Menyoal Fenomena Pungli di Sektor Pelayanan Publik
Terbaru

Menyoal Fenomena Pungli di Sektor Pelayanan Publik

Survei TII menyebutkan suap paling banyak terjadi di layanan Kepolisian.

CR-27
Bacaan 3 Menit
Webinar menuju peringatan Hari Anti Korupsi yang bertajuk Fenomena Pungutan Liar di Sektor Pelayanan Publik dan Efektivitas Penanganannya, Selasa (8/12). Foto: RES
Webinar menuju peringatan Hari Anti Korupsi yang bertajuk Fenomena Pungutan Liar di Sektor Pelayanan Publik dan Efektivitas Penanganannya, Selasa (8/12). Foto: RES

Pungutan liar atau pungli adalah sebutan semua bentuk pungutan yang tidak resmi, tidak memiliki landasan hukum. Pungli menjadi salah satu tindakan pidana korupsi karena di sebagian besar kasus terjadi akibat penyalahgunaan wewenang.

Penyalahgunaan wewenang pejabat dalam jabatannya merupakan unsur melawan hukum dan merupakan sebuah tindak pidana. Pungli banyak ditemukan pada lembaga serta layanan publik. Sepanjang tahun 2021 ini, Ombudsman menerima lebih dari 16 ribu laporan terkait layanan publik.

Ombudsman selaku badan yang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintah menerima laporan masyarakat serta memeriksa dan menindaklanjuti laporan untuk selanjutnya melakukan investigasi terhadap pungli di sektor layanan publik. Pada tahun 2021 dugaan maladministrasi di sektor permintaan imbalan uang, barang dan jasa mencapai 11%.

Ombudsman menilai pelayanan publik saat ini hanya sekadar tersedia, namun tidak ada fungsinya, dalam artian hanya bersifat seremonial sehingga masyarakat tidak mendapat layanan publik yang maksimal. (Baca: Prosedur Melaporkan Anggota Polri dan Sanksi Bagi yang Melanggar Kode Etik)

Transparansi Internasional Indonesia (TII) merilis Global Corruption Barometer (GCB) Asia 2020 yang merupakan potret opini publik terbesar dan paling rinci tentang pandangan masyarakat tentang korupsi serta pengalaman langsung praktik penyuapan di Asia dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Basis responden ini merupakan masyarakat yang representatif yang dilakukan di 17 negara. Indikator yang dinilai berupa kinerja pemerintah, persepsi korupsi di lembaga negara, pengalaman melakukan suap, suap di pelayanan publik dan peran publik.

Menurut peneliti TII Izza Akbarani, suap masyarakat paling banyak terjadi di layanan kepolisian. “Tingkat suap di sektor pelayanan publik Indonesia adalah tertinggi nomor tiga se-Asia yaitu sebanyak 30%. Pengalaman suap masyarakat paling banyak terjadi di layanan kepolisian yaitu sebanyak 41% hal ini melampaui di atas rata-rara Asia yang hanya 23%. Melihat hal ini kinerja pemerintah dalam pemberantasan pungli masih stagnan,” jelasnya dalam webinar menuju peringatan Hari Anti Korupsi yang bertajuk Fenomena Pungutan Liar di Sektor Pelayanan Publik dan Efektivitas Penanganannya pada Selasa (8/12).

Ada indikasi sistem pemerintah terhadap pungli di sektor layanan publik belum dapat membuat masyarakat dan publik merasa tidak takut lagi jika melaporkan kasus korupsi. “Ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan kita semua, sehingga masyarakat tidak takut menolak pungli dan melaporkannya. Masyarakat kita juga hampir 66% nya tidak yakin laporan korupsi atau laporan pungli ditindaklanjuti,” lanjutnya.

Menurut Izza, tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah berbanding lurus dengan tingkat kinerja KPK. Lembaga legislatif, birokrasi dan penegakan hukum dinilai masih jadi sarang korupsi. Praktik suap di lembaga penegak hukum dan lembaga politik cenderung meningkat. Peran publik dianggap masih krusial walaupun optimismenya menurun, perlindungan pelapor korupsi masih menjadi persoalan karena adanya iklim administrasi yang masih berjalan kurang sehat.

“Meski pungli seringkali dianggap korupsi kecil, namun dari hal-hal kecil inilah kemudian menjadi besar dan untuk membangun lembaga pelayanan publik bebas pungli yang paling prinsip adalah keterbukaan dan kejelasan tahapan,” ujarnya.

Peneliti Indonesia Ccorruption Watch (ICW) Lalola Easter memaparkan ada dua kategori pungli, yaitu pungli yang dilakukan oleh petugas pemberi layanan kepada penerima layanan dan pungli yang dilakukan oleh petugas pemberi layanan kepada sesamanya atau antara pegawai publik kepada pegawai publik lainnya.

Ia melanjutkan pungli jelas mendiskriminasi penerima layanan yang tidak dapat atau menolak pembayaran yang mengakibatkan ketimpangan pemberian layanan publik. “Pungli yang dilakukan antar pegawai publik juga sama diskriminatifnya, karena perbuatan tersebut memperbesar peluang bagi individu yang tidak berkompeten untuk menempati jabatan publik karena kemampuan ekonomi, bukan kompetensinya,” kata Laola.

Pungli digolongkan ke dalam beberapa perbuatan menyalahi hukum salah satunya pemerasan. Hal ini diatur secara jelas dalam pasal 423 KUHP dan Pasal 12 huruf E UU Tipikor. Saat ini telah dibentuk tim satgas saber pungli yang dibentuk berdasarkan Perpres No.87 Tahun 2016 yang menyasar sejumlah sektor pelayanan publik, ekspor, impor, penegakan hukum, perizinan, kepegawaian, pendidikan, pengadaan barang dan jasa serta kegiatan pungli lainnya yang meresahkan masyarakat.

Setiap tahun, tim saber pungli ini menerima sekitar 37 ribu laporan masyarakat dan sepanjang Januari hingga Agustus 2021 telah melakukan 43.953 OTT dan menetapkan lebih dari 63 ribu orang tersangka dengan total pungli mencapai Rp325 miliar.

Tags:

Berita Terkait