Pemerintah Menduga Ada Agenda Terselubung dalam Kampanye Anti Sawit
Berita

Pemerintah Menduga Ada Agenda Terselubung dalam Kampanye Anti Sawit

Sawit merupakan penyumbang devisa terbesar dari sektor perkebunan.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Kebun sawit. Foto: MYS
Kebun sawit. Foto: MYS
Pengusahaan perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia telah berlangsung sejak lama. Tidak bisa dipungkiri tantangan yang berkaitan dengan lingkungan terus bergulir terhadap setiap upaya pengembangan kelapa sawit. Beberapa waktu lalu, Parlemen Uni Eropa telah mengadopsi resolusi soal kelapa sawit. Resolusi berjudul Palm Oil of The Rainforest (Kelapa Sawit dan Deforestasi Hutan Hujan) tersebut diajukan berdasarkan tudingan bahwa pengembangan industri kelapa sawit telah menjadi penyebab utama deforestasi dan perubahan cuaca.

“Kampanye anti sawit diduga keras mempunyai tujuan terselubung untuk mengkerdilkan peran sawit di dunia Internasional dan domestic terutama oleh negara penghasil minyak nabati non sawit disaat Indonesia memimpin pasokan minyak di dunia Ineternasional,” ujar ketua Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO) Direktur Jenderal Perebunan Kementerian Pertanian, Bambang, dalam Laporan Hasil Kajian “Praktik Baik dan Komitmen Pengelolaan Lingkungan Hidup Berkelanjutan Sektor Perkebunan Sawit Indonesia”.

Oleh karena itu, menurut Bambang, industri dan perkebunan kelapa sawit sudah sepantasnya mendapatkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan di dunia karena menghasilkan pangan dan energi yang efisien sekaligus melindungi permukaan tanah secara baik. (Baca Juga: Akan Ada Ketentuan Redefinisi Hutan dalam RUU Perkelapasawitan)

“Kelapa sawit menjadi kebanggaan bangsa, menyumbang kemajuan ekonomi bagi wilayah-wilayah yang terisolir. Namun banyak tuduhan yang menerpa perkebunan kelapa sawit adalah deforestasi melalui pembakaran lahan. Pernah terjadi bencana kebakaran lahan perkebunan yang merusak citra dan menjadi amunisi pihak-pihak yang selama ini tidak menyukai prestasi perkembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia,” terang Bambang.

Oleh karena itu UU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan mengamanatkan bahwa setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka lahan dengan cara dibakar. Aturan ini harus menjadi pedoman dan dipatuhi oleh seluruh pelaku usaha perkebunan, baik perusahan korporasi maupun petani dan sanksi tegas bagi korprasi yang berani melanggar aturan tersebut.

Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai pemberi izin wajib melakukan evaluasi terhadap ketentuan ini. Untuk itu, Direktorat Jenderal Perkebunan telah membentuk Brigade Pengendali Kebakaran dan juga telah dibentuk Kelompok Tani Peduli Api. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan, dan Masyarakat harus bersinergi untuk mengantisipasi kebakaran di lahan perkebunan.

Berdasarkan kajian, kebakaran hutan atau kebun pada tahun 2015 cukup besar merugikan negara. Selain itu, berdampak pada turunnya derajat kesehatan masyarakat, terganggunya transportasi darat maupun udara, serta di mata Internasional mencoreng citra Indonesia karena dianggap sebagai negara pengekspor asap kepada negara-negara tetangga. (Baca Juga: Giliran Serikat Pekerja Kelapa Sawit Tolak Pembahasan RUU Perkelapasawitan)

“Hal ini menekankan pentingnya upaya pencegahan dan kesiapsiagaan menghadapi kebakaran lahan dan perkebunan oleh semua pihak,” terang Bambang.

Menjawab perosalan ini, Pemerintah terus melakukan sosialisasi tata kelola pembangunan perkebunan yang baik, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemeliharaan. Bambang mengatakan bahwa Pemerintah akan menertibkan kembali izin-izin yang sudah diberikan oleh GUbernur dan Bupati melalui moratorium dengan melaksanakan evaluasi terhadap konsesi yang telah mendapat ijin untuk memanfaatkan lahan seoptimal mungkin dan lahan perkebunan yang benar-benar sudah clean and clear. (Baca Juga: 7 Catatan Kritis Aktivis Lingkungan Terhadap RUU Perkelapasawitan)

Penyumbang Devisa Terbesar
Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Danang Girindrawardana, dalam pengantar Laporan Hasil Kajian “Praktik Baik dan Komitmen Pengelolaan Lingkungan Hidup Berkelanjutan Sektor Perkebunan Sawit Indonesia” mengatakan, sawit merupakan penyumbang devisa terbesar dari sector perkebunan. Oleh karena itu Pemerintah perlu tata kelola sawit sehingga mampu melindungi kepentingan strategis nasional.

“Berbagai kebijakan sinergi yang pada intinya adalah upaya anti deforestasi, ramah ketenagakerjaan, dan zero burning dilahirkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Ketenagakerjaan, serta oleh Komisi ISPO. Memastikan lahan-lahan yang sudah diizinkan untuk kawasan APL adalah salah satu afirmasi penting untuk memberikan kepastian hukum pada industri sawit sehingga tidak ada istilah deforestasi di situ,” ujar Danang.

Menurut Danang, kebijkan zero burning harus diintegrasikan dalam manajemen perusahaan sawit dan ditegakkan oleh semua pemangku kepentingan sawit. Kebijakan Kementerian Pertanian melalui Dirjen Perkebunan dan Komisi ISPO juga perlu menjadi pijakan inheren dalam mendukung target-target strategis nasional.

Dia menambahkan, yang menjadi penting saat ini adalah peningkatan kredibilitas, kualitas, dan kapasitas produksi sawit nasional. Dengan mengejar urgensi ini, sekaligus menciptakan multiplier effect pengembangan perekonomian daerah penghasil sawit. “Masyarakat daerah penghasil sawit akan tumbuh semakin sejahtera,” tukasnya.

Salah satu dari ketentuan yang diatur oleh resolusi Palm Oil of the Rainforest adalah mewajibkannya sertifikasi tunggal untuk minyak sawit yang akan diekspor ke Uni Eropa. Selain itu, resolusi tersebut juga mendesak agar minyak sawit tidak dimasukkan sebagai bahan baku untuk program biodiesel Uni Eropa pada 2020.

Tags:

Berita Terkait