Mengulas Kembali Perpres tentang Sistem Sertifikasi ISPO
Terbaru

Mengulas Kembali Perpres tentang Sistem Sertifikasi ISPO

Dari tujuh Bab dan 30 Pasal dalam Perpres 44/2020, terdapat 4 materi pokok yang menjadi sorotan. Antara lain terkait sertifikasi ISPO, kelembagaan sertifikasi ISPO, pembinaan dan pengawasan, serta karena ISPO bersifat mandatory maka sanksi administrasi juga dimuat dalam Perpres ini.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Wakil Dekan III FH Universitas Jember Ermanto Fahamsyah. Foto: Istimewa
Wakil Dekan III FH Universitas Jember Ermanto Fahamsyah. Foto: Istimewa

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia merupakan sektor usaha yang menjanjikan karena menyerap tenaga kerja yang cukup besar dan menyumbang devisa bagi negara, sehingga dapat mendukung pembangunan ekonomi nasional. Untuk itu, penting bagi pemerintah memberi atensi lebih dalam sistem pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang efektif, efisien, adil, dan berkelanjutan. Sebagai upaya pemerintah dalam memastikan usaha perkebunan kelapa sawit sesuai dengan ketentuan perundang-undangan telah diterbitkan Perpres No.44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.

Perpres tersebut diterbitkan sebagai bentuk penyempurnaan atas penyelenggaraan Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO). Sebelumnya penyelenggaraan system ini dilakukan mengacu Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.

“Sebenarnya ISPO sudah diinisiasi sejak sebelum tahun 2011, kalau tidak salah 2009-2010. Tetapi baru berhasil dibuat aturannya itu baru tahun 2011 melalui Peraturan Menteri Pertanian No.19 Tahun 2011. Jadi ISPO itu baru berhasil diatur dan diberlakukan secara wajib bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia melalui Permentan,” ujar Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Jember, Dr. Ermanto Fahamsyah, yang pernah terlibat aktif dalam perancangan Perpres 44/2020 kepada Hukumonline, Selasa (27/9/2022).

Namun, setelah dilakukan penyempurnaan kembali dengan terbitnya Permentan No.11 Tahun 2015 dinilai belum mampu menjawab sejumlah pertanyaan, hambatan, persoalan terkait dengan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO). Merespons itu, pada 2016 terdapat inisiasi yang disebut dengan proses penguatan ISPO. Ermanto menjelaskan sejak pertemuan di tahun 2016, selanjutnya dihasilkan kesepakatan konsensus mengenai ISPO yang harus diperkuat.

Di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dibentuklah Tim Penguatan ISPO sampai akhirnya terbit Perpres 44/2020 itu. Terdapat sejumlah dasar pertimbangan mengapa Permentan dianggap belum cukup dalam menjawab problema ISPO. Pertama, perlu dikuatkan dasar hukum atau dasar pengaturannya. Mengingat, penanganan terhadap ISPO melibatkan lintas kementerian, lembaga, dan instansi yang membuatnya tidak cukup bila hanya diatur pada level Peraturan Menteri Pertanian.

Kedua, skema sertifikasi ISPO selama ini dinilai belum sesuai dengan skema sertifikasi yang diakui di tingkat nasional ataupun internasional sebab independensinya masih dipertanyakan. Seharusnya skema sertifikasi termasuk ISPO sesuai dengan skema yang diatur dan diberlakukan oleh Komite Akreditasi Nasional yang merujuk pada komite tingkat internasional. Terkait ISPO, skema ini perlu diselaraskan kembali.

“Pertimbangan berikutnya, struktur organisasinya harus disesuaikan kembali. Pelaku-pelaku atau para pihaknya harus direformulasi kembali. Dengan beberapa pertimbangan itu akhirnya perlu dilakukan penguatan ISPO. Terakhir pada tahun 2020 itu terbitlah apa yang disebut Perpres 44/2020 itu,” jelasnya.

Dari ketujuh Bab dan 30 Pasal dalam Perpres 44/2020, Erman menegaskan terdapat 4 materi pokok yang menjadi sorotan. Antara lain terkait sertifikasi ISPO, kelembagaan sertifikasi ISPO, pembinaan dan pengawasan, serta karena ISPO bersifat mandatory maka sanksi administrasi juga dimuat dalam Perpres ini.

“Ada beberapa pengaturan krusial dalam Perpres ini yang membedakan dengan Permentan sebelumnya. Kalau dulu Permentan yang diwajibkan hanya pelaku usaha berbentuk perusahaan, tapi berdasarkan Perpres ini baik perusahaan atau pekebun keduanya diwajibkan (sertifikasi ISPO). Meskipun untuk pekebun ada masa transisi 5 tahun sejak Perpres ini diundangkan. Pengaturan krusial berikutnya, mekanisme pengambilan keputusan sertifikasi ISPO itu ditetapkan dengan lebih akuntabel, transparan, dan memenuhi standar sistem sertifikasi Internasional.”

Melalui Perpres juga memuat kriteria ISPO; mewajibkan ISPO yang semula tidak wajib dengan adanya pendanaan sertifikasi ISPO, khususnya bagi pekebun; peran penting pemerintah beserta stakeholder pada Perpres dituangkan dengan lebih tegas, khususnya dalam rangka meningkatkan penerimaan pasar terhadap ISPO; sampai dengan pengaturan keberadaan pemantau independen.

Komisioner sekaligus Wakil Ketua Komisi Kerja Sama dan Kajian Kelembagaan-Badan Perlindungan Konsumen Nasional RI (2020-2023) ini mengaku setelah 2 tahun berlaku segala ketentuan pada Perpres 44/2020, nyatanya masih belum dapat mengantisipasi persoalan yang muncul.

“Ternyata tuntutan sertifikasi perkebunan kelapa sawit sampai ke rantai pasok itu seharusnya sudah dicakup dalam Perpres ini. Secara detail, seharusnya ya. Ini salah satu tantangan. Ada wacana Perpres ini harus dilakukan penyempurnaan kembali, karena sertifikasi rantai pasok ISPO itu diminta untuk segera diberlakukan sementara dasar rujukannya belum ada,” imbuhnya.

Namun demikian, ia memandang eksistensi Perpres 44/2020 telah menimbulkan dampak positif. Seperti dalam hal ownership dari lembaga atau kementerian lain jadi lebih besar, berhubung sebelumnya ISPO hanya berada pada lingkup Kementerian Pertanian. Lalu dengan pelaksanaan mulai dari pelaksanaan sertifikasi sampai pengambilan keputusan hanya berada pada lembaga tersertifikasi, independensinya lebih dapat diterima dan dipertanggungjawabkan, serta prosesnya menjadi lebih cepat.

“Saya menyadari aturan apapun, sebaik atau selengkap apapun, tetapi kalau tidak didukung dengan legal culture dengan dukungan aparatur pelaksana tentu juga tidak akan berjalan maksimal. Tetapi saya melihat sebenarnya efek positifnya terlihat dengan adanya Perpres ini. Harapannya, Perpres ini sebetulnya mampu menjawab segala pertanyaan, tantangan, dan tuntutan dalam perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang berkelanjutan agar berkeadilan dan berkemanfaatan sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait,” katanya.

Tags:

Berita Terkait