Problematika Penerapan Eksepsi dalam Praktik Peradilan Perdata
Utama

Problematika Penerapan Eksepsi dalam Praktik Peradilan Perdata

Hasil kajian ini bisa menjadi bahan masukan untuk menyusun Perma/SEMA dan RUU Hukum Acara Perdata terkait pengajuan eksepsi dalam perkara perdata.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Samuel MP Hutabarat, Yasardin, Pri Pambudi Teguh, Prof Efa Laela Fakhriah dalam FGD tentang Implementasi Pasal 136 HIR/162 RBg, Selasa (7/3/2023). Foto: Istimewa
Samuel MP Hutabarat, Yasardin, Pri Pambudi Teguh, Prof Efa Laela Fakhriah dalam FGD tentang Implementasi Pasal 136 HIR/162 RBg, Selasa (7/3/2023). Foto: Istimewa

Dalam teori dan praktik peradilan perdata dikenal pengajuan eksepsi yang diajukan tergugat sebagai bagian dari hukum acara perdata sebagaimana diatur Herziene Indonesisch Reglement (HIR atau Reglement Indonesia yang diperbaharui: S. 1848 No.16. S.1941 No.44 untuk Jawa dan Madura) dan Rechtsreglement Buitengewesten (RBg atau Reglemen Daerah Seberang: S. 1927 No.227 untuk di luar Jawa dan Madura).

Dalam salah satu tahapan persidangan, hakim dapat menjatuhkan putusan akhir dalam hal adanya kewenangan absolut peradilan lain atau eksepsi kewenangan relatif dalam lingkungan peradilan yang sama. Sedangkan materi eksepsi di luar kewenangan mengadili - seperti gugatan kabur, kurang pihak, salah objek, daluwarsa, error in persona, nebis in idem - diputus bersama pokok perkara dalam putusan akhir sebagaimana dimaksud Pasal 136 HIR atau 162 RBg.

Miisalnya, ada gugatan perkara sudah berkali-kali disidangkan, tapi di akhir persidangan gugatan berujung di-Niet Ontvankelijke verklaard (NO) atau tidak dapat diterima karena gugatan dianggap kabur (obscuur libel). Ada pula kalangan hakim yang menerapkan materi eksepsi di luar kewenangan mengadili diputus setelah penyampaian duplik dan menerima bukti permulaan melalui putusan sela.   

Selengkapnya Pasal 136 HIR, “Eksepsi (perlawanan/tangkisan) yang sekiranya hendak dikemukakan oleh si tergugat, kecuali tentang tidak berkuasanya hakim, tidak boleh dikemukakan dan ditimbang satu-satu, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara.”

Baca Juga:

Kata lain, praktik penerapan Pasal 136 HIR atau 162 RBg itu selama ini tidak seragam atau terdapat perbedaan pandangan di kalangan para hakim. Penerapan pengajuan eksepsi yang seperti itu berimbas “menabrak” asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (4) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Untuk itu, melalui penelitian ini, kita akan mencoba merekomendasikan, dalam kondisi seperti apa hakim berpegang teguh pada 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman dan dalam kondisi seperti apa hakim berpegang teguh pada Pasal 136 HIR,” ujar salah satu Peneliti Puslitbang Kumdil MA Rio Satria dalam Focus Group Discussion (FGD) kajian berjudul “Implementasi Pasal 136 HIR/162 RBg dalam Perspektif Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan”, Selasa (7/3/2023).

Tags:

Berita Terkait