Mengenal Flight Information Region: Permasalahan Tiga Dimensi
Kolom

Mengenal Flight Information Region: Permasalahan Tiga Dimensi

Perjanjian FIR tahun 2022 yang telah ditandatangani tersebut sebenarnya telah menjadi bukti bahwa Indonesia tetap berdaulat pada wilayah udaranya sendiri.

Bacaan 5 Menit
Mengenal Flight Information Region: Permasalahan Tiga Dimensi
Hukumonline

Penandatanganan perjanjian penyesuaian batas Flight Information Region (FIR) yang dilakukan antara Indonesia dan Singapura pada 25 Januari 2022 merupakan berita baik perjuangan Indonesia dalam mengambil kembali pengelolaan penyediaan jasa navigasi ruang udara di atas wilayah Riau, dan Kepulauan Riau.

Namun, perjanjian yang ditandatangani bersamaan dengan Defense Cooperation Agreement (DCA) dan Perjanjian Ekstradisi tersebut perlu dicermati dengan baik, apakah betul pengelolaan tersebut akan benar–benar dikembalikan ke Indonesia, atau hanya sekadar smokescreen belaka untuk “kejar target” penyesuaian batas FIR antara FIR Jakarta dengan Singapura.

Perlu diketahui, bahwa garis batas yang dimaksud bersifat tiga dimensi, yakni ada batas secara vertikal dan horizontal. Batas horizontal sendiri sudah ditetapkan sejak 1948 pada South East Asia Regional Air Navigation (RAN) Meeting yang dilaksanakan di New Delhi, India. Batas–batas horizontal yang ditentukan antara FIR Singapura dan FIR Jakarta (saat itu, FIR Batavia), merupakan batas yang disetujui antara Pemerintah Inggris di Singapura, dan Pemerintah Belanda di Indonesia saat itu.

Walaupun telah “disetujui”, persetujuan tersebut diberikan Belanda dengan berat hati, dan Belanda telah secara jelas mengekspresikan keberatannya pada pertemuan tersebut. Belanda mengatakan bahwa, ke depannya, ada kecenderungan pengelolaan ruang udara di atas Riau dan Kepulauan Riau yang akan dilakukan melalui kontrol FIR di Singapura akan mengganggu penerbangan militer di sekitar wilayah tersebut.

Untuk berusaha menanggulangi hal tersebut, suatu persetujuan dilakukan pada pertemuan tersebut antara Pemerintah Inggris dan Belanda. Salah satu poin persetujuan tersebut adalah bahwa, pengelola FIR Singapura harus selalu menyediakan block clearance dan mengalokasikan jalur udara tertentu setiap ada pesawat militer yang akan melintas atau mendarat di wilayah–wilayah yang navigasinya dikelola melalui Singapura.

Namun, perjanjian yang hanya tertuang di notulensi pertemuan tersebut tidak berlanjut kepada suatu perjanjian khusus antara Indonesia dan Singapura, dua negara yang tidak lama kemudian melanjutkan keanggotaan Inggris dan Belanda di ICAO dalam kaitannya dengan pengelolaan ruang udara di wilayah tersebut.

Selain garis batas yang ditentukan pada tahun 1948 yang mencakup ruang udara di atas Riau dan Kepulauan Riau, terdapat ruang udara lain yang pada awalnya bukan merupakan bagian ruang udara kedaulatan Indonesia, kemudian menjadi ruang udara kedaulatan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait