Menelaah Status PERADI Sebagai Organisasi Advokat Pasca Putusan MA
Kolom

Menelaah Status PERADI Sebagai Organisasi Advokat Pasca Putusan MA

Putusan Mahkamah Agung Nomor 3085 K/Pdt.G/2021 dengan tanggal 4 November 2021 tersebut selain merupakan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, juga bertanggal terkini jika dibandingkan dengan kelima putusan sebelumnya.

Bacaan 5 Menit
Shalih Mangara Sitompul. Foto: Istimewa
Shalih Mangara Sitompul. Foto: Istimewa

Mencermati putusan hakim, baik di tingkat pertama, banding maupun kasasi berkenaan dengan status PERADI sebagai organisasi advokat, setidaknya terdapat dua isu hukum yang harus dibahas. Pertama, berkenaan dengan Peradi dari kubu yang mana yang mempunyai legalitas berdasarkan putusan hakim yang notabene telah berkekuatan hukum tetap? Kedua, mengenai bagaimana keberlakuan putusan hakim yang ada dan telah berkekuatan hukum tetap terhadap seluruh pihak yang berkepentingan sama terhadap Peradi sebagai organisasi advokat?

Kedua isu hukum inilah yang selanjutnya dibahas pada pencermatan terhadap Putusan Nomor 683/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst (12 September 2018), Putusan Nomor 277/Pdt/2019/PT DKI (22 Juli 2019), Putusan Mahkamah Agung Nomor 1395 K/Pdt/2020 (9 Juni 2020) yang memperhadapkan Fauzie Yusuf Hasibuan selaku Ketua Umum dan Thomas E. Tampubolon selaku Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI), melawan Juniver Girsang selaku Ketua Umum, dan Hasanuddin Nasution selaku Sekretaris Jenderal DPN PERADI, masa bakti 2015-2020 berdasarkan Hasil Musyawarah Nasional II Perhimpunan Advokat Indonesia di Makassar.

Pencermatan juga dilakukan pada Putusan Nomor 667/Pdt.G/2017/PN. Jkt. Pst (31 Oktober 2019), Putusan Nomor 203/ PDT/2020/ PT. DKI Jakarta (17 Juni 2020), serta Putusan Mahkamah Agung Nomor 3085 K/Pdt.G/2021 (4 November 2021) yang memperhadapkan Luhut M.P. Pangaribuan selaku Ketua Umum dan Sugeng Teguh Santoso selaku Sekretaris Jenderal DPN PERADI Periode 2015-2020 versi Munaslub Peradi Rekonsiliasi secara E-Voting, melawan Fauzie Yusuf Hasibuan selaku Ketua Umum dan Thomas E. Tampubolon selaku Sekretaris Jenderal DPN PERADI.

Baca juga:

Guna menjawab isu hukum yang pertama berkenaan dengan Peradi dari kubu yang mana yang mempunyai legalitas berdasarkan putusan hakim yang notabene telah berkekuatan hukum tetap? Setelah membaca pertimbangan hukum hakim (ratio decidendi) dari keenam putusan hakim tersebut, maka dengan mudah dapat dijawab bahwa Peradi kubu Fauzie Yusuf Hasibuan selaku Ketua Umum dan Thomas E. Tampubolon selaku Sekretaris Jenderal DPN PERADI, merupakan Peradi yang memiliki legalitas.

Hal demikian dikarenakan pada Putusan Nomor 683/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst (12 September 2018), Putusan Nomor 277/Pdt/2019/PT DKI (22 Juli 2019), Putusan Mahkamah Agung Nomor 1395 K/Pdt/2020 (9 Juni 2020), tidak memberikan penegasan mengenai legalitas organisasi advokat di dalam tubuh PERADI, sehingga putusannya niet ontvankelijke verklaard (Putusan NO) dan menyerahkan mekanisme internal PERADI untuk menyelesaikan konflik internal yang terjadi kepada mekanisme internal PERADI.

Namun berbeda dengan Putusan Nomor 203/ PDT/2020/PT. DKI Jakarta, serta Putusan Mahkamah Agung Nomor 3085 K/Pdt.G/2021 (4 November 2021) yang menegaskan bahwa tepat sebagaimana dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta bahwa Munas II Peradi tanggal 12-13 Juni 2015 yang menetapkan Penggugat (Fauzie Yusuf Hasibuan) sebagai Ketua Umum Peradi periode 2015-2020 adalah sah dan mengikat karena Munas tersebut merupakan kelanjutan dari Munas I Peradi di Makassar yang tidak dapat dilaksanakan karena alasan keamanan dan ditunda berdasarkan Keputusan Pimpinan Sidang Munas II/Ketua Umum DPN PERADI Periode 2010-2015 Prof. Otto Hasibuan.

Dengan demikian, Putusan Nomor 203/ PDT/2020/ PT. DKI Jakarta, yang diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3085 K/Pdt.G/2021, menjadi dasar hukum sebagai judge made law bahwa Peradi kubu Fauzie Yusuf Hasibuan selaku Ketua Umum dan Thomas E. Tampubolon selaku Sekretaris Jenderal DPN PERADI, sebagai Peradi yang memiliki legalitas.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 3085 K/Pdt.G/2021 dengan tanggal 4 November 2021 tersebut selain merupakan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, akan tetapi juga bertanggal terkini jika dibandingkan dengan kelima putusan sebelumnya. Hal demikian menegaskan legalitas kubu Peradi pimpinan Fauzie Yusuf Hasibuan dan Thomas E. Tampubolon tersebut.

Adapun mengenai bagaimana keberlakuan putusan hakim yang ada (Putusan Mahkamah Agung Nomor 3085 K/Pdt.G/2021) dan telah berkekuatan hukum tetap terhadap seluruh pihak yang berkepentingan sama terhadap Peradi sebagai organisasi advokat? Hal demikian dapat dijawab dengan memahami kajian teoritis mengenai putusan hakim sebagai hukum. Sebagai sebuah produk hukum oleh hakim, bahkan pada tingkatan tertinggi, yaitu Mahkamah Agung, maka harus dipahami menurut doktrin (teoritis) yang dipedomani secara keilmuan hukum.

Dapat dijelaskan bahwa dalam putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terdapat tiga macam kekuatan untuk dapat dilaksanakan, yaitu:

  1. Kekuatan Mengikat. Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Apabila pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan sengketa di antara mereka secara damai, dan kemudian menyerahkan dan mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk diperiksa dan diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersengketa akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan, sehingga putusan itu mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang bersengketa.
  1. Kekuatan Pembuktian. Dituangkannya putusan dalam bentuk tertulis, yang merupakan akta autentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan upaya hukum. Karena meskipun putusan hakim atau putusan pengadilan tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga, namun mempunyai kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga.
  1. Kekuatan Executoriaal. Kekuatan executoriaal dalam putusan hakim atau putusan pengadilan adalah kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat-alat negara terhadap pihak-pihak yang tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Sebenarnya yang memberi kekuatan executoriaal kepada putusan hakim atau putusan pengadilan adalah kata-kata, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang ada pada setiap putusan. Pada konteks demikian harus diingat bahwa tidak semua putusan dapat dilaksanakan secara paksa oleh pengadilan. Hanya putusan condemnatoir sajalah yang dapat dilaksanakan secara paksa oleh pengadilan, sementara putusan declatoir dan constitutif tidaklah memerlukan sarana-sarana memaksa untuk dapat melaksanakannya.

Selanjutnya, jika dikaitkan dengan adanya tiga kubu dalam tubuh PERADI demikian, bagaimana jika salah satu kubu tidak menaati Putusan Mahkamah Agung Nomor 3085 K/Pdt.G/2021 karena yang bersangkutan tidak merupakan pihak dalam gugatan a quo, maka poin 1 dan 2 di atas dapat dijadikan pedoman.

Pada konteks demikian, Putusan Mahkamah Agung Nomor 3085 K/Pdt.G/2021 di satu sisi mempunyai kekuatan mengikat yang menegaskan legalitas PERADI yang dipimpin oleh Fauzie Yusuf Hasibuan selaku Ketua Umum dan Thomas E. Tampubolon selaku Sekretaris Jenderal (DPN PERADI) masa bakti 2015-2020.

Sedangkan di sisi lain Putusan Mahkamah Agung Nomor 3085 K/Pdt.G/2021 menjadi akta autentik yang berkekuatan pembuktian atas legalitas PERADI yang dipimpin oleh Fauzie Yusuf Hasibuan selaku Ketua Umum dan Thomas E. Tampubolon selaku Sekretaris Jenderal (DPN PERADI) masa bakti 2015-2020, yang secara a contrario secara scipta tidak dimiliki oleh kubu lainnya.

*)Shalih Mangara Sitompul adalah Wakil Ketua Umum DPN PERADI Bidang PKPA, Sertifikasi dan Kerjasama Universitas.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait