Pandangan Pimpinan Baru KPK Terhadap Gagasan SP3
Berita

Pandangan Pimpinan Baru KPK Terhadap Gagasan SP3

Berdalih demi kepastian hukum dan penghormatan hak asasi manusia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Pandangan Pimpinan Baru KPK Terhadap Gagasan SP3
Hukumonline

Pimpinan baru Komisi Pemberantasan Korupsi yang akan bertugas mulai tahun depan sudah mengisyaratkan persetujuan mereka terhadap kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Selama ini, KPK tidak memiliki kewenangan itu. RUU Perubahan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang diusung DPR memuat klausula SP3 dimaksud.

Pembahasan revisi kemungkinan berjalan mulus. Presiden Joko Widodo sudah menerbitkan surat dan menugaskan Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk membahas RUU itu di Senayan bersama DPR. Jika ide DPR itu disetujui, dan Pemerintah setuju, maka ke depan KPK memiliki kewenangan menerbitkan SP3.

Pimpinan baru KPK juga sudah menyiratkan persetujuan mereka atas wewenang SP3 saat mengikuti fit and proper test di Senayan. Ketua KPK terpilih periode 2019-2023, Firli Bahuri, mengakui Pasal 40 UU KPK tak memungkinkan ada SP3. Namun, Pasal 38 ayat (1) UU KPK menyebutkan, ‘Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi’.

“Makanya timbul persoalan. Kenapa? Karena sesungguhnya tujuan penegakan hukum itu adanya kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan dan social engineering. Jadi jangan sampai menegakan hukum tapi tidak adil,” ujar Kapolda Sumatera Selatan itu

Firli menjelaskan KUHAP sudah mengatur syarat dan ketentuan SP3. Ia tidak memberikan pendapat tegas mengenai ide SP3. Secara diplomatis, ia mengatakan KPK hanya pelaksana Undang-Undang. Jika pembentuk Undang-Undang menghendaki dan memuatnya dalam peraturan perundang-undangan, KPK tinggal menjalankan.

Gagasan SP3 dimuat dalam Pasal 40 ayat (1) RUU Perubahan UU KPK. Pasal 40 ayat (1) menyebutkan, “Komisi Pemberantasan Korupsi  berwenang menghentikan penyidikan  dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya ttidak selesai dalam jangkan waktu  paling lama 1 (satu) tahun”. Presiden Joko Widodo mengusulkan jangka waktu dua tahun.

(Baca juga: Nasib Pemberantasan Korupsi Dinilai Makin Terancam).

Wakil Ketua terpilih, Nawawi Pamolongo, secara tegas mengaku setuju kewenangan SP3 bagi KPK. Nawawi ingat betul pernah menemukan seorang sekretaris pada institusi pemerintahan dengan status tersangka selama tiga tahun. Baginya, ketiadaan kepastian hukum bagi seseorang boleh menjadi bentuk pelanggaran hak asasi seseorang.

Pasal 40 UU KPK tidak memberikan kewenangan SP3 terhadap KPK.  Namun dilihat dari Pasal 109 ayat (2) KUHAP, ada filosofi penghentian penyidikan yakni asas kepastian hukum, keadilan dan kepatutan. “Kalau Anda cari salah-salah tidak ketemu, maka SP3. Jangan gantung status orang,” ujarnya.

Nawawi berpendapat seyogianya penyidik dapat membuka dan melanjutkan penyidikan dengan tersangka yang sama. Sebab, KPK menjalankan tugas dan wewenangnya berlandaskan pada asas kepastian hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 huruf a UU KPK. “Jadi saya mengatakan, Pasal 40 UU KPK dibuat tanpa pertimbangan dan filosofi yang ada. Saya setuju (UU KPK, red) setuju direvisi,” katanya.

Lili Pantauli Siregar, mantan komisoner Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), berpendapat perlu kewenangan SP3 bagi KPK. Lagipula dalam KUHAP sepanjang adanya bukti baru, terbuka lebar penyidikan dilanjutkan. “Ini menjawab semua tersangka yang selama ini tidak bisa dijawab,” katanya.

Baginya, pemberantasan korupsi mestinya tidak menghambat sektor lain. Sebab ketika ketiadaan kepastian hukum bagi nasib seseorang yang berstatus tersangka, sementara aset yang tidak bukan hasil korupsi turut disita. Seperti perusahaan yang akhirnya  mangkrak. Nah dengan adanya SP3 justru memberikan kepastian hukum. Hanya saja, pemberian SP3 mesti dilakukan ketat prosedurnya di KPK.

Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK terpilih berlatar dosen, berpandangan bahwa mekanisme penghentian  penyidikan dalam penanganan perkara merupakan peristiwa alami. Apalagi tak semua penyidikan menghasilkan berkas perkara berupa requisitor yang berujung di meja hijau.

Ia tegas-tegas menyatakan setuju KPK diberi kewenangan SP3 dengan syarat tertentu. Dia menyebutkan ketika menetapkan tersangka, tanpa alat bukti yang cukup dalam membuktikannya di depan mejelis hakim, maka bukan tidak mungkin status tersangka bakal disandang seseorang dalam kurun waktu yang tak jelas. SP3  menjadi bagian sistem peradilan pidana Indonesia yang berbasis ideologi Pancasila dengan mengedepankan hak asasi manusia. Setiap tindakan manusia tak lepas dari kesalahan. Oleh karena itu perlunya mekanisme check and balance dalam penyidikan agar menghasilkan kebenaran. “Di hadapan kami SP3 adalah keniscayaan,” ujarnya.

Petahanan, Alexander Marwata,  enggan mengomentari gagasan kewenangan SP3 dalam draf revisi UU KPK. Ia berdalih apakah SP3 dimuat dalam perubahan atau tidak, merupakan ranah pembentuk Undang-Undang, bukan KPK.

Tags:

Berita Terkait