Pendekatan Co-Regulation Layak Diterapkan untuk Tata Kelola Internet
Berita

Pendekatan Co-Regulation Layak Diterapkan untuk Tata Kelola Internet

Perlu dibentuk badan yang mengatur kebijakan, mengawasi, dan mengendalikan konten internet.

Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Pendekatan <i>Co-Regulation</i> Layak Diterapkan untuk Tata Kelola Internet
Hukumonline

Masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan internet. Saat ini masyarakat sangat mudah mengakses internet, hal ini tercermin dari banyaknya fasilitas seperti Wi-Fi di area publik. Namun, banyaknya masyarakat yang mengakses internet ternyata belum diimbangi dengan peraturan yang memadai untuk mengatur tata kelola internet.

 

Deputi Direktur Elsam, Wahyudi Djafar, mengatakan selama ini pemerintah menggunakan pendekatan direct regulation dalam mengatur sektor telekomunikasi, teknologi informasi, dan komunikasi. Pemerintah dominan dan memegang kuasa penuh dalam membentuk regulasi, pengawasan, dan pengendalian.

 

Tapi di beberapa sektor seperti pers, penyiaran, informasi publik, film dan telekomunikasi, Wahyudi melihat ada pendekatan lain yang digunakan yakni co-regulation. Suatu pendekatan yang melibatkan banyak aktor dalam membentuk regulasi dan pengawasan. Pada berbagai sektor itu dibentuk lembaga yang anggotanya terdiri dari banyak pemangku kepentingan antara lain unsur pemerintah, industri, dan masyarakat sipil. Misalnya, Dewan Pers, Komisi Informasi, dan Lembaga Sensor Film.

 

Untuk mengatur tata kelola konten internet, Wahyudi mengusulkan kepada pemerintah untuk menggunakan pendekatan co-regulation. Pengelolaan itu bisa dilakukan melalui sebuah badan independen yang bisa dibentuk melalui Peraturan Pemerintah (PP) dan teknisnya diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres). Dengan begitu pemerintah tidak secara langsung campur tangan dalam tata kelola internet seperti pemblokiran konten atau pembatasan akses.

 

Bagi Wahyudi pengaturan tata kelola internet yang melibatkan banyak pemangku kepentingan itu selaras dengan amanat kovenan Sipol (ICCPR). Misalnya, Pasal 19 ayat (3) Kovenan memandatkan pembatasan dilakukan melalui UU atau peraturan yang secara formal diakui, dan dibentuk oleh pembentuk peraturan perundang-undangan yang sah.

 

Kemudian, memiliki tujuan yang sah, seperti keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan/moral publik, menjaga hak dan reputasi orang lain. Pembatasan itu harus dilakukan jika sangat diperlukan. Terakhir, prosedur pembatasan harus jelas, transparan dan akuntabel serta bisa diuji di pengadilan.

 

Oleh karenanya Wahyudi menekankan pentingnya pemerintah membentuk badan independen untuk mengatur tata kelola internet. Badan itu punya wewenang yang kuat sehingga keputusannya bisa digugat ke pengadilan (PTUN). Walau pembentukan badan itu bisa melalui PP dan Perpres, tapi idealnya diatur dalam UU, dimasukkan dalam revisi UU No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

 

“Adanya badan independen itu akan memperjelas pengaturan konten internet karena prosedurnya jelas. Pihak yang keberatan kontennya dibatasi juga bisa punya hak menggugat ke pengadilan,” kata Wahyudi dalam diskusi di Jakarta, Selasa (28/11).

 

Wahyudi berpendapat pembatasan konten internet selama ini berpotensi merugikan pengguna karena menimbulkan diskriminasi. Misalnya, pemerintah menerapkan perlakuan yang berbeda dalam memblokir aplikasi Telegram, dan Vimeo. Tidak ada prosedur tunggal yang jelas, transparan, dan akuntabel dalam melakukan pembatasan itu. Bahkan badan usaha juga bisa melakukan pembatasan seperti pemblokiran Netflix oleh perusahaan penyedia layanan yang berstatus BUMN.

 

Baca Juga:

 

Sekjen AJI Indonesia periode 2014-2017, Arfi Bambani Amri, menilai ada masalah hukum yang belum tuntas mengenai pembatasan konten internet yakni tidak ada mekanisme komplain bagi pihak yang dirugikan. Menurutnya, pemerintah tidak boleh sepihak dalam mengatur internet. Dia mengusulkan agar dibentuk komisi independen yang sifatnya co-regulatory untuk mengelola konten internet.

 

“Selama ini pihak yang kontennya diblokir pemerintah kan tidak bisa mengajukan komplain, sehingga mereka langsung melobi pemerintah. Ini tidak transparan,” ujar anggota ID-IGF dari unsur masyarakat sipil itu.

 

Tugas dan fungsi komisi itu, menurut Arfi, bukan hanya mengurusi konten internet tapi juga perkembangan lain seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan pengawasan (surveillance). Komisi ini juga berwenang melakukan pemblokiran.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Agus Raharjo, menilai pengaturan terhadap internet itu menyalahi kodrat karena internet dibuat untuk mewujudkan kebebasan. Konten internet berkaitan dengan kebebasan berekspresi baik individu dan kolektif. Dia yakin pemerintah akan kesulitan dalam membatasi atau melakukan sensor terhadap konten internet.

 

Agus lebih sepakat jika tata kelola diatur melalui pendekatan self regulation. Komunitas yang berkepentingan terhadap internet harus mengatur dirinya dalam berkegiatan di internet. Jika dikelola penuh oleh pemerintah, Agus tidak yakin penanganannya bisa efektif dan cepat karena dia yakin pasti mengandalkan birokrasi. Dia mengusulkan agar dibentuk lembaga baru yang bisa melakukan eksekusi dengan cepat terhadap konten yang melanggar aturan hukum atau etika.

Tags:

Berita Terkait