Menyoal Aspek Hak Cipta atas Karya Hasil Artificial Intelligence
Kolom

Menyoal Aspek Hak Cipta atas Karya Hasil Artificial Intelligence

Apabila AI menghasilkan suatu karya, menurut UU Hak Cipta karya tersebut tidak tergolong sebagai ciptaan yang dapat dilindungi dan AI pun tidak tergolong sebagai pencipta.

Syarat orisinalitas ini juga tercermin pada definisi ‘Pencipta’ pada Pasal 1 angka 2 Undang-undang Hak Cipta yang berarti: “seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu Ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Personalitas atau kepribadian ini mengacu pada fakta bahwa agar diakui sebagai suatu Ciptaan, maka Penciptanya harus mampu memiliki personalitas, dimana hal ini hanya dapat dimiliki oleh manusia. Berangkat dari definisi tersebut, karya yang diciptakan oleh AI tidak memenuhi konsep orisinalitas karena selain tidak dibuat oleh manusia, karya AI adalah kombinasi dari karya-karya terdahulu yang dimodifikasi oleh mesin sehingga karya tersebut tidak mencerminkan ciri khas serta pribadi dari penciptanya.

Syarat selanjutnya adalah fiksasi atau perwujudan. Karya yang dilindungi hak cipta harus difiksasikan dalam sebuah medium. Hak cipta tidak melindungi ide-ide melainkan ekspresi dari ide-ide tersebut yang terwujud secara nyata pada medium yang stabil (Stephen M. McJohn, Intellectual Property (Sixth Edition), New York: Wolters Kluwer, 2019). Karya AI memenuhi syarat ini karena karya-karya seperti gambar, lagu, dan lain sebagainya merupakan medium yang stabil dan merupakan ekspresi atas ide-ide tertentu. Namun, perlu diingat bahwa kedua syarat tersebut bersifat kumulatif, sehingga oleh karena karya yang dihasilkan dengan AI tidak memenuhi syarat orisinalitas, maka karya AI tidak dapat dikategorikan sebagai ciptaan yang dapat dilindungi hak cipta.

Hak cipta pada dasarnya adalah hak-hak eksklusif yang dimiliki pencipta yang dalam regulasi Hak cipta di Indonesia, hak cipta terbagi menjadi hak moral dan hak ekonomi. Sehingga, secara a contrario, apabila suatu karya tidak digolongkan sebagai suatu ciptaan, maka karya tersebut tidak memiliki hak-hak istimewa sehingga bisa digunakan semua orang dan sifatnya public domain. Walaupun sifatnya tergolong public domain, pengguna harus tetap memperhatikan syarat dan ketentuan yang berlaku pada platform di mana kita memperoleh karya yang dihasilkan oleh AI dikarenakan saat pengguna menggunakan platform tersebut, biasanya akan ada syarat dan ketentuan yang harus disepakati sehingga pengguna terikat hubungan kontraktual dengan pengembang dan/atau pengelola platform.

Contohnya seperti syarat dan ketentuan yang diatur pada Deep Dream Generator, sebagai berikut: “It is permissible to utilize the resulting images for commercial purposes solely if said images were generated while the user was in possession of an active paid subscription plan or upon the acquisition and utilization of a paid energy pack for said image creation.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku saat ini belum dapat mengakomodir hak cipta dari karya-karya yang dihasilkan dengan AI. Namun, apakah hal ini perlu diatur pada peraturan perundang-undangan terkait hak cipta? Perlu diingat bahwa konsepsi hak cipta berakar dari fakta bahwa diperlukan penghargaan bagi pencipta agar pencipta dapat memperoleh keuntungan dari jerih payahnya yang berguna untuk masyarakat. Mengingat kedua dimensi hak cipta yakni hak moral dan hak ekonomi, penulis rasa hal ini tidak urgen dikarenakan sebuah AI tidak memerlukan hal-hal diatas untuk melangsungkan hidupnya.

Sehingga untuk saat ini, apabila AI menghasilkan suatu karya, menurut UU Hak Cipta karya tersebut tidak tergolong sebagai ciptaan yang dapat dilindungi dan AI pun tidak tergolong sebagai pencipta. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa pengguna tetap terikat dalam hubungan kontraktual dengan pengelola platform sehingga dimungkinkan adanya pembatasan hak untuk menggunakan karya-karya yang dihasilkan oleh AI serta dimungkinkan pula ada kewajiban yang wajib dipenuhi oleh pengguna kepada pengelola platform.

*) Dr. Michael Hans, S.H., S.E., M.Kn., LL.M., CLA, CCD & Cynthia Prastika Limantara, S.H., keduanya adalah advokat di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait