Menyoal Fungsi dan Kewenangan MUI Pasca Terbitnya PP JPH
Urgensi Sertifikasi Halal

Menyoal Fungsi dan Kewenangan MUI Pasca Terbitnya PP JPH

Indonesia Halal Watch melakukan judicial review terhadap PP Jaminan Produk Halal karena menghapus sebagian kewenangan MUI.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan dari UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Undang-undang ini mengamanatkan terhitung 17 Oktober 2019 semua produk wajib bersertifikat halal.

 

Sebelum PP JPH terbit, proses sertifikasi halal masih dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun setelah PP JPH terbit maka kewenangan penerbitan sertifikasi halal berada sepenuhnya di BPJPH selaku leading sektor Jaminan Produk Halal. Hal ini menuai kritik dari salah satu lembaga pemerhati produk halal, yakni Indonesia Halal Watch (IHW). Bahkan, IHW mengajukan judicial review atas PP 31/2019 yang baru saja terbit pada Mei lalu.

 

Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdullah menjelaskan bahwa judicial review ini dilakukan dengan mempertimbangkan pada 5 (lima) alasan penting. Pertama, PP ini berpotensi membebani masyarakat khususnya dunia usaha. Mandatori sertifikasi halal berpotensi membebani UKM, oleh karena itu seharusnya negara memsubsidi sertifikasi halal bagi UKM, tidak dibebankan kepada pihak-pihak lain sebagaimana tersirat dalam Pasal 62 dan Pasal 63 PP JPH.

 

Kedua, PP ini mereduksi atau mendelusi kewenangan MUI sebagai stakeholder yang diamanatkan UU JPH, yakni sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk menetapkan kehalalan produk.

 

Ketiga, semangat PP JPH mereduksi atau mendelusi kewenangan MUI, tercermin sebagaimana yang tersurat di dalam Pasal 22 ayat (2) yang menyatakan “Pendidikan dan pelatihan sertifkasi auditor halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh BPJPH dan dapat diselenggarakan oleh lembaga pendidikan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

 

Padahal, kata Ikhsan, di dalam UU JPH Pasal 14 ayat (2) huruf f telah jelas di atur bahwa “Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan memperoleh sertifikat dari MUI”.

 

(Baca: Bersertifikasi atau ‘Tersisih’ oleh Produk Halal Impor)

 

Keempat, ketentuan mengenai Kerjasama Internasional sebagaimana yang diatur pada Pasal 25 pada PP ini tidak melibatkan kewenangan MUI yang berkaitan dengan pengakuan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi halal luar negeri maka berpotensi memudahkan masuknya produk impor dari luar negeri.

 

Menurut Ikhsan, pasar Indonesia akan dibanjiri oleh produk-produk impor karena pengakuan sertifikasi produk asing tersebut tidak berdasarkan standar kehalalan MUI. Padahal di dalam UU JPH telah jelas di atur bahwa menetapkan kehalalan produk adalah kewenangan MUI. Peran dan fungsi fatwa MUI di antaranya adalah mencegah masuknya barang-barang asing yang tidak jelas kehalalannya.

 

Kelima, jiwa dari PP ini pada intinya mengambil kewenangan stakeholder yang lain dan bukan membangun semangat kerjasama sehingga akan berdampak buruk bagi pertumbuhan produk halal dan industri halal di Indonesia.

 

(Baca: Klasifikasi Produk yang Wajib dan Tak Diwajibkan Bersertifikasi Halal)

 

Jika merujuk ke dalam PP JPH, wewenang BPJPH tercantum di dalam Pasal 4. Beberapa di antaranya adalah menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk, melakukan akreditasi terhadap LPH dan melakukan registrasi auditor Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Dalam pelaksanaanya BPJPH menggandeng MUI.

 

Sementara, Pasal 21 dan Pasal 22 mengatur secara rinci bentuk kerja sama yang dilakukan antara MUI dan BPJPH yang meliputi sertifikasi auditor halal, penetapan kehalalan produk, dan akreditasi LPH. Pasal-pasal tersebut menjadi sorotan bagi IHW. 

 

Hukumonline.com

 

Kemudian mengenai kewenangan sertifikasi auditor di dalam pasal 14 ayat 2 huruf f. Menurut Ikhsan, tugas dan kewenangan yang ada di dalam pasal tersebut seharusnya menjadi kewenangan MUI sesuai UU JPH. Namun PP JPH justru menghilangkan wewenang MUI tersebut.

 

“Itu jelas dia (BPJPH, -red) tidak mau bekerjasama dengan MUI, bekerja sama dengan bentuk kerja sama untuk membangun kurikulum untuk auditor kayak apa, bagaimana sertifikasinya, enggak sampai kini. Terus bagaimana melaksanakan UU itu?” kata Ikhsan.

 

Dalam konteks ini, kata Ikhsan, negara seharusnya memperkuat posisi MUI. Pasalnya, MUI adalah lembaga yang sudah malang melintang selama 30 tahun mengurusi persoalan produk halal di Indonesia dan persoalan produk halal memang sudah menjadi domainnya agama dan ulama. Kehadiran BPJPH seharusnya bisa memperkuat MUI, bukan malah sebaliknya.

 

Di sisi lain, penguatan MUI dengan bekerjasama bersama BPJPH dapat menghemat anggaran negara. Saat ini, MUI sudah memiliki kantor cabang di 34 provinsi, sehingga pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan anggaran besar untuk membangun kantor cabang di daerah dan tinggal menyempurnakan fasilitas yang sudah tersedia. Adapun anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi pembangunan kantor dan perekrutan pegawai baru dapat dialokasikan untuk mensubsidi UKM yang ingin mengurus sertifikasi halal.

 

“Jangan bikin baru semuanya, orangnya baru, infrastruktur ganti, standar halal baru bangun, sistemnya online atau bagaimana baru dibuat. Berapa banyak negara keluarin duit, sementara yang sudah ada diabaikan,” ujarnya.

 

Bila sertifikasi halal bersifat mandatori, maka menurut Ikhsan sudah sewajarnya negara ikut membiayai sertifikasi halal tersebut terutama bagi industri UKM. Hal ini mengingat pemerintah betanggung jawab untuk membantu mendorong tumbuhnya industri agar berdaya saing.

 

“Akan tetapi jika semuanya diserahkan kepada industri, jelas hal ini akan memberatkan,” kata Ikhsan.

 

Namun terlepas dari keberadaan BPJPH, Ihksan memberikan masukan agar pemerintah membuat sebuah badan halal yang berada di bawah presiden. Persoalan produk halal yang cukup kompleks tak bisa diserahkan kepada kementerian. Terkait minimnya keterlibatan MUI dalam kerjasama internasional, Ikhsan menekankan bahwa semua produk yang masuk ke Indonesia harus disertifikasi oleh MUI mengingat persoalan halal menjadi bagian dari agama dan ulama.

 

Kepala Sub Bidang Verifikasi dan Penilaian Halal Produk BPJPH Kementerian Agama, Fitriah Setia Rini, membantah jika MUI tak berperan dalam proses sertfikasi produk halal yang menjadi kewenangan Komisi Akreditasi Nasional (KAN).

 

Menurutnya, setiap produk luar negeri yang masuk harus melewati proses sertifikasi di KAN. Lembaga MUI memiliki peran layaknya dalam sertifikasi LPH. Fitriah mengklaim bahwa hal tersebut sudah diatur sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

 

“Jadi untuk kerja sama luar negeri itu berlaku ketentuan sebagaimana undang-undang sudah tetapkan, pengakuan LPH, sertifikasi LPH itu ada peran MUI di dalamnya,” ujar Fitriah.

 

Hukumonline.com

Sumber: BPJH Kementerian Agama RI

 

Untuk sertifikasi LPH, diakui Fitriah bahwa sertifikat LPH diterbitkan oleh BPJPH. Namun lagi-lagi ia mengingatkan bahwa dalam proses sertifikasi MUI tetap berperan di dalamnya. Sedangkan penerbitan sertifikasi auditor halal diserahkan kepada MUI.

 

Dia juga membantah jika ada kewenangan MUI yang tereduksi oleh PP ini. Dalam konteks ini, lanjutnya, ada pelebaran tugas yang sebelumnya hanya dilakukan oleh MUI. Penerbitan sertifikasi halal oleh negara bertujuan untuk memperkuat produk dan daya tawarnya.

 

“Bukan tereduksi, pertama proses pendaftaran yang sebelumnya ada di MUI, sekarang dengan BPJPH. Kedua terkait penerbitan sertifikat sebelumnya sertifikat ditterbitkan MUI, sekarang BPJPH tapi dengan sertifikat diterbitkan oleh negara maka daya tawar, sertifikat halal juga lebih kuat ketika produk ini dijual ke negara lain,” urai Fitriah.

 

Sekadar catatan, di dalam UU JPH diatur bahwa MUI melakukan penetapan produk, melakukan sertifikasi auditor halal, dan ketiga mengakreditasi LPH. Diklat dilaksanakan oleh BPJPH kemudian uji kompetensi dilaksanakan oleh MUI. Sementara di dalam PP peranan MUI diatur lebih rigit lagi.

 

Fitirah membenarkan jika diklat dilakukan oleh BPJPH, namun tidak melepaskan MUI terutama terkait penyusunan standar diklat, kemudian penyediaan nara sumber yang melakukan diklat. Sedangkan untuk akreditasi LPH, penilaian kesesuaian dari MUI menjadi hal yang mutlak bagi satu LPH untuk bisa mendapatkan sertifikat LPH.

 

Fitriah menambahkan mahal tidaknya biaya sertifikasi akan tergantung dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Dalam hal ini, peran BPJPH hanya memberi usulan. Dia juga mengingatkan bahwa dalam Pasal 44 UU JPH tertera klausul adanya fasilitas pembiayaan bagi UMKM.

 

“Jadi bukan langsung digratiskan, tapi ada fasilitas anggaran dari negara maupun pembiayan swadaya dari masyarakat,” tandasnya.

 

Tags:

Berita Terkait