Pengangkatan Guntur Hamzah Sebagai Hakim Konstitusi Dinilai Inkonstitusional
Utama

Pengangkatan Guntur Hamzah Sebagai Hakim Konstitusi Dinilai Inkonstitusional

Presiden dinilai membenarkan cara serampangan DPR memberhentikan Aswanto dan menetapkan Guntur sebagai hakim konstitusi melalui mekanisme yang tidak lazim dan jauh dari nilai-nilai kontitusi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Narasumber dalam konferensi pers secara virtual menyikapi terbitnya Keppres No.114/P/Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi, Selasa (22/11/2022) malam. Foto: RFQ
Narasumber dalam konferensi pers secara virtual menyikapi terbitnya Keppres No.114/P/Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi, Selasa (22/11/2022) malam. Foto: RFQ

Akhirnya Profesor M. Guntur Hamzah resmi menjabat hakim konstitusi menggantikan Aswanto setelah mengucapkan sumpah dan janji di hadapan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Rabu (23/11/2022). Pengangkatan tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) No.114/P/Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Hakim Konstitusi. Seperti diketahui, proses pergantian Hakim Konstitusi Aswanto kepada Prof Guntur menuai kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat karena dinilai melanggar UU MK dan konstitusi.

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menilai pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto dan mengangkat Guntur Hamzah sebagai bentuk upaya mengevaluasi hakim konstitusi di tengah jalan. Alasan DPR lantaran Aswanto bertentangan dengan kepentingan DPR dalam produk legislasi yang dibuatnya melalui putusannya tidaklah dapat dibenarkan.

Sebab, mahkota seorang hakim terletak pada putusannya. Dalam Pasal 24 UUD 1945 secara tegas menyebutkan kata “merdeka”. Karenanya, hakim dalam membuat putusan atas perkara yang ditangani dilakukan secara bebas tanpa adanya tekanan dan intervensi dari pihak manapun. Termasuk cabang kekuasaan lainnya, seperti legislatif maupun eksekutif.

“(Ibaratnya, red) MK oleh DPR dianggap sebagai perusahaan, hakim-hakimnya sebagai direksi, dan DPR sebagai pemegang saham. Ini sesat menyesatkan cara berpikirnya,” ujar Feri Amsari dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (22/11/2022) malam.

Baca Juga:

Menurutnya, pendekatan yang digunakan DPR melalui evaluasi hakim konstitusi menggunakan mekanisme patuh atau tidak patuh, suka tidak suka, atau politik DPR. Apalagi, peran Aswanto dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cukup dominan. Terlepas dari itu, proses pemberhentian dan pergantian Aswanto kepada Guntur jauh dari prosedur yang berlaku.

Sebab, proses seleksi tersebut di luar kelaziman yang biasa dilakukan DPR. Seperti adanya surat yang menyatakan habisnya masa jabatan hakim MK kepada presiden. Presiden pun mengirimkan surat ke DPR. Sementara DPR menindaklanjuti dengan membuka pengumuman pendaftaran secara terbuka untuk dilakukan seleksi secara terbuka. Setelah itu, adanya calon-calon yang mendaftar, fit and proper test, dan sebagainya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait