Aturan Penyadapan, Perlindungan atau Ancaman Bagi Pengguna Telekomunikasi?
Fokus

Aturan Penyadapan, Perlindungan atau Ancaman Bagi Pengguna Telekomunikasi?

Aturan penyadapan seyogyanya tidak dipandang sebagai ancaman bagi siapapun, melainkan sebagai jaminan penegakan hukum yang benar dan perlindungan hak asasi warga negara.

RZK
Bacaan 2 Menit

Ingat, ‘rumus’ tindak pidana korupsi yang diintrodusir oleh Lord Acton. “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Artinya, tanpa pengawasan, maka kewenangan aparat untuk menyadap begitu besar. Implikasinya, peluang untuk disalahgunakan pun cukup besar.

Sebagai contoh, walaupun hingga kini masih diperdebatkan, langkah mantan Ketua KPK Antasari Azhar meminta aparatnya menyadap telepon seluler Nasrudin Zulkarnaen. Permintaan itu diduga demi kepentingan pribadi Antasari. Sebagian kalangan berteori, Antasari menyadap Nasrudin karena keduanya memang sedang berseteru. Ekstremnya, bahkan ada yang menghubungkan penyadapan itu dengan rencana pembunuhan Nasrudin. Mantan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran itu memang akhirnya mati terbunuh, sedangkan Antasari kini tengah menjalani persidangan dengan dakwaan pembunuhan berencana.

Jadi, mengacu pada rumus Lord Acton plus asumsi bahwa tidak semua aparat penegak hukum adalah ‘malaikat’, maka penyadapan seyogyanya memang harus diawasi atau setidaknya diperketat mekanismenya. Dengan begitu, dapat diminimalisir potensi penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan warga negara Indonesia.

Saat ini, memang ada sebuah komite pengawas. Dengan komposisi unsur KPK, Departemen Komunikasi dan Informatika, dan pihak operator telekomunikasi, komite diberi tugas melakukan pengawasan agar penyadapan berjalan sesuai koridor hukum. Namun, sebagaimana pernah diutarakan Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah, komite yang dibentuk berdasarkan Permenkominfo No 11/PER/M.KOMINFO/020/2006 ini bekerja dengan melakukan audit terhadap kegiatan penyadapan yang dilakukan KPK. Dengan kata lain, komite mulai bekerja setelah penyadapan dilakukan selama periode tertentu.

Di sini terlihat masih ada celah penyalahgunaan wewenang, karena peran komite pengawas sebatas represif bukan preventif. Kewenangan komite pengawas tampaknya tidak bisa menjangkau sampai pada saat rencana penyadapan itu diajukan pertama kali. Yang terjadi selama ini adalah mekanisme internal yang menentukan apakah rencana penyadapan disetujui atau tidak. Kita semua mahfum, sesuatu yang berlabel internal biasanya bersifat tertutup, dan tertutup identik dengan tidak transparan.

Di KPK, misalnya, standard operating procedures (SOP) hanya mensyaratkan persetujuan pimpinan untuk melakukan penyadapan. Makanya, dalam kasus Antasari,  penyadapan terhadap Nasrudin berhasil dilakukan karena usulan Antasari disetujui oleh Pimpinan KPK lainnya. Penyadapan Nasrudin pada akhirnya memang hanya beberapa bulan berjalan karena disimpulkan tidak ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi. Namun, lagi-lagi, siapa bisa menjamin informasi hasil penyadapan Nasrudin yang hanya beberapa bulan itu tidak disalahgunakan. Misalnya, untuk rencana pembunuhan. Sekali lagi, coba bayangkan diri anda adalah almarhum Nasrudin Zulkarnaen.

Demi due process of law
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kewenangan penyadapan seyogyanya memang harus diatur dengan jelas, termasuk di dalamnya mekanisme pengawasan yang ketat. Aturan jelas tidak semata-mata demi perlindungan privasi seseorang, lebih dari itu adalah untuk menegakkan due process of law. Marc Webber Tobias dan Roy Davis Petersen dalam “Pre-Trial Criminal Procedure: a Survey of Constitutional Rights” mendefeinisikan due process of law adalah jaminan konstitusi bahwa setiap warga negara berhak atas perlindungan terhadap tindakan pemerintah yang sewenang-wenang.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait