Pakar Sebut Kunci Penyelesaian Polemik Pegawai KPK di Tangan Presiden
Terbaru

Pakar Sebut Kunci Penyelesaian Polemik Pegawai KPK di Tangan Presiden

KPK membantah mempercepat pemberhentian dengan hormat 56 pegawainya yang tidak lolos TWK.

M. Agus Yozami
Bacaan 4 Menit
Aksi pegawai KPK kirim surat untuk Presiden Jokowi. Foto: RES
Aksi pegawai KPK kirim surat untuk Presiden Jokowi. Foto: RES

Polemik mengenai nasib pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanas. Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta turun tangan membantu penyelesaian polemik tersebut. Pakar Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad menilai Presiden menjadi kunci penyelesaian polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk 57 pegawai KPK.

Suparji menegaskan keputusan akhir dari polemik itu bukan berada di tubuh pimpinan KPK, melainkan berada di tangan pemerintah dalam hal ini adalah Presiden Jokowi. Menurutnya, hal itu didasarkan pada berkas putusan putusan uji materi Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diajukan oleh pegawai KPK beberapa waktu lalu.

Selain itu, menurut putusan MA, gugatan terhadap Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021 yang menjadi dasar TWK tidak tepat. Sebab, hasil asesmen TWK itu bukan kewenangan KPK, melainkan pemerintah.

“Putusan Mahkamah Agung (MA), hasil asesmen TWK bagi pegawai KPK menjadi kewenangan pemerintah. Selama pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi, tidak melakukan keputusan apapun, sebaiknya pimpinan lembaga antirasuah juga melakukan hal yang sama,” kata Suparji seperti dikutip dari Antara, Kamis (16/9).

Hal senada disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sigit Riyanto yang meminta Presiden Jokowi segera mengambil sikap terkait nasib pegawai KPK non aktif. (Baca: Lulus Diklat Bela Negara, KPK Lantik 18 Pegawai KPK Jadi ASN)

"Presiden Jokowi punya kesempatan untuk menunjukkan komitmennya pada aspirasi publik dan menentukan sikap yang jelas bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Sigit.

Sigit menegaskan temuan Ombudsman RI dan Komnas HAM yang masing-masing menemukan malaadministrasi dan pelanggaran HAM. Walaupun kata dia, temuan kedua lembaga tersebut sudah tertolak di hadapan MK.

Namun, menurut Sigit, argumen masing-masing lembaga tersebut menunjukkan triangulasi terhadap alih status pegawai KPK melalui asesmen TWK tidak relevan, tidak kredibel dan tidak adil. Sehingga kata Sigit, saat ini tersisa dua argumen untuk membela nasib pegawai non aktif KPK. Pertama, uji materi keterbukaan informasi publik KPK, dan kedua sikap Presiden Jokowi terhadap keputusan final nasib pegawai non-aktif.

Sebelumnya, tiga pegawai KPK non aktif yakni Hotman Tambunan, Ita Khoiriyah, dan Iguh Sipurba telah memasukan gugatan terkait keterbukaan informasi TWK KPK kepada Komisi Informasi Pusat (KIP).

Selain itu, penyidik senior nonaktif KPK, Novel Baswedan bahkan menyebutkan beberapa pegawai nonaktif KPK ditawari untuk bekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) supaya tidak lagi menggugat keputusan hasil assessmen menjadi ASN KPK.

"Kawan-kawan memilih di KPK karena ingin berjuang untuk kepentingan negara dalam melawan korupsi, tidak hanya untuk sekadar bekerja," kata Novel.

Dia pun menilai perbuatan tersebut merupakan langkah sewenang-wenang. Hal ini dinilai semakin nyata untuk menyingkirkan pegawai KPK berintegritas.

Sementara, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron membantah mengenai penyaluran pegawai yang tidak lolos TWK ke institusi lain. "Sejak kapan KPK jadi penyalur tenaga kerja, tidak ada," kata Ghufron, saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (15/9).

Ghufron mengatakan KPK siap memperjuangkan jika ada permohonan dari pegawai pindah ke institusi lain. "Jadi, KPK tidak menyalurkan tidak mengalihkan, tetapi namanya ada permohonan kami sebagai pimpinan tentu juga kami kemudian sebagai pimpinan harus bertanggung jawab, harus kemudian masih mikirkan karena pegawai KPK bagaimanapun telah berdedikasi kepada KPK. Untuk itu, kami empati dan kami akan coba perjuangkan," ujar Ghufron.

Bantah Dipercepat

Dalam jumpa persnya, KPK membantah mempercepat pemberhentian dengan hormat 56 pegawainya yang tidak lolos TWK. "Jadi, bukan percepatan tetapi memang dalam durasi yang dimandatkan oleh undang-undang," kata Nurul Ghufron.

Ghufron menjelaskan sebagaimana Pasal 69B dan Pasal 69C Undang-Undang No.19 Tahun 2019 tentang KPK, KPK dimandatkan paling lama 2 tahun untuk menyelesaikan proses alih status pegawai KPK menjadi ASN terhitung sejak Undang-Undang tersebut mulai berlaku.

"KPK dimandatkan berdasarkan Pasal 69B dan juga pada Pasal 69C Undang-Undang 19 Tahun 2019 itu paling lama 2 tahun. namanya paling lama, anda boleh menyelesaikan sekolah maksimal 4 tahun, kata orangtuanya kalau bisa 1 tahun kan Alhamdulillah tidak perlu banyak. Malah pertanyaannya kenapa kok baru sekarang pak? karena kami ingin memberikan putusan itu berdasarkan hukum yang kuat," ujar Ghufron.

Lebih lanjut, ia menyatakan keputusan tersebut juga berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 26 Tahun 2021 soal uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dinyatakan tidak diskriminatif dan konstitusional.

Kemudian, putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 34 Tahun 2021 soal uji materi Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Alih Pegawai KPK menjadi ASN dinyatakan bahwa perkom tersebut konstitusional dan sah.

"Karena sebagaimana diketahui, permasalahan ini diadukan kepada lembaga-lembaga negara khususnya yag memiliki kompetensi yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung juga merujuk pada pernyataan saya maupun Pak Alex (Alexander Marwata) sebelumnya bahwa kami masih menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung," ucap dia.

"Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Agustus sudah memutuskan lantas Mahkamah Agung pada 9 September telah memutuskan dan kami kemudian tindaklanjuti dengan rapat koordianasi dengan pemerintah, yakni dalam hal ini kementerian yang memiliki tugas dan fungsi untuk formasi PNS, yaitu Kemenpan RB sementara manajemen teknis kepegawaian itu BKN," tambah Ghufron.

Dalam kesempatan sama, Ketua KPK Firli Bahuri juga menyatakan bahwa alih status pegawai KPK menjadi ASN paling lama 2 tahun sesuai amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.

"Undang-Undang 19 Tahun 2019 itu diundangkan tanggal 19 Oktober 2019 kalau saya tidak salah ya. Artinya paling lama 2 tahunnya 19 Oktober 2021, itu satu. Kedua, kita tunduk pada Undang-Undang, tidak ada istilah percepatan atau perlambatan tidak ada, sesuai putusan saja. Putusannya keluar tanggal 9 September dan 31 Agustus, ya harus kita laksanakan," ujar Firli.

Diketahui, KPK akan memberhentikan dengan hormat 56 pegawainya yang tidak lolos TWK pada 30 September 2021, sedangkan satu orang telah memasuki masa purnabakti sejak Mei 2021. "Terhadap enam orang pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) dan diberi kesempatan mengikuti pendidikan dan pelatihan bela negara dan wawasan kebangsaan namun tidak mengikutinya maka tidak bisa diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara dan akan diberhentikan dengan hormat pertanggal 30 September 2021," kata Wakil Ketua KPK lainnya, Alexander Marwata.

Tags:

Berita Terkait