PK, Jalan Pintas Terpidana Keluar Penjara
Utama

PK, Jalan Pintas Terpidana Keluar Penjara

​​​​​​​KPK minta MA implementasikan Perma Pedoman Pemidanaan.

Aji Prasetyo
Bacaan 5 Menit
PK, Jalan Pintas Terpidana Keluar Penjara
Hukumonline

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak bisa menyembunyikan kekecewaannya setelah Mahkamah Agung (MA) berkali-kali mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan para terpidana kasus korupsi. KPK mencatat setidaknya dalam kurun waktu 2019-2020 saja ada 20 terpidana yang hukumannya diringankan majelis hakim.

Pelaksana tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan pihaknya menyayangkan semakin banyak putusan MA di tingkat PK yang dikabulkan majelis. Ia mengakui setiap putusan majelis termasuk para hakim agung di tingkat PK harus dihormati, tapi Ali berharap fenomena pengurangan hukuman ini tidak terus terjadi pada masa mendatang.

“Sebagai garda terdepan bagi para pencari keadilan, KPK pastikan fenomena ini juga akan memberikan pandangan buruk di hadapan masyarakat yang makin kritis terhadap putusan peradilan yang pada gilirannya tingkat kepercayaan publik atas lembaga peradilan pun semakin tergerus,” kata Ali.

Selain itu efek jera yang diharapkan dari para pelaku korupsi tidak akan membuahkan hasil. Ini akan semakin memperparah berkembangnya pelaku korupsi di Indonesia. Kemudian ia berpendapat dibutuhkan komitmen yang kuat jika semua pihak ingin memberantas korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Hal ini bisa dimulai dari pimpinan negara ini hingga penegak hukum harus memiliki visi yang sama utamanya dalam upaya pemberantasan korupsi.

“KPK mendorong MA segera mengimplementasikan Perma tentang pedoman pemidanaan pada seluruh tingkat peradilan termasuk pedoman tersebut tentu mengikat pula berlakunya bagi Majelis Hakim tingkat PK,” pungkasnya. (Baca: Hindari Disparitas, KPK Rampungkan Pedoman Penuntutan Perkara Tipikor)

Hukuman disunat

Dari catatan Hukumonline, setidaknya pada 2020 ini ada beberapa terpidana kasus korupsi yang hukumannya dikurangi MA pada tingkat PK. Dan hal ini pun kemudian diikuti beberapa terpidana lain yang juga “mencari peruntungan” dengan mengajukan PK ke MA yang prosesnya masih berjalan.

Salah satu yang mengajukan PK dan dikurangi hukumannya yaitu mantan anggota Komisi V DPR RI sekaligus Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Musa Zainuddin. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta sebelumnya memvonis Musa Zainuddin dengan pidana penjara selama 9 tahun, denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Ia juga diganjar pidana tambahan berupa membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp7 miliar subsider 1 tahun, dan pencabutan hak politik selama 3 tahun.

Musa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menerima suap Rp7 miliar dari mantan terpidana Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir dan terpidana Komisaris Utama PT Cahayamas Perkasa So Kok Seng alias Tan Frenky Tanaya alias Aseng. Suap tersebut untuk pemulusan pengusulan dan pengesahan program aspirasi Komisi V DPR berupa pembangunan Jalan Taniwel-Saleman senilai Rp56 miliar dan rekonstruksi Piru-Waisala Provinsi Maluku Rp52 miliar dalam APBN Kementerian PUPR 2016.

"Status: Putus. Tanggal Putus: 30 Juli 2020. Amar Putusan: KABUL. Tanggal Kirim Ke Pengadilan Pengaju: - (masih kosong, red)," bunyi informasi singkat di laman Kepaniteraan MA dalam perkara Musa Zainuddin. (Baca: Ini Landasan Pembentukan Perma Pemidanaan Perkara Tipikor)

Kemudian MA juga memberikan pengurangan hukuman 1,5 tahun pidana penjara bagi terpidana mantan calon gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Asrun dan terpidana anak Asrun sekaligus mantan walikota Kendari Adriatma Dwi Putra. “Menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun dan pidana denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan untuk masing-masing terpidana, serta mencabut hak politik para terpidana selama 2 tahun,” kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro kepada wartawan.

Putusan ini memangkas vonis yang sebelumnya dijatukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang dipimpin Hariono memvonis Asrun dan Adriatma Dwi Putra, masing-masing dengan pidana penjara selama 5 tahun 6 bulan, pidana denda sebesar Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan, dan pidana tambahan pencabutan hak politik selama 2 tahun setelah selesai menjalani masa pidana pokok.

Menurut majelis, Asrun selaku Wali Kota Kendari 2012-2017 sekaligus calon gubernur Sulawesi Tenggara dalam Pilkada Serentak 2018 dan Adriatma Dwi Putra selaku Wali Kota Kendari periode 2017-2022 secara bersama-sama dengan mantan Kepala BPKAD Kota Kendari Fatmawaty Faqih (divonis 4 tahun 8 bulan penjara) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam delik penerimaan suap dengan total Rp6,8 miliar.

Uang suap diterima dari Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara (SBN) Hasmun Hamzah yang telah divonis 2 tahun penjara. Menurut Majelis, total penerimaan suap tersebut terbagi dalam dua bagian
terkait dengan pengurusan tiga proyek. Penerimaan pertama oleh Asrun bersama Fatmawati Rp4 miliar terkait dua proyek yang dimenangkan dan digarap PT SBN saat Asrun menjabat wali kota.

Ketiga ada nama Bupati Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip. MA mengabulkan PK yang diajukan Sri Wahyumi dengan hanya menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan. Hukuman ini jauh lebih rendah dari putusan sebelumnya yang menjatuhkan pidana selama 4 tahun 6 bulan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan.

Selain itu, putusan ini juga dibawah pemidanaan minimum yang ada dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mencantumkan hukuman minimal selama 4 tahun. (Baca: Kronologis Perkembangan Pemikiran tentang Keharusan Terpidana Menghadiri Sidang Permohonan PK)

MA sendiri ternyata punya alasan mengapa memutus Sri jauh lebih rendah dari putusan awal bahkan di bawah ancaman minimum pasal yang didakwakan pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) ini. Kepada Hukumonline, Juru Bicara MA Andi Samsam Nganro mengungkapkan hal tersebut. “Tetapi secara garis besar, karena Terdakwa belum menerima hadiah-hadiah tersebut/belum menikmati,” kata Andi beberapa waktu lalu.

Masih proses

Seperti disebutkan di atas, selain para terpidana yang telah mengajukan PK dan dikabulkan MA, terpidana lain pun “mencoba peruntungan” dengan jalan yang sama. Setidaknya ada tiga terpidana yang masih berproses PK baik itu dalam tahap pemeriksaan di Pengadilan Negeri ataupun sudah berproses di MA.

Terpidana pertama yaitu Anas Urbaningrum mantan Ketua Umum Partai Demokrat yang sebelumnya dihukum 14 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun 4 bulan kurungan. Selain itu, ia diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara. Pengajuan PK Anas ini sudah lebih dari dua tahun namun belum juga diputus MA.

"Kami ingin agar yang pertama majelis mengabulkan permohonan PK, membatalkan putusan MA Nomor 1261.k/pidsus/2015, dan mengadili membebaskan pemohon PK dari semua dakwaan jaksa," ujar Anas kepada hakim saat membacakan kesimpulan pada 2018 lalu di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Kemudian yang masih berproses yaitu PK yang diajukan advokat Lucas dalam perkara merintangi penyidikan. Lucas tetap tidak bisa terima divonis bersalah meskipun pengadilan terus mengurangi hukumannya. Pada tingkat pertama ia dihukum selama 7 tahun, kemudian Pengadilan Tinggi memangkasnya menjadi 5 tahun dan pada tingkat kasasi menjadi 3 tahun.

Selanjutnya mantan Deputi Gubernur BI Budi Mulya dalam perkara Century. Kuasa hukum Budi, Rico Pandeirot membenarkan adanya pengajuan PK itu. “Iya,” kata Rico kepada Hukumonline. Dilansir dari informasi perkara di MA, PK Budi Mulya teregister dengan nomor 113 PK/Pid.Sus/2020 tanggal masuk 24 Februairi 2020 dan tanggal distribusi pada 13 Maret 2020 dengan pengadil Leopold Luhut Hutagalung sebagai Ketua dan Sofyan Sitompul serta Andi Samsan Nganro sebagai anggota.

Berlawanan dengan Lucas, vonis terhadap Budi Mulya yang menjadi terdakwa dalam kasus korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) Bank Century ini terus ditambah majelis. Pada tingkat pertama ia dihukum selama 10 tahun, kemudian Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukumannya menjadi 12 tahun dan pada tingkat kasasi terus melonjak hingga 15 tahun.

Tags:

Berita Terkait