Problematika Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Perkara Perceraian
Utama

Problematika Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Perkara Perceraian

Mulai dari masih minimnya pendampingan oleh kuasa hukum, minimnya pengajuan permohonan pemberian hak asuh dan nafkah anak dalam perkara cerai, beluma adanya pedoman dalam menentukan besaran nafkah anak yang dihitung berdasarkan biaya kebutuhan dasar, dan lain sebagainya.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas R.M. Dewo Broto Joko P. dalam dalam 'Dialog Yudisial MA RI dan Federal Circuit and Family Court of Australia: Perlindungan Hak Perempuan dan Anak dalam Perkara Perceraian', Rabu (27/7/2022). Foto: FKF
Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas R.M. Dewo Broto Joko P. dalam dalam 'Dialog Yudisial MA RI dan Federal Circuit and Family Court of Australia: Perlindungan Hak Perempuan dan Anak dalam Perkara Perceraian', Rabu (27/7/2022). Foto: FKF

Sebagai salah satu alasan putusnya suatu perkawinan, perceraian disebabkan oleh banyak faktor sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Seperti, zina, mabuk, madat, judi, meninggalkan salah satu pihak, dihukum penjara, poligami, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), cacat badan, perselisihan, dan pertengkaran terus menerus, kawin paksa, murtad, dan ekonomi. 

Adapun tren perkara perceraian dari tahun ke tahun di Indonesia meningkat cukup signifikan terutama cerai gugat yang diajukan oleh istri. “Kita perlu lihat kompleksitas perlindungan perempuan dan anak dalam perkara cerai,” ujar Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian PPN/Bappenas R.M. Dewo Broto Joko P. dalam “Dialog Yudisial MA RI dan Federal Circuit and Family Court of Australia: Perlindungan Hak Perempuan dan Anak dalam Perkara Perceraian”, Rabu (27/7/2022) kemarin.

Pertama, terkait minim kondisi pra permohonan perkara cerai. Lalu masih minimnya pendampingan oleh kuasa hukum, hanya 1 dari 10 perempuan atau laki-laki yang membawa perceraian mereka ke Pengadilan Agama didampingi oleh kuasa hukum. Sedangkan di pengadilan umum terdapat 3 dari 10 yang didampingi kuasa hukum.

Baca Juga:

Dewo juga menyebutkan minimnya pengajuan permohonan pemberian hak asuh dan nafkah anak dalam perkara cerai menjadi problem terkait kompleksitas perlindungan perempuan dan anak dalam perkara cerai lainnya. Selain masalah pernikahan usia anak yang menyebabkan kerentanan bagi perempuan.

Tak hanya itu, dalam penanganan perkara cerai, kompetensi dari hakim yang melakukan mediasi seringkali tidak mendukung penyelenggaraan diklat yang perlu mendapat perhatian bersama. Ia juga mengatakan putusan perceraian seringkali tidak tegas mencantumkan amar hak pemeliharaan anak terkecuali apabila hak dituntut oleh suami atau istri.

Problematika lain yang dijumpai adalah fakta bahwa hakim belum didukung oleh pedoman dalam menentukan besaran nafkah anak yang dihitung berdasarkan biaya kebutuhan dasarnya. Sekaligus belum ada juga mekanisme penunjukan independent children lawyer (ICL) yang penting sebagai representasi bagi anak yang mendapat bantuan.

“(Selanjutnya) kompleksitas permasalahan ini adalah eksekusi putusan perkara cerai terkait nafkah istri dan anak, ini penting sekali. Adanya kekosongan hukum dalam hal perlindungan nafkah bagi istri dan anak. Kalau untuk PNS mungkin sudah lengkap peraturannya, tapi untuk swasta dan pengangguran ini perlu untuk kita carikan solusi.”

Ia juga menyoroti persoalan pasca putusan yakni dalam melaksanakan eksekusi putusan. Misalnya, ketika pihak yang kalah tidak menyerahkan anak kepada yang diberi hak pemeliharaan sebagaimana isi putusan. Selain itu, dalam hal skema tunjangan pemeliharaan anak dan bantuan khusus pasca perceraian untuk pemenuhan kebutuhan dasar anak terkait tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan juga jadi bagian dari kompleksitas yang ada.

Meski pada dasarnya terkait aturan perlindungan nafkah bagi anak telah dituangkan oleh sejumlah regulasi. Sebut saja, Pasal 41 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Pasal 14 ayat (2) UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Pasal 8 PP No.10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS sebagaimana telah diubah berdasarkan PP No.45 Tahun 1990, dan Pasal 105 huruf c dan Pasal 156 huruf d KHI. Namun masih dirasa perlu adanya penjabaran lebih lanjut.

“Terkait landasan hukum ini perlu dijabarkan lebih jelas lagi, kalau soal PNS sudah, tapi yang lain belum diatur secara detail. Pemerintah perlu memperkuat regulasi yang dapat mengatur tentang perhitungan nafkah istri dan anak pasca putusan cerai,” ucapnya.

Dia juga melihat perlu dilakukan penguatan kelembagaan dan perbaikan proses yang dapat menjembatani eksekusi. “Saat ini kita tidak punya lembaga yang menangani proses bisnis atapun pemenuhan kewajiban mantan suami untuk membiayai, menafkahi istri dan anaknya. Kkita perlu diskusikan lebih detail lagi, mungkin kita bisa pertimbangkan ke depan bagaimana menjembatani eksekusi putusan hakim ini,” saran dia.

Sinergi kementerian lembaga turut jadi hal yang tidak kalah penting dalam menjawab problematika dan kompleksitas perlindungan perempuan dan anak dalam perkara cerai. Pemerintah perlu dilibatkan dalam eksekusi perkara cerai untuk nafkah istri dan anak. Sekaligus sinergi kementerian dan lembaga untuk otomasi pemotongan penghasilan orang tua untuk nafkah anak. Tentunya, semua hal itu dilakukan dengan penguatan SDM terutama penguatan kompetensi hakim dan meningkatkan edukasi kepada masyarakat.

“Kami merekomendasikan untuk perlindungan perempuan dan anak dalam perkara perceraian untuk membuat kajian yang komprehensif yang memetakan kompleksitas permasalahan. Memetakan potensi dan kelemahan yang dimiliki Indonesia baik dari sisi regulasi, kelembagaan, maupun SDM. Begitu juga menyusun rekomendasi, strategi edukasi, kampanye dan sosialisasi kepada masyarakat yang komprehensif. Dan tentunya kita perlu memperlajari best practice negara lain,” sarannya.

Tags:

Berita Terkait