Mendorong Presiden untuk Batalkan Aturan Klaim JHT Terbaru
Terbaru

Mendorong Presiden untuk Batalkan Aturan Klaim JHT Terbaru

Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani juga meminta Menaker Ida Fauziyah mencabut Permenaker 2/2022 itu. Sebab, dana JHT sejatinya milik pekerja ketika tidak lagi bekerja untuk keperluan hidupnya atau dijadikan modal usaha.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Belum berencana menguji Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia secara resmi melayang surat ke Presiden Joko Widodo agar membatalkan beleid tersebut. Sebab, aturan tersebut meresahkan para pekerja ataupun buruh yang menjadi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT).

“Dewan Pimpinan Pusat ASPEK Indonesia memohon dengan hormat kepada Bapak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia untuk dapat menginstruksikan kepada Menteri Ketenagakerjaan untuk mencabut dan membatalkan Permenaker 2/2022,” ujar Presiden ASPEK Indonesia, Mirah Sumirat melalui keterangan tertulis kepada Hukumonline, Senin (14/2/2022).

Dia berharap implementasi program JHT tetap kembali dengan aturan sebelumnya yakni Permenaker No.19 Tahun 2015 tentang tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua. Dalam Permenanker 19/2015, manfaaat JHT dapat dicairkan bagi pekerja yang berhenti karena mengundurkan diri ataupun terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Pembayaran JHT dibayarkan setelah melewati masa tunggu 1 bulan terhitung sejak tanggal pengunduran diri atau PHK dan dibayarkan secara tunai.

Menurutnya, Permenaker 19/2015 telah sesuai dengan UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Permenaker 19/2015 seharusnya tak perlu dilakukan perubahan melalui Permenaker 2/2022. Selain itu, dalam Permenaker 19/2015 mengatur setiap pekerja yang berhenti karena mengundurkan diri atau terkena PHK memiliki hak mengklaim manfaat JHT atau saat memasuki usia pensiun.

“Pekerja yang mengundurkan diri dan di-PHK tidak lagi masuk dalam kategori ‘peserta’, karena ia sudah tidak bekerja dan berhenti membayar iuran. Sehingga seharusnya pekerja dimaksud tetap diberikan hak untuk memilih kapan akan mengambil manfaat JHT,” dalihnya.

(Baca Juga: Menaker Diminta Dialog untuk Jelaskan Polemik Klaim JHT)

Sekjen ASPEK Indonesia, Sabda Pranawa Djati mengatakan komposisi iuran JHT dibayarkan oleh pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulannya sebesar 2 persen dari upahnya. Kemudian 3,7 persen dari upah sebulan dibayar oleh pemberi kerja atau perusahaan. Dalam dana JHT tidak ada keikutsertaan dana dari pemerintah. “Sehingga tidak ada alasan untuk pemerintah ‘menahan’ dana JHT dimaksud,” kata Sabda.

Menurut Sabda, fakta di lapangan banyak korban PHK dengan berbagai sebab yang membutuhkan dana JHT miliknya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan mungkin untuk keperluan usaha setelah berhenti bekerja. Banyak pula pekerja yang di-PHK tanpa mendapatkan pesangon. Antara lain karena dipaksa untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Karenanya, pekerja sangat berharap dapat mencarikan JHT yang menjadi haknya.

Sabda berpendapat perubahan persyaratan klaim JHT hanya dapat dicairkan saat pekerja memasuki usia pensiun 56 tahun sangat mencederai rasa keadilan para pekerja yang menginginkan mencairkan dana JHT miliknya. Berdasarkan sejumlah alasan tersebut itulah, menjadi tidak beralasan pemerintah menunda pembayaran JHT hingga masa pensiun usia 56 tahun bagi pekerja yang mengundurkan diri ataupun terkena PHK.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Ahmad Muzani meminta Menaker Ida Fauziyah mencabut aturan tersebut. Sebab, dana JHT sejatinya milik pekerja ketika tidak lagi bekerja untuk keperluan hidupnya atau dijadikan modal usaha. “Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 harus dicabut karena di masa pandemi Covid-19 ini, dana JHT yang telah dikumpulkan BPJS menjadi sandaran utama para pekerja baik buruh pabrik ataupun perkantoran,” kata dia.

Menurutnya, pemerintah semestinya menerbitkan kebijakan bagi korban PHK di masa pandemi. Seperti pelatihan keterampilan berusaha bagi mereka yang berminat menjajaki dunia UMKM. Kebijakan pencairan dana JHT sebesar 30 persen dari peserta BPJS yang sudah menjadi peserta selama 10 tahun bukan solusi tepat. 

“Yang disebut pensiun itu bukan hanya faktor usia, tapi pensiun juga berhentinya orang-orang pekerja dari aktivitas pekerjaannya, maka itu ada istilah pensiun muda dan pensiun tua,” ujar Ketua Fraksi Partai Gerindra di DPR itu.

Tags:

Berita Terkait