Penuntutan KPK di Ujung Tanduk
Kolom

Penuntutan KPK di Ujung Tanduk

Pemerintah semestinya bergegas cepat dalam mengurai dan menyelesaikan beragam permasalahan akibat pemberlakukan UU 19/2019.

Bacaan 2 Menit

 

Penataan kelembagaan KPK sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 merupakan penegasan kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yaitu sebagai bagian dari pelaksana kekuasaan pemerintahan (executive power) atau lembaga pemerintah (regeringsorgaan-bestuursorganen).

 

Melalui frasa ‘KPK adalah lembaga negara yang masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif’ dan cabang kekuasaan pemerintahan dibidang pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan begitu, dapat dimaknai bentuk kelembagaan KPK saat ini termasuk lembaga negara non kementerian. Seperti halnya ‘Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Komisi Kejaksaan dan PPATK’. Terlebih dalam Pasal 24 ayat (2) UU No.19/2019  menegaskan bahwa Pegawai KPK merupakan ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

 

Konsekuensi logis KPK dimasukan ke dalam rumput eksekutif mengharuskan manajemen kepegawaian pun mengikuti UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Tentu saja mutantis mutandis beserta turunannya. Seperti Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.

 

Kemudian,  Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No.35 Tahun 2018 tentang Penugasan PNS pada Instansi Pemerintah dan diluar Pemerintah. Begitu pula Peraturan Badan Kepegawaian Negara No.5 Tahun 2019 tentang Tatacara Pelaksanaan Mutasi. 

 

Pelemahan

UU KPK hasil revisi memiliki konsekuensi yang tidak mengenakan dalam pelaksanaan fungsi penuntutan. Pendek kata, penuntutan di KPK bak telur di ujung tanduk. Ketika KPK berada di luar rumpun eksekutif, status pegawainya tak masuk dalam kategori ASN. Dampaknya, kedudukan jaksa yang diberi tugas khusus dalam melaksanakan tugas jabatan secara khusus di luar instansi pemerintah dalam jangka waktu tertentu masih relevan.

 

Begitu pula ketika ketentuan Pasal 21 ayat (5) UU 30/2002 masih berlaku, secara struktural maupun fungsional kedudukan Jaksa di KPK berada di bawah kendali lima komisioner. Bahkan kewenangan komisioner selaku penuntut umum dapat digunakan untuk memberikan kuasa kepada para Jaksa tersebut dalam melakukan tugas penuntutan. 

 

Berbeda ceritanya dengan Pasal 21 UU 19/2019. Sebab memasukan KPK dalam rumpun eksekutif, komisioner KPK tak lagi memiliki kewenangan sebagai penuntut umum. Sontak saja keberadaan jaksa yang ditugaskan di KPK berada dalam kondisi genting. Nah kegentingan dimaksud, ketika dalam Pasal 3 Permenpan No.35/2018 telah mengatur mengenai penugasan PNS pada instansi pemerintah dapat dilakukan apabila instansi pemerintah tersebut tidak memiliki  Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait