Pengujian UU Pengesahan Perppu Cipta Kerja Jadi Tantangan bagi MK
Utama

Pengujian UU Pengesahan Perppu Cipta Kerja Jadi Tantangan bagi MK

MK harus mampu memainkan peran sebagai the guardians of constitution di tengah Pemerintah dan DPR yang sama sekali tidak peka dan ugal-ugalan dalam proses penerbitan sampai pengesahan Perppu Cipta Kerja ini.

MR 41
Bacaan 4 Menit
Akademisi Hukum Tata Negara FH UII Allan Fatchan Gani Wardhana. Foto: Istimewa
Akademisi Hukum Tata Negara FH UII Allan Fatchan Gani Wardhana. Foto: Istimewa

Belum lama ini, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) disetujui menjadi undang-undang (UU) oleh DPR dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani, Selasa (21/3/2023) kemarin. Selain menuai penolakan dari Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, persetujuan Perppu Cipta ini terus mendapat penolakan publik di tengah Perppunya sendiri sedang diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).  

Akademisi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Allan Fatchan Gani Wardhana mengatakan sejak awal ia menyampaikan bahwa terbitnya Perppu Cipta Kerja membuktikan pemerintah, terutama Presiden tidak memiliki iktikad baik untuk mematuhi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan MK No.91/PUU-XVII/2020 yang dibacakan pada 25 November 2021 ini menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat dengan syarat melakukan perbaikan dalam waktu dua tahun.

Baca Juga:

Dalam putusan MK tersebut, salah satu amarnya menyebutkan “Memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.”

“Artinya, yang lebih diutamakan memperbaiki UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (bukan menerbitkan Perppu, red). Apalagi MK telah memberikan jangka waktu selama 2 tahun sejak putusan diucapkan. Padahal, waktu sangat cukup apabila pemerintah mau memperbaiki,” ujar Allan Fatchan Gani kepada reporter magang Hukumonline, Senin (27/3/2023).

Meski begitu, Dewan Pakar Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII ini menilai kesempatan untuk menguji UU Cipta Kerja (hasil pengesahan Perppu) ke MK sangat terbuka. Kalaupun nanti akan diuji, MK harus lebih berhati-hati. Terlebih kritik publik terhadap pengesahaan Perppu Cipta Kerja harus didengarkan dan dipertimbangkan.

“MK harus mampu memainkan peran sebagai the guardians of constitution di tengah Pemerintah dan DPR yang sama sekali tidak peka dan ugal-ugalan dalam proses penerbitan sampai pengesahan Perppu Cipta Kerja ini. Tindakan yang ugal-ugalan tersebut harus dilihat sebagai suatu rangkaian peristiwa yang secara nyata sebagai sikap yang tidak menjunjung tinggi konstitusi sebagai hukum tertinggi,” ujar pria yang pernah menjabat Direktur PSHK FH UII Periode 2018-2022 ini.

Dia menilai pengujian pengesahan Perppu Cipta Kerja jadi UU di MK ini akan menjadi tantangan bagi MK di tengah kritik dan semakin menurunnya kepercayaan publik terhadap MK pasca berbagai kasus yang akhir-akhir ini terjadi. Kalaupun ada cara lain, yang digaungkan Serikat Pekerja dengan meminta DPR untuk meninjau ulang (legislative review), menurutnya hal tersebut nampaknya hanya buang-buang energi saja. Sebab, DPR sudah mengambil sikap dalam paripurna untuk setuju Perppu Cipta Kerja disahkan menjadi UU.

“Bukankah DPR dan Pemerintah sengaja berkolaborasi untuk melahirkan ‘maha karya Perppu Cipta Kerja’ demi kepentingan investasi meski mendapatkan pertentangan dari publik? Ini akan dicatat dalam sejarah,” katanya.

Terpisah, organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Pembela Hak Konstitusional (Kepal) mengecam persetujuan DPR terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Koalisi yang terdiri dari 18 organisasi ini mencatat persetujuan itu diberikan DPR dalam rapat paripurna ke-19 masa sidang IV periode 2022-2023.

Penasihat Senior Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Gunawan mengatakan persetujuan DPR terhadap Perppu 2/2022 merupakan pelanggaran konstitusional secara sistematis dilakukan oleh pemerintah dan parlemen. Padahal DPR sebagai lembaga negara yang diamanahkan rakyat agar mengawasi jalannya roda pemerintahan. Termasuk melakukan perbaikan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat agar tidak menjadi inkonstitusional secara permanen.

“Tapi justru melegalkan tindakan sepihak pemerintah melalui Perppu Cipta Kerja sebagai jalan pintas perbaikan UU Cipta Kerja yang tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020,” ujar Gunawan ketika dikonfirmasi, Senin (27/3/2023).

Menurut Gunawan, terlihat jelas pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang mengamanatkan perbaikan UU 11/2020 melalui naskah akademik dan RUU. Kemudian, perlu perubahan substansi UU 11/2020 yang dikeluhkan masyarakat dan pelibatan publik secara lebih bermakna. Baginya, Perppu 2/2022 yang disetujui DPR menjadi UU menunjukkan pemerintah melakukan diskriminasi terhadap rakyat dan tindakan inkonstitusional terus dilakukan dengan dalih investasi.

“Kami Kepal yang beranggotakan gerakan rakyat dari organisasi petani, nelayan, buruh, pegiat desa, pembela HAM, dan pelestari lingkungan hidup, serta akademisi mendesak MK untuk menindak ketidakpatuhan pemerintah dan DPR terhadap putusan MK,” tegasnya.

Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mencatat serikat buruh, partai buruh, dan berbagai organisasi masyarakat sipil lainnya akan melakukan 4 hal terhadap Perppu Cipta Kerja yang telah disetujui DPR menjadi UU. Pertama, dalam waktu dekat akan mengajukan permohonan uji formil dan materil terhadap UU tentang Pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi UU.

Kedua, serikat buruh akan mendesak DPR untuk melakukan parlemen review (legislative review). Ketiga, menyiapkan mogok nasional yang rencananya akan berlangsung selama 5 hari. Keempat, melakukan kampanye menolak UU dan Perppu Cipta Kerja secara nasional dan internasional.

Iqbal mengklaim telah melaporkan penolakan ini kepada Direktur Jenderal (Dirjen) International Labor Organization (ILO) pusat dan Dirjen ILO Asia Pasifik. Koordinasi juga dilakukan terhadap konfederasi serikat buruh internasional (ITUC). Persoalan ini menjadi salah satu isu yang disorot ITUC dan menyiapkan langkah mendukung penolakan UU dan Perppu Cipta Kerja.

“ITUC akan mengkoordinasi baik aksi demonstrasi maupun melayangkan surat protes kepada kedutaan-kedutaan Indonesia di luar negeri,” kata Iqbal, Selasa (21/3/2023) lalu.

Tags:

Berita Terkait