Pentingnya Keterbukaan Akses bagi Publik dalam Proses Legislasi
Berita

Pentingnya Keterbukaan Akses bagi Publik dalam Proses Legislasi

Persetujuan UU Cipta Kerja oleh DPR RI telah menimbulkan dinamika, polemik, bahkan gelombang disinformasi di masyarakat.

M. Agus Yozami
Bacaan 5 Menit
Pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang di sidang paripurna DPR, Senin (5/10). Foto: RES
Pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang di sidang paripurna DPR, Senin (5/10). Foto: RES

Persetujuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi undang-undang terus mendapat sorotan publik. Komisi Informasi (KI) Pusat mendorong DPR dan pemerintah membuka akses informasi publik dalam setiap proses legislasi dan kebijakan publik untuk menjamin transparansi, partisipasi, dan peran aktif masyarakat.

"Pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR RI telah menimbulkan dinamika, polemik, bahkan gelombang disinformasi di masyarakat," kata Ketua KI Pusat Gede Narayana, dalam pernyataan tertulis, seperti dikutip dari Antara, Rabu (14/10).

Menurut Gede, kondisi tersebut sangat kontraproduktif terhadap penuntasan berbagai masalah mendesak bangsa, seperti pengendalian Covid-19, penanganan masalah sosial ikutan, dan pemulihan ekonomi yang melambat akibat pandemi Covid-19. Oleh karena itu, kata dia, KIP memandang perlu menyampaikan tanggapan dan pandangan terkait UU Cipta Kerja untuk memberikan kepastian transparansi dan pemenuhan hak publik atas informasi. (Baca juga: Ramai-ramai Menuntut Transparansi Naskah UU Cipta Kerja)

Tanggapan KIP tersebut tertuang dalam tujuh poin. Pertama, meminta DPR RI dan pemerintah dalam setiap pembuatan legislasi dan kebijakan publik wajib membuka akses informasi publik untuk menjamin transparansi, partisipasi, dan peran aktif masyarakat agar terwujud akuntabilitas proses dan produk legislasi serta kebijakan. Kedua, mendorong DPR agar membuka dan mempermudah akses informasi publik dengan menambah akses di luar yang sudah tersedia untuk mengoptimalkan hak publik atas informasi terhadap proses penyusunan, pembahasan, dan pengesahan draft UU Cipta Kerja.

Ketiga, mendorong Presiden atau pemerintah membuka ruang partisipasi masyarakat setelah pengesahan UU Cipta Kerja di DPR dengan membuka dan mempermudah akses masukan dari masyarakat pada kanal-kanal layanan informasi publik yang tersedia. Keempat, pemerintah wajib menyosialisasikan draf final UU Cipta Kerja secara benar, tepat, dan tidak menyesatkan melalui kanal layanan maupun saluran informasi yang tersedia.

Kelima, mengimbau masyarakat untuk mengakses informasi dari sumber-sumber resmi yang kredibel dan akurat dalam mendapatkan informasi terkait UU Cipta Kerja. Keenam, bagi masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi dan kritik terhadap isi UU Cipta Kerja agar menyampaikannya secara bertanggung jawab melalui akses publik yang tersedia. Ketujuh, ruang partisipasi publik masih tetap terbuka dan tidak tertutup setelah disahkannya UU Cipta Kerja baik melalui proses legal konstitusi maupun perbaikan kebijakan publik.

Ugal-ugalan

Sementara, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSTN FHUI) mengingatkan berdasarkan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), terdapat 5 tahapan proses legislasi yakni tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. PSTN FHUI melihat dalam proses tersebut, pemerintah dan DPR seperti ‘ugal-ugalan’ dalam membuat UU Cipta Kerja.

Ada 6 catatan yang diberikan PSTN FHUI terkait proses pembentukan UU Cipta Kerja. Pertama, Perumusan UU dengan metode omnibus, tidak dikenal dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Padahal pada tahun 2019, pembentuk UU sempat melakukan amandemen UU P3 dimaksud. Namun sayangnya momentum tersebut tidak digunakan untuk merancang metode omnibus, agar terbentuk payung hukum bagi metode yang sama sekali baru dalam sejarah perundang-undangan di Indonesia.

Kedua, Adanya Satgas Omnibus Law yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019. Satgas ini bertugas untuk melakukan konsultasi publik Omnibus Law Penciptaan Lapangan Kerja dan Perpajakan serta melakukan inventarisasi masalah dan memberikan masukan dalam rangka penyempurnaan regulasi hasil konsultasi publik.

“Problemnya, satgas ini dipimpin oleh Ketua Umum KADIN (Kamar Dagang dan Industri) dan melibatkan sejumlah pengusaha. Maka tak heran jika kemudian publik mencurigai adanya konflik kepentingan dari para pengusaha tersebut untuk terlibat mempengaruhi substansi dalam materi pengaturan RUU dimaksud,” tulis Ketua PSTN FHUI, Mustafa Fakhri, dalam keterangannya, Kamis (15/10).

Ketiga, dalam proses pembahasan pada pembicaraan Tingkat I, anggota DPR terkesan bermain petak umpet. Rajinnya anggota dewan yang menggelar 64 kali rapat yang dilakukan nonstop Senin-Minggu, pagi hingga malam dan bahkan juga di masa reses, patut dicurigai karena terkesan tidak ingin diketahui publik, sehingga partisipasi masyarakat yang dikehendaki oleh UU P3 pun tercederai.

“Padahal, resesnya anggota Dewan adalah masa yang seharusnya digunakan untuk melaksanakan fungsi representasi dengan mengadakan pertemuan dengan konstituen masing-masing. Dan lagi-lagi akibatnya, aspirasi masyarakat yang seharusnya bisa terakomodasi dengan baik melalui kegiatan anggota Dewan di masa reses ini pun kembali menjadi korbannya,” tulis Mustafa. 

Keempat, rapat paripurna untuk mengesahkan RUU yang sangat kontroversial ini, juga terkesan terburu-buru. Karena awalnya rapat paripurna terjadwal pada tanggal 8 Oktober 2020. Namun tanpa ada penjelasan, tiba-tiba last minute rapat dimajukan menjadi tanggal 5 Oktober 2020. Yang paling menyedihkan, tak satu pun anggota Dewan yang pegang naskah final RUU Cipta Kerja.

Kelima, Puncak dari segala kontroversi ini adalah adanya beberapa versi naskah yang justru mencuat setelah RUU tersebut katanya dinyatakan telah disahkan dalam rapat paripurna 5 Oktober 2020. Setidaknya ada beberapa versi, yakni 1.028, 905, 1.052, 1.035 dan 812 halaman. Dalam hal ini, maka sangat tidak berdasar manakala Polri menjadikan beberapa aktivis sebagai tersangka penyebaran hoaks.

Keenam, menurut penuturan Aziz Syamsudin (Wakil Ketua DPR RI), draft final yang akan dikirim ke Presiden adalah yang versi 812 halaman, termasuk penjelasan batang tubuhnya.  Berdasarkan hasil penelusuran PSHTN FHUI, jika dibandingkan antara naskah RUU versi 812 halaman (filenya berjudul "ruu-cipta-kerja-12-oktober-2020-final") dengan versi 1035 halaman (filenya berjudul "RUU Cipta Kerja - KIRIM KE PRESIDEN"), terdapat beberapa penambahan substansi baru  yakni  di  antara  Bab VIA,  Bab VI,  dan  Bab VII.  Bab ini mengatur tentang Kebijakan Fiskal Nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi.

“Jika benar ini yang terjadi, maka ini sudah luar biasa pelanggarannya. Bahkan perubahan titik-koma saja sudah bisa merubah makna dari suatu norma pengaturan, apatah lagi penambahan beberapa norma baru setelah sidang paripurna pengesahan,” tulis Mustafa.  

Atas dasar catatan-catatan itu, PSHTN FHUI menyatakan sikap, yakni mendesak Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perppu yang mencabut UU Cipta Kerja segera setelah RUU tersebut resmi menjadi UU. Seraya memastikan agar partai koalisi pendukung pemerintah yang ada di DPR RI untuk tidak lagi melakukan proses legislasi yang ugal-ugalan di masa yang akan datang.

PSHTN FHUI mendukung penuh setiap penyampaian aspirasi dari berbagai elemen masyarakat dalam bentuk apapun sebagai perwujudan dari kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan, dengan tetap memperhatikan koridor hukum.

Manakala Presiden enggan untuk menerbitkan Perppu pencabutan UU Cipta Kerja, maka PSHTN FHUI menyerukan kepada warga masyarakat untuk bersiap-siap menempuh jalur konstitusional dengan menjadi pemohon dalam pengujian formiil maupun materiil terhadap UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi, serta tetap menjaga akal sehat untuk senantiasa bersikap kritis terhadap setiap kejanggalan yang dilakukan oleh pemerintah maupun DPR RI.

Kemudian, PSTHN FHUI mengecam segala bentuk aksi anarkis yang dilakukan oleh oknum anggota masyarakat maupun tindakan represif yang dilakukan oleh oknum anggota Polri dengan menggunakan kekerasan yang di luar kewajaran, baik terhadap para demonstran, maupun terhadap para jurnalis yang sedang menjalankan amanah sesuai profesinya.

“Kepolisian seharusnya bisa memberi keteladanan dan menahan diri untuk tidak bertindak represif dan menghindari jatuhnya korban,” tulis Mustafa. 

Mendesak Kapolri sebagai pimpinan tertinggi di bawah Presiden yang bertanggung jawab pada sektor keamanan negara, untuk melepas semua aktivis yang dituding menyebarkan hoaks karena pikiran tidak bisa dikriminalkan. Apalagi dasar tudingan penyebaran kebohongannya itu pun ada banyak versi.

Terakhir, meminta Kapolri untuk menggunakan golden momentum ini untuk mereformasi institusinya dengan tata kelola yang jauh lebih profesional. Dukungan Anggaran yang meningkat tajam selama satu periode ini, akan memberi kesempatan yang luar biasa kepada Kapolri untuk melakukan banyak hal demi terwujudnya kepolisian yang profesional dan imparsial.

Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa proses pembahasan RUU Cipta Kerja sudah transparan. Hal itu disampaikannya saat RUU tersebut disetujui dalam rapat paripurna DPR, Senin (5/10) lalu. “Proses pembahasan RUU Cipta Kerja sudah transparan terhadap publik. RUU Cipta Kerja sudah mengakomodasi kepentingan buruh, terutama terkait isu perlindungan dan kepastian hak bagi pekerja buruh,” katanya seperti dilansir Antara.

 

Tags:

Berita Terkait