Penghapusan Pasal 20 UU Paten dalam RUU Cipta Kerja
Kolom

Penghapusan Pasal 20 UU Paten dalam RUU Cipta Kerja

Penghapusan tersebut sebuah pertanda kemenangan kaum kapitalis di bumi Indonesia.

Paten Sebagai Instrumen Penjajahan Baru

Dalam RUU Cipta Kerja, Pasal 110 menegaskan bahwa, ketentuan dalam Pasal 20 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang paten (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922) dihapuskan. Gagasan pemerintah untuk menyusun UU Cipta Kerja melalui metode Omnibus Law sebenarnya sudah jauh hari diperdengarkan oleh Presiden dalam berbagai kesempatan sebelum ia dilantik untuk jabatan yang sama pada periode kedua. Pengalamannya sebagai Presiden pada Periode pertama menunjukkan bahwa hambatan dalam pencapaian laju pertumbuhan ekonomi terutama dalam bidang investasi, cipta lapangan kerja, ketenagakerjaan dan lain-lain lebih dikarenakan oleh hambatan pada sektor  regulasi dan birokrasi.

Oleh karena itu Presiden berkeinginan untuk “memangkas” semua hambatan regulasi dan birokrasi yang dipandang menghambat proses pergerakan pertumbuhan ekonomi negara.
Ini memberi signal secara eksplisit bahwa Presiden akan melakukan perubahan besar-besaran pada regulasi. Presiden mulai menggagas penyusunan undang-undang dengan menggunakan metode Omnibus Law atau Omnibus Bill. Sebuah metode yang antara lain dengan melakukan kompilasi semua undang-undang terkait dalam satu undang-undang dengan tema tertentu yang isinya memuat pengecualian, penyempurnaan atau menghapuskan pemberlakuan pasal-pasal yang berasal dari berbagai undang-undanag terkait.

Sayangnya, ketika menyusun RUU tentang Cipta Kerja, regulasi sampai pada Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten. Tanpa kajian yang mendalam, Pemerintah selaku pengusul RUU Cipta Kerja tak memahami tentang urgensi pasal tersebut, yang sejak awal dalam perjalanan pemberlakukan UU Paten di Indonesia ketentuan semacam itu tetap ada diatur dalam undang-undang sebelumnya. Pelaksanaan Paten di Indonesia dan Alih Teknologi serta serapan tenaga kerja dalam negeri (local working requirement) –sekalipun memiliki keterbatasan- adalah roh yang tak boleh dihilangkan dalam setiap pemberian Paten oleh negara. Sebab, itulah tujuan negara memberikan paten yang dituangkan dalam undang-undang yang normanya diturunkan dari Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang memuat tentang tujuan negara dan landasan falsafah negara (Filosofische Grondslag).

Ada kesan bahwa penghapusan Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016, dilakukan tanpa riset yang mendalam dan tanpa memahami filosofi dan landasan konstitusional dan landasan sosiologis empirik yang melatarbelakanginya. Saat ini yang dijadikan dasar adalah kepentingan dengan pertimbangan-pertimbangan pragmatis, yakni bagaimana investasi asing harus masuk, walau dengan cara-cara yang mengorbankan aspek-aspek krusial yang telah dirumuskan dalam tujuan negara dengan aspek ideologis-nya.

Tugas Balegnas

Ketentuan Pasal 20 UU No 13/2016 itu bukan bertentangan dengan TRIPs Agreement, bahkan TRIPs Agreement itu dimungkinkan untuk dimanfaatkan Indonesia melalui peluang yang ditawarkan oleh TRIPs Agreement. TRIPs Agreement memuat ketentuan-ketentuan yang sangat fleksibel, tergantung bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan peluang itu.

Pasal 73 TRIPs Agreement misalnya, berisikan klausul fleksibilitas yang membuka peluang bagi Indonesia untuk mengatur dalam undang-undang nasionalnya mengenai pengecualian pemberlakuan ketentuan TRIPs Agreement.

Dalam bidang farmasi misalnya, Pasal 27 ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 ayat (1) juga membuka peluang agar Indonesia dapat memanfaatkan paten obat-obatan atau farmasi melalui skenario Paten Exclusion, Compulsory Licences, Security Exeption dan Waiver of Obligation. Sayangnya hal demikian tidak ditemukan dalam UU Paten Indonesia (Undang-undang No.13 Tahun 2016) yang berlaku saat ini. Oleh karena itu, Undang-undang No.13 Tahun 2016 tentang Paten, memanglah perlu diamendemen, tapi bukan dengan cara menghapuskan bahagian pasalnya.  

Tags:

Berita Terkait