudristek beri ruang lebih banyak waktu untuk bicara, karena kalau bicara dokumen juga agak jadi malah tidak mendapat jawaban kenapa perlu direvisi UU Sisdiknas itu,” katanya.

Tags:

Berita Terkait