Pembatasan Lokasi Unjuk Rasa, Ini Kritik Aktivis
Berita

Pembatasan Lokasi Unjuk Rasa, Ini Kritik Aktivis

Gubernur DKI Jakarta membatasi lokasi demonstrasi. Hanya di tiga tempat.

ADY
Bacaan 2 Menit
Pembatasan Lokasi Unjuk Rasa, Ini Kritik Aktivis
Hukumonline
Jangan berdemo di sembarang tempat di Jakarta kalau tidak ingin kesandung perkara hukum. Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, sudah membatasi lokasi unjuk rasa atau demo. Hanya dibenarkan di tiga tempat: Parkir Timur Senayan, Alun-Alun Demokrasi DPR/MPR, dan Silang Selatan Monumen Nasional (Monas). Pembatasan itu tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 288 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum Pada Ruangan Terbuka.

Kebijakan pembatasan ini dikritik sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat. Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, menilai Pergub itu mengancam demokrasi dan HAM serta bertentangan dengan sejumlah peraturan seperti UU No. 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Pria yang disapa Alghif itu menyebut Pasal 9 UU No. 9 Tahun 1998 menjelaskan bentuk penyampaian pendapat di muka umum yaitu unjuk rasa atau demonstrasi; pawai; rapat umum; dan atau mimbar bebas. Tapi Pasal 6 Pergub No. 228 Tahun 2015 melarang penyampaian pendapat di muka umum dalam bentuk pawai/konvoi.

Begitu pula pasal 4 Pergub 228 Tahun 2015 yang membatasi penyampaian pendapat di muka umum hanya boleh di tiga lokasi. Padahal Pasal 9 ayat (2) UU No. 9 Tahun 1998 membolehkan penyampaian pendapat di tempat umum kecuali di sembilan lokasi antara lain lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah dan instalasi militer.

Kebijakan itu juga dinilai bertentangan dengan Pasal 7 UU TNI yang mengamanatkan tugas pokok TNI yakni menegakan keaulatan negara dan mempertahankan keutuhan NKRI. Artinya, dikatakan Alghif, tugas TNI itu di sektor pertahanan. Pasal 13 Pergub No. 228 Tahun 2015 memberi ruang bagi TNI untuk membubarkan penyampaian pendapat di muka umum. Mengacu Pergub itu, TNI diposisikan bukan sebagai aktor pertahanan tapi juga keamanan dan ketertiban umum.

“Watak Ahok (Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama,-red) militeristik, TNI berulang kali dilibatkan untuk melakukan penggusuran di Jakarta. Sekarang lewat Pergub itu TNI dilibatkan juga untuk membubarkan demonstrasi,” kata Alghif dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Jumat (06/11).

Alghif juga menampik tudingan yang meyebut demonstrasi menyebabkan lalu lintas macet. Menurutnya itu cacat akademik karena berbagai penelitian menunjukan macetnya lalu lintas di Jakarta penyebab utamanya jumlah kendaraan pribadi yang lebih banyak ketimbang transportasi publik.

Wakil Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), Tubagus Haryo Karbiyanto, menilai Pergub No. 228 terbit setelah Ahok berkunjung ke Singapura. Singapura memang membatasi kegiatan demonstrasi dengan cara membolehkan demonstrasi hanya di tempat tertentu dan membayar sejumlah nominal.

Menurut Tubagus demonstrasi bisa dieliminasi jika ruang komunikasi dan dialog masyarakat dengan pemerintah terbuka luas. Jika wadah itu tidak ada, potensi demonstrasi akan besar. Ketika komunikasi dan dialog itu ditutup maka akan terjadi kebuntuan yang bisa memicu kerusuhan. “Kami secara tegas menolak pergub No. 228 karena ini berarti menutup ruang dialog antara pemerintah dan warganya,” ujarnya.

Wakil Koordinator KontraS, Chrisbiantoro, menilai Pergub No. 228 menunjukkan ketidakpahaman pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap substansi demokrasi dan bentuk kepanikan pemerintah. Sebab adanya Pergub No. 228 diyakini tidak berdiri sendiri tapi terpengaruh oleh pemerintah pusat.

Chrisbiantoro mengingatkan kepada Polda Metro Jaya untuk tidak tunduk pada Pergub itu. Mereka harus mengacu pada UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri. Untuk itu Kapolda Metro Jaya dirasa perlu melakukan konsultasi dengan Kapolri dan Presiden RI. Jika polisi mengikuti Pergub itu maka menyalahi tugas Polri yang posisinya berada di bawah Presiden, bukan Gubernur. “Kalau Polri melaksanakan Pergub itu berarti mengindikasikan Polri mau di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri,” urainya.

Chrisbiantoro mengingatkan Indonesia telah meratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005. Regulasi itu memang  mengatur pembatasan hak-hak asasi manusia seperti kebebasan berpendapat di ruang publik. Namun, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum pembatasan itu dilakukan. Misalnya ketika unjuk rasa menjadi ancaman serius dan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara serta negara dalam keadaan darurat. Ia menilai syarat-syaratnya belum terpenuhi. Karena itu, ia mengkritik Pergub. “Pergub itu cacat hukum maka harus dibatalkan kalau tidak kami akan melakukan Judicial Review atas Pergub itu ke Mahkamah Agung,” tukasnya.

Ketua Umum KASBI, Nining Elitos, mengatakan masyarakat berhak menyuarakan berbagai hal yang dianggap tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sayangnya, ruang demokrasi itu semakin dibatasi Pemerintah. “Kami sebagai buruh secara tegas menolak Pergub itu,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait