Penundaan Pemilu Dinilai Bentuk Pelanggaran Konstitusi Serius
Utama

Penundaan Pemilu Dinilai Bentuk Pelanggaran Konstitusi Serius

Mendesak pemerintah dan DPR menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum dan taat kepada konstitusi dalam kehidupan berpolitik dan bernegara. Pemilu harus tetap dilaksanakan setiap lima tahun sekali sesuai Konstitusi.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS

Wacana penundaan Pemilu 2024 yang disuarakan sejumlah elit politik terus mendapat sorotan publik. Kalangan organisasi masyarakat sipil tegas menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan/periode Presiden. Direktur Eksekutif Centra Initiative, Muhammad Hafiz, mengatakan sedikitnya ada 4 alasan penundaan pemilu perlu ditolak.

Pertama, penundaan pemilu merupakan pelanggaran konstitusi yang serius. Pelaksanaan pemilu sekali dalam lima tahun sekali secara tegas diatur di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun.”

Pasal itu memberikan legitimasi Presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD untuk menjalankan pemerintahan yang sah (legitimate government) dalam jangka waktu 5 tahun. Ide penundaan pelaksanaan pemilu dalam jangka waktu 1 atau 2 tahun jelas bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

“Wacana ini tentu saja tidak memiliki landasan konstitusional yang jelas dan apabila dilaksanakan hanya akan membuat pemerintahan yang saat ini dan sesudahnya berjalan tidak sah (illegitimate government),” kata Hafiz ketika dikonfirmasi, Jumat (4/3/2022).

(Baca Juga: Penundaan Pemilu dari Aspek Hukum Tata Negara)

Kedua, pemilu yang ditunda tanpa alasan yang kuat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang dapat mengancam masa depan demokrasi. Penundaan pemilu dapat dikategorikan sebagai bentuk “kudeta lembaga eksekutif” secara terselubung yang berimplikasi pada rubuhnya demokrasi.

Dalam kondisi ekstrim, tindakan penundaan pemilu berpotensi mengulang sejarah pada rezim Demokrasi Terpimpin yang banyak melakukan pelanggaran konstitusi dan berakhir dalam situasi politik yang tidak stabil (kekacauan). Apabila ide ini tetap diterapkan, maka situasi pemerintahan yang tidak sah tersebut membuka peluang terjadinya penggulingan pemerintahan (kudeta).

Ketiga, alasan kedaruratan, situasi pandemi Covid-19, kondisi ekonomi yang tidak stabil, maupun anggaran pemilu yang melonjak tidak dapat digunakan menunda pemilu. Hafiz berpendapat itu bukan alasan konstitusional untuk mengabaikan hak rakyat dalam memilih pemimpinnya secara demokratis.

Alasan kedaruratan sebagai pintu hukum terakhir hanya dapat dilakukan melalui deklarasi dalam waktu yang sangat terbatas, berdasarkan alasan konstitusional yang kuat, dan berpijak pada prinsip-pinsip hak asasi manusia. Ditambah lagi, efektivitas penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi hanya bisa ditangani dengan baik apabila keadaan politik stabil, yang mana penundaan pemilu justru berakibat sebaliknya.

Mengacu Pilkada tahun 2020 lalu, perhelatan demokrasi di tataran lokal itu tetap saja berjalan kendati pandemi belum berakhir. “Artinya, argumentasi soal pendemi untuk menunda pemilu merupakan alasan yang cenderung dibuat-dibuat dan dipaksakan,” ujar Hafiz.

Keempat, rencana amendemen UUD sebagai salah satu pintu masuk untuk melegalisasi penundaan pemilu adalah bentuk akal-akalan sebagian elit politik yang mencederai nilai-nilai Konstitusionalisme itu sendiri. Amendamen Konstitusi seharusnya dilakukan untuk dan atas dasar kehendak dan kepentingan rakyat. bukan atas dasar kehendak dan kepentingan segelintir elit politik untuk kepentingan jangka pendek mereka yang sangat pragmatis yang mengorbankan nilai-nilai Konstitusionalisme itu sendiri.

Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf, mendesak pemerintah dan DPR menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum dan taat kepada konstitusi dalam kehidupan berpolitik dan bernegara. Pemilu harus tetap dilaksanakan setiap lima tahun sekali sesuai Konstitusi. “Pelaksanaan pemilu dengan metode early voting ataupun electronic voting dapat dipertimbangan untuk efesiensi biaya pelaksanaan pemilu,” usulnya.

Al mendesak pemerintah untuk fokus pada penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi, serta menyelesaikan isu-isu publik yang mendesak lainnya. Agenda penundaan Pemilu 2024 merupakan bentuk pengingkaran pada cita-cita reformasi dan menjadi pintu masuk otoritarianisme baru yang akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan demokrasi.

“Dengan demikian, agenda dan rencana penundaan Pemilu sudah semestinya dihentikan!”

Sebelumnya, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2013-2015 Hamdan Zoelva berpandangan penundaan pemilu bentuk perampasan hak rakyat. Sebab, dalam Pasal 22E UUD 1945 secara tegas mengatur pelaksanaan Pemilu digelar per lima tahun. Jika ingin menunda Pemilu, maka mesti mengubah rumusan Pasal 22E sesuai ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Menurutnya, tak ada alasan moral, etik dan demokrasi menunda pemilu.

“(Jika menunda Pemilu) Dapat dikatakan merampas hak rakyat memilih pemimpinnya 5 tahun sekali. Tapi kalau dipaksakan dan kekuatan mayoritas MPR setuju, siapa yang dapat menghambat. Putusan MPR formal sah dan konstitusional. Soal legitimasi rakyat urusan lain,” ujarnya melalui akun twitternya, Sabtu (27/2/2022) pekan lalu.

Jika pemilu ditunda 1-2 tahun, kata Hamdan Zoelva, siapa yang akan menjabat presiden, anggota kabinet menteri, dan anggota DPR, DPD, DPRD seluruh Indonesia. Sebab masa jabatan seluruhnya berakhir pada September 2024. Lagipula, konstitusi tidak mengenal pejabat presiden, tapi pelaksana tugas kepresidenan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Menteri Luar Negeri (Menlu) dan Menteri Pertahanan (Menhan).

Seperti diketahui, Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar setelah menerima pelaku UMKM, para pengusaha dan para analis ekonomi dari berbagai perbankan di ruang Delegasi DPR, menyampaikan usulan penundaan Pemilu 2024, dua sampai tiga tahun secara terbuka. Dia beralasan penundaan agar momentum perbaikan ekonomi tidak hilang untuk mengganti stagnasi selama dua tahun masa pandemi.

Gayung bersambut. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto masih terkesan malu-malu. Lain halnya dengan Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Melchias Markus Mekeng menilai wacana perpanjangan masa jabatan presiden, bukan hal tabu untuk dibahas.

Menurut dia, selagi prosesnya dilakukan secara konstitusional, menjadi sah. Menyusul sikap politik dari partai besar seperti PKB dan Golkar, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan sepakat apabila Pemilu 2024 diundur. Dia menjelaskan lima alasan agar pemilu dapat diundur, salah satunya pandemi Covid-19 yang belum berakhir.

Tags:

Berita Terkait