Mengenal Plea Bargaining dalam RKUHAP Sebagai Solusi Peradilan Cepat
Utama

Mengenal Plea Bargaining dalam RKUHAP Sebagai Solusi Peradilan Cepat

Plea bargaining idealnya merupakan bentuk negosiasi antara Penuntut Umum dan Terdakwa yang mengakui kejahatannya agar hukumannya lebih ringan, sehingga prosesnya cepat.

CR-28
Bacaan 3 Menit
Narasumber dalam webinar ICJR-STH Indonesia Jentera bertajuk 'Peluang Penerapan Prinsip-Prinsip Plea Bargain dalam Rancangan KUHAP', Senin (20/12/2021). Foto: CR-28
Narasumber dalam webinar ICJR-STH Indonesia Jentera bertajuk 'Peluang Penerapan Prinsip-Prinsip Plea Bargain dalam Rancangan KUHAP', Senin (20/12/2021). Foto: CR-28

Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) terdapat beberapa ketentuan baru yang disusun oleh pemerintah guna mengakomodir dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat. Salah satunya yang termaktub dalam Pasal 199 RKUHAP sebagai upaya untuk mempersingkat dan mempercepat prosedur beracara dalam perkara pidana di pengadilan. 

Dalam naskah akademik RKUHAP disebutkan ada mekanisme plea bargaining yang diberi judul jalur khusus dalam penyelesaian perkara pidana. Dalam Pasal 199 RKUHAP disebutkan konsep mekanisme plea bargaining ini ketika Penuntut Umum membacakan surat dakwaan dimana ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari 7 tahun penjara dan terdakwa mengakui segala kesalahannya, maka Penuntut Umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat.

Pengakuan terdakwa dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh terdakwa dan penuntut umum. Lalu, Hakim wajib memberitahukan kepada terdakwa mengenai hak-haknya dan memberitahukan kepada terdakwa mengenai lamanya pidana yang kemungkinan dikenakan serta menanyakan apakah pengakuannya diberikan secara sukarela. Hakim juga dapat menolak pengakuan terdakwa jika hakim ragu terhadap kebenaran pengakuannya. 

Plea bargain dalam RKUHAP adalah plea with no bargain bagian penting dalam reformasi hukum acara pidana yang sedang dilakukan. Walau konsepnya agak berbeda dengan konsep asli yang diterapkan di negara-negara common law, seperti di Amerika Serikat,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Asep N. Mulyana, dalam Webinar ICJR-STH Indonesia Jentera bertajuk "Peluang Penerapan Prinsip-Prinsip Plea Bargain dalam Rancangan KUHAP", Senin (20/12/2021).

Dia menjelaskan seharusnya dalam konsep plea bargain terdapat negosiasi atau tawar menawar (bargaining). Tapi, dalam RKUHAP tidak menerapkan metode tersebut, tapi menekankan pada bagaimana plea bargaining hanya meringankan tuntutan. Ketika konsep plea bargain dalam RKUHAP diadopsi, sesuai ketentuan Jaksa tidak mempergunakan hukum acara biasa. Tetapi, menggunakan hukum acara pemeriksaan singkat yang cukup menggunakan nota dan catatan umum guna mempercepat proses beracara di pengadilan.

Memang polemik penumpukan perkara bukan merupakan suatu isu baru. Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Febby Mutiara Nelson dalam kesempatan yang sama memaparkan dalam penelitian PWC-Asia Foundation mengenai “Survey Report on Citizens' Perceptions of the Indonesian Justice Sector - Preliminary Findings and Recommendation” ditemukan fakta bahwa proses peradilan di Indonesia dinilai mahal, memakan waktu yang lama, serta sulit dimengerti prosedurnya oleh masyarakat. (Baca Juga: Pembentuk UU Sepakati 40 RUU Prolegnas 2022, Ini Daftarnya)

Padahal, dalam sistem Peradilan Indonesia menganut asas sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana bunyi Pasal 2 ayat (4) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Jika dilihat penelitian berjudul “Pembatasan Perkara - Strategi Mendorong Peradilan Cepat, Murah, Efisien dan Berkualitas” oleh LeIP yang turut dikutip Febby dinyatakan bahwa peradilan di Indonesia, khususnya menghadapi permasalahan menumpuknya beban perkara di Mahkamah Agung (MA). 

Untuk itu, plea bargain hadir dengan harapan dapat mengurangi beban perkara yang masuk ke pengadilan (banding, kasasi, red) guna mempercepat proses peradilan; memberi penghargaan kepada Terdakwa yang mengakui kesalahannya; memenuhi kebutuhan pihak terdakwa dan Penuntut Umum; serta menghemat waktu dan biaya tanpa tidak menghilangkan tujuan pemidanaan. Dengan demikian, plea bargaining sebagai inovasi untuk efektivitas tata kelola dan kepatuhan hukum dalam proses peradilan.

"Jadi jangan khawatir plea bargain itu juga bisa membebaskan terdakwa. Karena sering orang berkata, enak ya plea bargain bisa negosiasi, ini kan bisa membuka ladang korupsi baru. Inilah yang dipikirkan orang tentang plea bargain di Indonesia. Padahal konsepnya itu hanya bernegosiasi dengan proses pembuktian cepat untuk meringankan hukuman terdakwa,” jelas Febby.

Meski demikian, dia mengakui akan adanya dampak negatif dari penerapan plea bargain ini. Seperti berkurangnya hak Terdakwa diadili oleh Hakim dan akan munculnya anggapan bahwa pengadilan akan terlalu berpihak kepada terdakwa, terkesan (seolah, red) mengesampingkan hak korban. “Karena memang konsep plea bargain lebih berfokus terhadap terdakwa, bukan korban. Berbeda halnya dengan restorative justice.”  

Mengingat plea bargain idealnya bentuk negosiasi antara Penuntut Umum dan terdakwa agar mengakui kejahatannya dan hukumannya lebih ringan, dalam hal ini tetap ada peran pengadilan setelah negosiasi para pihak tercapai. Nantinya tetap terdapat putusan majelis hakim atas pemidanaan terdakwa. Pihak yang terlibat dalam plea bargaining antara lain adalah Penuntut Umum, terdakwa dan/atau Penasihat Hukum, dan Hakim. Sebagai catatan, untuk perkara yang melibatkan perekonomian atau uang, maka bisa dihadirkan pula auditor atau badan pemeriksa keuangan di dalamnya.

Di sisi lain, restorative justice merupakan upaya pemulihan keadilan dari tindak pidana terhadap pelaku dan korban. Hal ini juga dilakukan guna menghindari (menekan) perkara pidana bergulir ke pengadilan. Keduanya, harus dipahami perbedaannya agar tidak tercampur antara plea bargain dengan restorative justice.

Restorative justice itu sebetulnya penyelesaian perkara di luar pengadilan, sementara plea bargain bukan penyelesaian perkara di luar pengadilan. Dia tetap melibatkan pengadilan yang memiliki peran penting di dalam prosesnya, Jaksa yang akan menegosiasikan dan memiliki kendali terhadap tuntutan.”

Tags:

Berita Terkait