Menyoal Klaim Asuransi Sebagai Utang dalam Kepailitan
Berita

Menyoal Klaim Asuransi Sebagai Utang dalam Kepailitan

Ada perkara pencabutan izin usaha yang belum berkekuatan hukum tetap.

FNH
Bacaan 2 Menit
Gedung PN Jakpus. Foto: SGP (ilustrasi)
Gedung PN Jakpus. Foto: SGP (ilustrasi)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi Bumi Asih Jaya (BAJ) ke Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat. Dalam persidangan, BAJ menggunakan sejumlah dalil untuk mementahkan permohonan.

Sejak sidang perdana digelar, Selasa (10/3) hingga sidang terakhir, Kamis (01/4), kedua belah pihak mengajukan argumentasi masing-masing. OJK mengklaim punya hak mengajukan permohonan pailit itu meskipun saat ini sedang ada perkara tata usaha negara berupa pencabutan izin usaha yang masih diproses di Mahkamah Agung.

Sebaliknya, BAJ mengatakan Pengadilan Niaga tak berwenang menangani permohonan ini karena menganggap klaim asuransi yang belum dibayarkan bukanlah utang dalam pengertian UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan).  BAJ juga menganggap permohonan pailit ini tak lebih sebagai upaya OJK mengeksekusi putusan perkara TUN yang belum berkekuatan hukum tetap.

BAJ mengajukan dalil Pasal 50 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Menurut pasal ini permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah tidak dapat diajukan dalam rangka mengeksekusi putusan pengadilan.

Namun dalam putusan sela, Kamis (01/4) lalu, majelis hakim Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat menolak eksepsi mengenai kopetensi absolut yang diajukan BAJ. Ketua majelis hakim, Titik Tedjaningsih membacakan alasannya. “Mengacu pada Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, maka eksepsi tentang kompetensi absolut yang diajukan termohon dinyatakan ditolak”.

Seorang akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, M. Hadi Subhan, dihadirkan OJK untuk memperkuat argumentasi permohonannya. Menurut Hadi, OJK memiliki wewenang untuk mengajukan pailit terhadap BAJ. Demi kepentingan perlindungan represif, OJK bisa mengajukan pailit perusahaan asuransi tanpa adanya pengajuan dari kreditur. Permohonan kepailitan tidak terhalang klausul arbitrase dan proses pencabutan izin usaha. “Ada atau tidaknya izin usaha, sebuah perusahaan dapat dipailitkan,” jelasnya.

Sebelumnya, kuasa hukum BAJ memang menyinggung pencabutan izin usaha kliennya. Wilsye Damanik, pengacara BAJ, menyatakan OJK tidak memiliki wewenang untuk mengajukan pailit mengingat status izin usaha BAJ sudah dicabut. Merujuk pada Pasal 51 ayat (1) UU Perasuransian, kalau mau mengajukan pailit suatu perusahaan asuransi, kreditor menyampaikan permohonan dulu kepada OJK, baru kemudian OJK mengajukan permohonan.

Jika tak ada kreditor yang meminta, OJK tak punya kedudukan hukum untuk mengajukan pailit. Wilsye menunjuk kasus ini, pemohon pailitnya adalah OJK bukan pemegang polis. Selain itu, permohonan masih prematur, karena sengketa TUN pencabutan izin usaha belum berkekuatan hukum tetap.  

Dan, tidak kalah penting, BAJ menganggap klaim asuransi bukanlah utang. Apalagi dalam permohonan, pemohon selalu menyebut pembayaran klaim manfaat asuransi, bukan istilah utang.

Toh, argumentasi mengenai kompetensi absolut sudah sudah ditepis majelis hakim. “Kami  ikuti proses persidangan selanjutnya,” kata Sabas Sinaga, pengacara BAJ lainnya.

Kuasa hukum OJK, Tongam L. Tobing mengatakan Pengadilan Niaga berwenang menangani permohonan kliennya. Sesuai UU Kepailitan,  pengajuan permohonan pailit perusahaan sektor keuangan, seperti perbankan, perusahaan pembiayaan, hingga asuransi, hanya bisa dilakukan otoritas pengawas, dalam hal ini OJK.

Mengenai langkah BAJ mempersoalkan klaim asuransi sebagai utang, Tongam menjelaskan UU Kepailitan menganut pengertian utang secara luas. Klaim asuransi yang tidak dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, kata Tongam, masuk ke dalam definisi utang. “Kan yang penting ada kewajiban, mereka punya kewajiban untuk membayar yakni klaim. Jadi itu termasuk utang,” ungkapnya.

Terkait pencabutan izin, dijelaskan Tongam, izin BAJ dicabut pada Oktober 2012. Saat izin usaha BAJ dicabut, UU No. 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian masih berlaku dan karena itu OJK mengacu pada UU No. 2 Tahun 1992. Namun pada 2014, UU Perasuransi direvisi dan diubah menjadi UU No. 40 Tahun 2014, yang disahkan pada Oktober lalu.

Permohonan pailit terhadap Bumi Asih diajukan OJK karena perusahaan itu belum membayar tagihan klaim yang sudah jatuh waktu. Namun, belum diketahui berapa nilai utang BAJ kepada para kreditornya. Tongam menegaskan, pengajuan pailit atas BAJ telah memenuhi syarat: ada dua kreditor atau lebih, tagihan telah jatuh tempo dan bisa ditagih, serta termohon tidak mampu membayar utang-utangnya.
Tags:

Berita Terkait