Mereduksi Celah Penyiksaan di Ruang Tahanan
Kolom

Mereduksi Celah Penyiksaan di Ruang Tahanan

Indonesia harus mengambil langkah efektif serta ekstra konkret guna memutus rantai penyiksaan, utamanya yang sering terjadi di ruang-ruang detensi.

Bacaan 5 Menit
Rozy Brilian Sodik. Sumber: Istimewa
Rozy Brilian Sodik. Sumber: Istimewa

Pada 12 Februari 2022, peristiwa penyiksaan yang melibatkan aparat kepolisian kembali terjadi. Kali ini Alm. Hermanto, seorang warga sipil di Lubuklinggau, Sumatera Selatan menjadi korban kekerasan Kepolisian. Korban meninggal bahkan kurang dari 12 jam setelah proses penangkapan. Hermanto diduga disiksa oleh sejumlah 6 orang anggota Kepolisian Polsek Lubuklinggau Utara di ruang tahanan. Hal ini kembali menegaskan bahwa terdapat permasalahan besar pada sistem peradilan pidana kita, khususnya celah penyiksaan di ruang-ruang detensi.

Peristiwa meninggalnya seseorang yang sedang menjalani proses peradilan pidana tentu bukan kali pertama terjadi. Kasus-kasus serupa kerap terjadi salah satunya karena penyidik masih menggunakan metode kekerasan untuk mendapatkan keterangan atau pengakuan korban.

Selain itu, ruang-ruang detensi yang sifatnya tertutup seperti halnya Rutan dan Lapas menjadi tempat yang begitu rawan terjadinya penyiksaan. Di ruang tertutup terbentuk satu ketimpangan relasi kuasa, di mana petugas dapat berbuat apapun tanpa proses pengawasan yang jelas. Sementara korban tidak memiliki ruang untuk melakukan perlawanan dan terpaksa untuk menerima perlakuan tersebut. Selain itu, tindakan penyiksaan semacam ini nampak telah dinormalisasi, para pelaku juga mayoritas tak pernah diadili secara pantas lewat mekanisme hukum yang berlaku.

Penyiksaan dalam norma internasional masuk ke dalam klasifikasi Ius cogens, artinya kejahatan yang diakui oleh komunitas internasional sebagai tindakan yang tidak dapat dilakukan dalam keadaan apapun. Begitupun konstitusi kita, yakni tertera dalam Pasal 28I UUD 1945 menyebutkan bahwa hak untuk tidak disiksa sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Begitupun Pasal 4 Undang-Undang Hak Asasi Manusia yang mempertegas norma anti penyiksaan dengan menambah diksi ‘dan oleh siapapun’.

Norma hukum anti penyiksaan di Indonesia juga sudah hampir paripurna setelah ratifikasi the United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT) melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.

Baca juga:

Salah satu substansi penting dalam UNCAT tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan kewajiban setiap negara pihak untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum dan langkah-langkah efektif untuk mencegah tindakan penyiksaan di wilayah manapun dalam batas kekuasaannya.

Sayangnya mandat UNCAT tersebut belum sepenuhnya dijalankan secara maksimal. Sebagai contoh kecil, Indonesia belum memiliki satupun UU yang dapat mengkriminalisasi tindakan penyiksaan. Berbagai tindakan masih dikenakan delik umum seperti halnya penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP.

Tags:

Berita Terkait