Aturan Penyadapan, Perlindungan atau Ancaman Bagi Pengguna Telekomunikasi?
Fokus

Aturan Penyadapan, Perlindungan atau Ancaman Bagi Pengguna Telekomunikasi?

Aturan penyadapan seyogyanya tidak dipandang sebagai ancaman bagi siapapun, melainkan sebagai jaminan penegakan hukum yang benar dan perlindungan hak asasi warga negara.

RZK
Bacaan 2 Menit

Sumber: RPP Tata Cara Intersepsi, versi Oktober 2009

Salah satu syarat yang menuai kritikan para penggiat anti korupsi adalah kewajiban memperoleh penetapan ketua pengadilan negeri. Cara mendapatkan penetapan itu pun tidak mudah. Setiap permintaan penetapan harus melampirkan surat perintah kepada penegak hukum yang bersangkutan, identifikasi sasaran, pasal tindak pidana yang disangkakan, tujuan dan alasan dilakukannya Intersepsi, substansi informasi yang dicari,  dan jangka waktu Intersepsi.

Prosedur penyadapan semakin diperketat karena RPP mengintrodusir pembentukan lembaga baru bernama Pusat Intersepsi Nasional (PIN). Pasal 1 butir 14 memaparkan PIN adalah lembaga yang dibentuk dan dikelola oleh pemerintah yang berfungsi sebagai gerbang terpadu yang melakukan pengawasan, pengendalian, pemantauan, dan pelayanan terhadap proses Intersepsi agar proses Intersepsi berjalan sebagaimana mestinya. Dalam menjalankan tugasnya, PIN bertanggung jawab kepada Dewan Pengawas Intersepsi Nasional yang komposisinya terdiri dari Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, dan pimpinan instansi lainnya yang berwenang melakukan Intersepsi.

Sampai di sini apakah RPP yang dirancang pemerintah sudah memberikan perlindungan terhadap hak privasi warga negara? Jawabannya belum. Pada batang tubuh RPP tidak satupun yang menyinggung tentang perlindungan terhadap hak privasi. Yang ada hanyalah rumusan Pasal 6 yang sangat normatif, bahwa penyadapan harus sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM.

Perlindungan privasi justru banyak disinggung pada bagian penjelasan. Di paragraf-paragraf awal bahkan dijelaskan bahwa RPP ini dibuat dengan mempertimbangkan norma-norma HAM lingkup nasional maupun internasional. RPP di antaranya menyebut Pasal 28G UUD 1945 tentang perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya.

RPP juga mengutip Pasal 17 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik bahwa tidak seorang pun dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri urusan pribadi, keluarga, rumah, atau korespondensinya, atau secara tidak sah diserang kehormatan diri dan nama baiknya.

Perlindungan hak privasi memang tidak diatur secara tegas, tetapi RPP setidaknya menyodorkan banyak tahap atau prosedur dan syarat untuk melakukan penyadapan. RPP seolah-olah ingin mengatakan “penyadapan itu tidak mudah”. Makanya, pada bagian penjelasan RPP disebutkan bahwa “Demi kepentingan perlindungan privasi, Intersepsi pada prinsipnya merupakan upaya terakhir dalam mencari bukti terjadinya suatu tindak pidana sehingga harus jelas alasan dan tujuan Intersepsi, serta harus dilakukan secara proporsional dan hanya untuk jangka waktu tertentu.

Praktik di negara lain
Jika RPP Penyadapan ternyata tidak mengatur tentang perlindungan hak privasi warga negara, lalu bagaimana konsep regulasi yang ideal? Ada baiknya kita intip praktik di negara lain. Di negara-negara yang iklim demokrasinya telah mapan seperti Amerika Serikat atau negara-negara di Benua Eropa, perdebatan mengenai penyadapan atau dalam Bahasa Inggris disebut Telephone Tapping atau Lawful Interception versus hak privasi warga negara ternyata telah eksis puluhan tahun silam.

Prinsipnya, negara-negara tersebut memperkenankan praktik penyadapan untuk tujuan tertentu tetapi dengan kontrol yang super ketat. Penyadapan hanya boleh dilakukan atas seizin pengadilan jika dianggap bukti-bukti lain tidak akan mampu membuktikan adanya suatu tindak pidana. Kecuali di Jerman, hanya penyadapan yang dilakukan atas seizin otoritas terkait yang dapat dijadikan alat bukti di persidangan.

Di Amerika Serikat, otoritas yang mengurusi izin penyadapan adalah United States Foreign Intelligence Surveillance Court yang dibentuk berdasarkan United States Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA). Pertama kali diundangkan pada tahun 1978, FISA kemudian beberapa kali diamandemen oleh USA Patriot Act (2001), Protect America Act (2007), dan FISA Amendments Act (2008). Seperti tergambar dari namanya regulasi penyadapan di Negeri Paman Sam itu memang dibuat untuk kepentingan intelijen khususnya terhadap orang-orang asing.

Menariknya, di Amerika Serikat juga diundangkan Electronic Communication Privacy Act pada tahun 1986. ECPA melingkupi tidak hanya komunikasi verbal, tetapi juga komunikasi elektronik seperti sinyal, tulisan, gambar, dan suara. ECPA melindungi bentuk komunikasi biasa maupun elektronik dengan cara menetapkan syarat yang ketat seperti keharusan ada surat perintah. ECPA memang dirancang sebagai implementasi dari Amandemen ke-4 Konstitusi Amerika Serikat yang lengkapnya berbunyi “The right of the people to be secure in their persons, houses, papers, and effects, against unreasonable searches and seizures, shall not be violated, and no Warrants shall issue, but upon probable cause, supported by Oath or affirmation, and particularly describing the place to be searched, and the persons or things to be seized”.

Sementara, di Benua Eropa, praktik penyadapan telah menjadi perhatian organisasi regional. European Union (EU) menerbitkan European Council Resolution tentang Penyadapan Alat Telekomunikasi pada 17 January 1995. Selanjutnya, pada tahun 2006, negara-negara di Eropa juga mengadopsi keputusan European Parliament tentang Pedoman Penyimpanan Data (Data Retention Directive). Pedoman itu menyatakan setiap komunikasi melalui alat elektronik harus disimpan dalam waktu paling singkat enam bulan hingga dua tahun. Sewaktu-waktu data komunikasi itu digunakan untuk kepentingan penegakan hukum.

Berkaca pada pengalaman negara lain, kewenangan penyadapan mau tidak mau memang akan bersinggungan dengan hak privasi warga negara. Persinggungan itu akan menjadi masalah besar jika ternyata penyadapan yang dilakukan melenceng dari tujuan penegakan hukum. Implikasinya, tidak hanya akan merugikan hak privasi warga negara, tetapi juga mengakibatkan macetnya due process of law. Makanya, banyak negara merapihkan regulasi penyadapan mereka. Sebagian melakukannya dengan membuat aturan khusus penyadapan yang di dalamnya terdapat mekanisme yang super ketat. Sementara, sebagian lagi dengan menyandingkan aturan penyadapan dengan aturan perlindungan hak privasi.

Indonesia sebagaimana dipaparkan di atas, baru sebatas menyisipkan pasal-pasal penyadapan dalam undang-undang yang bersifat umum. Berangkat dari kondisi ini, Indonesia sudah saatnya membenahi regulasi penyadapan yang berlaku sekarang. Dengan dasar hukum yang jelas, maka kinerja aparat penegak hukum ketika melakukan penyadapan tidak lagi diragukan legitimasinya.

Model pembenahan regulasinya bisa mengadopsi best practice di negara-negara lain. Namun yang pasti, prinsip-prinsip yang harus diakomodir dalam pembenahan regulasi penyadapan nanti adalah bagaimana upaya penegakan hukum tidak terhambat tetapi tetap menghormati hak asasi warga negara Indonesia, termasuk hak privasi.

Tags:

Berita Terkait