Refleksi 20 Tahun Tragedi 9/11 bagi Hukum Penerbangan Nasional
Kolom

Refleksi 20 Tahun Tragedi 9/11 bagi Hukum Penerbangan Nasional

​​​​​​​Sudah selayaknya Pemerintah Indonesia mempertimbangkan ratifikasi the Beijing Convention of 2010 dan the Beijing Protocol of 2010 dengan melakukan pengkajian mendalam akan urgensi serta kepentingan nasional.

Melalui Pasal 1 the Beijing Protocol of 2010 disempurnakan menjadi, “any person commits an offence if that person unlawfully and intentionally seizes or exercises control of an aircraft in service by force or threat thereof, or by coercion, or by any other form of intimidation, or by any technological means.

Perluasan unsur pidana dari in flight ke in service merupakan suatu terobosan mengikuti perkembangan keadaan. Dunia mendefinisikan in flight mengacu ketentuan Pasal 3 ayat (1) the Hague Convention of 1970 dan Pasal 2 (a) the Montreal Convention of 1971, “An aircraft is considered to be in flight at any time from the moment when all its external doors are closed following embarkation until the moment when any such door is opened for disembarkation. In the case of a forced landing, the flight shall be deemed to continue until the competent authorities take over the responsibility for the aircraft and for persons and property on board.

Kemudian terminologi in service yang ditonjolkan memiliki definisi sebagaimana mengacu Pasal 2 (b) the Montreal Convention of 1971 dan Pasal 5 ayat (1) the Beijing Protocol of 2010, sebagai berikut, “An aircraft is considered to be in service from the beginning of the pre-flight preparation of the aircraft by ground personnel or by the crew for a specific flight until twenty-four hours after any landing. In the case of a forced landing, the flight shall be deemed to continue until the competent authorities take over the responsibility for the aircraft and for persons and property on board.

Pembajakan pesawat sebelum tragedi 9/11 mengarah kepada penyanderaan terhadap penumpang, awak pesawat, serta pesawat itu sendiri sebagai daya tawar pembajak menuntut keinginannya. Maka penggunaan konsep in flight saat itu dianggap tepat. Faktanya peristiwa 9/11 mengubah tujuan pembajakan dengan menjadikan pesawat sebagai senjata untuk ditabrakkan ke sasaran. Perkembangan teknologi membuka kemungkinan pesawat yang belum berstatus in flight sudah dibajak. Alhasil konsep in flight tidak lagi ideal dan bercelah hukum, sehingga penyempurnaan dilakukan melalui kehadiran konsep in service.

Langkah selanjutnya ialah perluasan unsur tindak pidana melalui penghapusan kata “on board”. Kemajuan teknologi berujung potensi serangan siber untuk mengambilalih kendali pesawat secara paksa atau manipulasi komunikasi agar pilot mendarat pada tempat yang diinginkan teroris menandakan suatu era dimana pembajakan tidak selalu dilakukan dari dalam pesawat. Maka penggunaan kata “or by any technological means” ditambahkan pada the Beijing Protocol of 2010 guna mengakomodasi perkembangan situasi.

The Beijing Convention of 2010

Konvensi ini memperluas cakupan the Montreal Convention of 1971 dan the Montreal Protocol of 1988. Instrumen terakhir berbicara perihal tindak pidana di bandara. The Beijing Convention of 2010 memperkenalkan konsep bahan berbahaya yang dapat digunakan untuk menyerang pesawat sipil menerbangi rute internasional, dan dalam kasus tertentu menerbangi rute domestik. Berlaku sejak 1 Juli 2018 setelah aksesi Turki.

Konvensi ini memuat ketentuan baru terkait kejahatan pada penerbangan sipil yang dilakukan pesawat sipil, di antaranya penggunaan pesawat sebagai senjata; pemanfaatan pesawat secara melawan hukum untuk menyebarkan bahan (atau senjata) biologis, kimia, dan nuklir; serta penggunaan bahan tersebut untuk menyerang pesawat. Dengan kata lain, the Beijing Convention of 2010 memperkuat upaya kontrol terhadap pengangkutan muatan biologi, kimia, dan (senjata) nuklir melalui pesawat sipil untuk tujuan terlarang.

Tags:

Berita Terkait