Menyoal Penerapan Qanun Jinayah dalam Kasus Kekerasan Seksual
Utama

Menyoal Penerapan Qanun Jinayah dalam Kasus Kekerasan Seksual

“Tak dapat dibandingkan antara qanun dan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak karena konteksnya UU Perlindungan Anak melengkapi qanun, bukan saling berhadap-hadapan satu dengan lainnya.”

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Menyoal Penerapan Qanun Jinayah dalam Kasus Kekerasan Seksual
Hukumonline

Dalam beberapa waktu terakhir kasus pemerkosaan terhadap anak perempuan berusia 11 tahun menjadi sorotan publik, yang pelakunya di putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh (MSA) dinyatakan bebas. Padahal di tingkat Mahkamah Syar’iyah Jantho, pelaku diganjar hukuman sesuai tuntutan jaksa dengan hukuman 200 bulan penjara. Ini salah satu kasus yang telah menerapkan Peraturan Qanun Aceh tentang Hukum Jinayah, dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Aktivis Perempuan Aceh, Suraiya Kamaruzzaman menilai ada persoalan ketidakadilan dalam kasus itu. Berdasarkan data yang dikantonginya, sejak Januari hingga Maret 2021 kekerasan terhadap perempuan berjumlah 7 kasus. Sedangkan kekerasan seksual terhadap anak berjumlah 14 kasus. Sedangkan pelecehan seksual terhadap perempuan berjumlah 6 kasus serta kekerasan seksual terhadap anak berjumlah 46 kasus.

Dia menilai penerapan Peraturan Qanun Aceh No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah tidak lebih baik bila dibandingkan UU No.17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Penerapan UU Perlindungan Anak lebih keras hukumannya ketimbang qanun jinayah. Untuk itu, dia mendorong agar jerat ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan seksual menggunakan UU 17/2016.

“Kenapa penting menggunakan UU Perlindungan Anak, karena ada penambahan hukuman 1/3 bagi orang-orang terdekat,” kata Suraiya dalam webiinar bertajuk “Mengkaji Kedudukan Qanun dalam Perundang-undangan Nasional: Komitmen Negara Melindungi Perempuan dan Anak dari Kasus Kekerasan Seksual”, Rabu (2/6/2021). (Baca Juga: Qanun Hukum Jinayah, Kitab Pidana ala Serambi Mekkah)

Apalagi, Qanun Jinayah tidak mengatur hak anak atas perlindungan dari kejahatan seksual. Kemudian, tidak mengatur hak restitusi bagi korban (karena belum ada aturan pelaksana, red). Selanjutnya, tidak mengatur pemberatan/penambahan bagi pelaku yang notabene orang-orang terdekat korban. Karenanya, perlu mendorong dilakukan revisi terhadap qanun jinayah, khususnya pasal pelecehan dan perkosaan serta pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Ketua Pusat Studi Islam Perempuan dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta, Yulianti Muthmainnah mengatakan dalam sebuah hadits seorang hakim separuh kakinya berada di neraka. Bila seorang hakim tak mampu memberikan putusan yang adil berada di neraka. “Hadits ini penting menjadi pengingat bagi pejabat publik agar berlaku adil,” ujarnya.

Dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuaun dan anak kerap terjadi di banyak negara. Pelecehan seksual merupakan tindakan dan ucapan yang merendahkan perempuan dan anak yang membuat psikisnya terganggu. Sedangkan kekerasan seksual berakibat penderitaan secara psikis dan fisik. Ironisnya, pelaku kekerasan seksual berasal dari orang-orang terdekat korban. Seperti ayah, paman, adik bahkan kakak yang notabene muhrimnya. Bisa juga pelakunya tetangga, guru serta siapapun yang memiliki relasi dengan korban.

“Kenapa kasus ini sering terjadi, karena tidak punya mekanisme perlindungan korban yang memadai. Pelaku masih dihukum ringan,” kata dia.

Ditegaskan Yulianti, perempuan dan anak korban kekerasan seksual di Indonesia minim dukungan. Dia sempat mendengar terdapat 8 orang perempuan korban kekerasan seksual terkena hukuman cambuk lantaran dinilai melakukan perzinahan. Padahal penerapan qanun jinayah juga harus dilakukan secara hahti-hati. Begitu pula aparat penegak hukum harus paham betul penerapan qanun jinayah.

“Kasus di Aceh ini menjadi momentum kita untuk refleksi, supaya korban perempuan dan anak bisa mendapat perlindungan yang memadai,” katanya.

Tak dapat dibandingkan

Hakim Yustisial Mahkamah Agung, Mardi Candra berpandangan terdapat banyak kritikan terhadap pelaksanaan hukum Islam di Aceh. Termasuk terhadap mahkamah syar’iyah. Dia sempat melakukan riset pada 2018. Menurutnya, masyarakat Aceh tak dapat dilepaskan dari dunia keislaman. Negara pun menghormati penerapan hukum Islam di kota Serambi Mekah itu.

Menurutnya, posisi Mahkamah Syar’iyah dalam hukum nasional dimulai mandat dari konstitusi yakni Pasal 24 dan Pasal 29 UUD Tahun 1945. Selanjutnya dibentuk berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewah Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darusalam (NAD).

Ada pula UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Lalu, UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Peraturan Qanun Aceh No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam, dan Keppres Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah di Provinsi NAD.

“Meski qanun itu sama dengan Perda, tapi tidak bisa dihapus oleh Menkumham, jadi harus dihapus melalui judicial review di Mahkamah Agung (MA). Pernah diuji, tapi MA menolak. Karena qanun sudah sesuai dengan UUD Tahun 1945. Jadi tidak ada yang salah. Kalaupun salah harus ada yang direvisi,” ujarnya.

Menurutnya, dalam kasus pemerkosaan terhadap anak dalam putusan MSA tersebut masih belum berkekuatan hukum tetap. Artinya masih ada upaya hukum kasasi di MA. Nantinya, hakim agung yang bakal memeriksa dan memutuskan. Putusan MSA sama halnya dengan banding di Pengadilan Tinggi Agama (PTA). “Dalam konteks banding, mungkin jaksanya belum bisa meyakinkan dalam pembuktikan. Jaksa harusnya membuktikan lebih bagus,” katanya.

Candra melanjutkan dalam beberapa putusan tingkat kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap terdapat persoalan. Yakni jaksa tak dapat membedakan antara khalwat (pasangan bukan muhrim) dan ikhtilat (bermesraan/bercumbu). Bila jaksa tak dapat membedakan tindak pidana dalam dakwaan akan berdampak terhadap bebasnya terdakwa dari jerat hukuman. “Karena itu pengetahuan aparat-aparat itu harus ditingkatkan,” sarannya.

Dia menyebutkan terdapat pula kasus yang terdakwa diganjar hukuman 120 kali cambuk. Tapi, dalam putusan di tingkat pertama dan banding hanya 80 kali cambuk. Padahal hukuman minimal dalam kasus tersebut 120 kali cambuk. Tak terima atas putusan tingkat pertama dan banding, jaksa pun kasasi. Ternyata, kata Candra, sang terdakwa disabilitas.

“Kalau terdakwa langsung dihukum 120 kali cambuk, langsung mati. Begitupula terhadap pelaku pemerkosa yang kakek-kakek berusia diatas 70 tahun kalau langsung dihukum cambuk langsung mati. Kita harus mempertimbangkan kondisi dan hak-hak lainnya,” kata dia.

Menurutnya, tak dapat dibandingkan antara qanun dan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak karena konteksnya UU Perlindungan Anak melengkapi qanun, bukan saling berhadap-hadapan satu dengan lainnya. Dia mengakui penerapan qanun di Aceh bukan kali pertama menjadi perdebatan. Yang pasti, bila terdapat putusan bebas di pengadilan, itu sudah ada aturannya dalam Pasal 191 KUHAP.

Tags:

Berita Terkait