Problematika Perizinan Praktik Dokter Hewan dalam UU Cipta Kerja
Kolom

Problematika Perizinan Praktik Dokter Hewan dalam UU Cipta Kerja

Salah satu masalah besarnya adalah menggunakan paradigma dan orientasi profit pada pelayanan kesehatan hewan.

Bacaan 4 Menit
Yusuf Fachrurrozi. Foto: Istimewa
Yusuf Fachrurrozi. Foto: Istimewa

Perubahan UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU Nakeswan) dalam UU Cipta Kerja berpotensi merugikan hak konstitusional profesi dokter hewan dan pengguna jasa dokter hewan. Kerugian ini soal memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak yang telah dijamin konstitusi dalam UUD 1945. Masalahnya ada pada pergeseran istilah “Izin Usaha” menjadi “Perizinan Berusaha”.

Pasal 34 angka 16 ayat (2) UU Cipta Kerja mengatur ketentuan berusaha di bidang pelayanan kesehatan. Semula wajib memiliki izin usaha, kini wajib memenuhi perizinan berusaha dengan bunyi, “Setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat”.

Baca juga:

Penjelasan Pasal 34 angka 16 ayat (2) UU Cipta Kerja kembali menegaskan bahwa kualifikasi Perizinan Berusaha di bidang pelayanan kesehatan hewan meliputi: Rumah Sakit Hewan, Praktik Kedokteran Hewan, Laboratorium Kesehatan Hewan, dan Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner yang diselenggarakan oleh swasta.

Pergeseran tersebut memang terlihat sederhana, tapi dapat menjadi penghalang bagi pemangku kepentingan akibat berlakunya UU Cipta Kerja. Pasalnya, profesi dokter hewan yang hendak membuka praktik wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang dimaksud pada Pasal 34 angka 16 ayat (2) UU Cipta Kerja. Ini mengingat Praktik Kedokteran Hewan termasuk dalam kualifikasi Perizinan Berusaha. Lebih jauh lagi, kewajiban itu diterjemahkan negara sebagai pemberian syarat jumlah besaran modal finansial yang besar. Ini secara nyata telah mereduksi nilai Pelayanan Kesehatan Hewan sesungguhnya.

Selanjutnya Pasal 34 angka 17 ayat (1) UU Cipta Kerja mengatur lebih lanjut bahwa, “Tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat”. Keberlakuan pasal ini sangat berdampak bagi profesi dokter hewan. Pergeseran “surat izin praktik kesehatan hewan” menjadi Perizinan Berusaha kembali diterjemahkan oleh negara dengan mengedepankan kepemilikan modal dalam jumlah yang sangat besar.

Hal ini semakin jelas ketika Perizinan Berusaha dalam UU Cipta Kerja diterjemahkan lebih lanjut dalam PP No.5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko jo. Peraturan Menteri Pertanian No.15 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha Kegiatan Usaha dan Standar Produk Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pertanian.

Keduanya menentukan bahwa kegiatan usaha pada subsektor pertanian dan kesehatan hewan dikategorikan sebagai usaha kecil. Jadi, paling tidak setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan harus memiliki modal usaha lebih dari Rp1 miliar untuk memulai dan/atau melanjutkan pekerjaannya. Nyatanya, tidaksetiap orang yang berusaha di bidang pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan mempunyai modal usaha sedemikian banyaknya.

Hal ini sudah menunjukkan bahwa Pasal 34 angka 16 ayat (2) dan Pasal 34 angka 17 ayat (1) UU Cipta Kerja sama sekali tidak mencerminkan kemudahan dalam proses pengajuan perizinan berusaha. Negara justru mempersulit warganya dengan kewajiban memiliki modal usaha yang besar untuk memulai dan/atau melanjutkan pekerjaannya.

Perizinan Berusaha yang dimaksud Pasal 34 angka 16 ayat (2) dan Pasal 34 angka 17 ayat (1) UU Cipta Kerja adalah perizinan berusaha berbasis risiko. Perizinan berusaha berbasis risiko ini membawa konsekuensi perizinan berusaha pada subsektor peternakan dan kesehatan hewan.

Peternakan dan kesehatan hewan masuk dalam tingkat risiko dan peringkat skala kegiatan usaha yang meliputi UMKM hingga usaha besar. Profesi dokter hewan dan pengguna jasa dokter hewan justru pada akhirnya tidak dapat memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Perizinan Berusaha justru mewajibkan persyaratan yang bertolak belakang dengan ide kemudahan dalam proses pengajuan perizinan berusaha serta landasan filosofis Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

Pasal 34 angka 16 ayat (2) UU Cipta Kerja secara limitatif turut menyatakan perizinan berusaha’ diterbitkan oleh pemerintah pusat. Namun, pada praktiknya SIP hanya berlaku dalam lingkup satu daerah atau domisili saja. Hal ini juga sangat tidak relevan dengan praktik dokter hewan yang memiliki kekhususan dan karakteristik berbeda dengan profesi dokter dan profesi dokter gigi. Pelayanan kesehatan hewan seringkali harus dilakukan pada kandang atau habitat hewan itu sendiri, yang sering pula lintas batas.

Keberlakuan Pasal 34 angka 16 ayat (2) dan Pasal 34 angka 17 ayat (1) UU Cipta Kerja tidak hanya membawa dampak bagi profesi dokter hewan saja. Pengguna jasa dokter hewan juga merasakan secara langsung dampaknya. Mereka harus pula menanggung biaya-biaya yang tinggi akibat meningkatnya biaya jasa dokter hewan yang harus mengeluarkan modal usaha besar demi memenuhi perizinan berusaha. Apabila dibiarkan, akan banyak hewan yang tidak memperoleh penanganan hingga berpotensi menyebarluaskan penyakit hewan kepada manusia.

Oleh karena itu, sangat diperlukan pembatasan dan penafsiran yang jelas atas frasa Perizinan Berusaha dalam Pasal 34 angka 16 ayat (2) dan Pasal 34 angka 17 ayat (1) UU Cipta Kerja. Seharusnya dapat dibatasi dan ditafsirkan dengan mengedepankan aspek kompetensi dan keahlian, menghilangkan kewajiban setiap orang dan tenaga kesehatan hewan memasukkan modal usaha, tidak menggunakan paradigma dan orientasi profit pada pelayanan kesehatan hewan, serta cukup menjaga peran pengawasan pemerintah alih-alih membebankan syarat modal usaha.

Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah menyatakan dengan jelas bahwa UU Cipta Kerja adalah undang-undang prematur. Jadi, penerbitan Izin Berusaha Dokter Hewan yang berlaku dengan dasar peraturan pelaksana UU Cipta Kerja seharusnya demi hukum dianggap tidak berlaku.

*)Yusuf Fachrurrozi, Partner pada Kantor Hukum THEY Partnership.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait