RUU Kesehatan Berpotensi Mengancam Independensi BPJS
Terbaru

RUU Kesehatan Berpotensi Mengancam Independensi BPJS

Seperti bakal menghambat pelaksanaan program jaminan sosial, dan menambah beban iuran. Pertanggungjawaban melalui Menteri menempatkan BPJS sebagai subordinasi Kementerian yang memperpanjang birokrasi sehingga tidak efektif dan efisien.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

“Pertanggungjawaban melalui Menteri menempatkan BPJS sebagai subordinasi Kementerian yang memperpanjang birokrasi sehingga tidak efektif dan efisien,” ujarnya.

Menempatkan BPJS di bawah Menteri samahalnya mengembalikan BPJS pada kemunduran di era Asuransi Kesehatan (Askes) berada di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tak hanya itu, bertentangan dengan semangat UU 40/2004 yang mendorong kemandirian BPJS tidak seperti sebelumnya dimana BPJS Kesehatan masih sebagai PT Askes dan BPJS Ketenagakerjaan sebagai PT Jamsostek.

“Penempatan BPJS saat ini sudah tepat bertanggung jawab langsung kepada Presiden, kalau ditempatkan di bawah Menteri berarti langkah mundur,” ujarnya.

Selain itu, Hariyadi melihat potensi biaya penyelenggaraan BPJS Kesehatan meningkat sehingga berdampak padda kenaikan iuran peserta. Tentu saja kenaikan iuran itu bakal membebani pekerja dan pemberi kerja. Salah satu penyebabnya karena RUU Kesehatan bakal menjalankan berbagai penugasan dari Menteri Kesehatan (Menkes). Hal itu sebagaimana diatur Pasal 13 ayat (2) RUU Kesehatan yang merevisi Pasal 13 UU 24/2011.

Penugasan dari Kementerian itu menurut Hariyadi berpeluang menambah beban dana jaminan sosial (DJS) BPJS Kesehatan. DJS yang berasal dari iuran peserta bakal tergerus bukan untuk membiayai pelayanan kesehatan dalam program jaminan sosial bidang kesehatan, tapi membiayai program yang merupakan penugasan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

“Apindo mendesak UU SJSN dan UU BPJS dikeluarkan dari RUU Kesehatan,” usulnya.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) Saepul Tavip, mencatat RUU Kesehatan merevisi beberapa ketentuan UU 40/2004 dan UU 24/2011. Khususnya merevisi organ BPJS  dengan posisikan sebagai badan publik yang hambar.

Tavip menegaskan, selama ini UU 24/2011 sudah baik mengatur pelaksanaan BPJS. Misalnya, Direksi dan Dewan Pengawas (Dewas) BPJS bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Direksi dan Dewas tidak melaksanakan penugasan dari Menteri. BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala enam bulan sekali langsung kepada Presiden, tanpa melalui Menteri, dengan tembusan kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Dalam proses seleksi Direksi dan Dewan Pengawas BPJS, Tavip menolak pembentukan panitia seleksi oleh Menteri. Ketentuan tersebut senada dengan penempatan BPJS di bawah Menteri. Hal tersebut membuat posisi BPJS menjadi subordinat, tidak lagi independen dan mandiri.  “Proses seleksi Direksi dan Dewas BPJS akan dokontrol oleh Menteri. BPJS akan diposisikan seperti BUMN yang bertanggungjawab kepada Menteri,” ujarnya dalam demonstrasi menolak revisi UU BPJS dalam RUU Kesehatan di depan gedung MPR/DPR, beberapa waktu lalu.

Dia mengingatkan, pengelolaan dana pekerja di BPJS Ketenagakerjaan saat ini Rp.630 Triliun dan aset bersih dana JKN di BPJS Kesehatan mencapai Rp.54,7 Triliun, serta pendapatan iuran JKN mencapai Rp.143 Triliun. Jika revisi UU 24/2011 melalui RUU Kesehatan itu dilakukan, berbagai dana yang dikelola BPJS itu rawan digunakan untuk kepentingan lain di luar program jaminan sosial.

“Kasus kegagalan investasi yang dialami BUMN asuransi seperti Jiwasraya dan PT Asabri harusnya menjadi acuan Pemerintah dan DPR untuk tetap memposisikan Direksi dan Dewas BPJS memiliki kewenangan penuh dan independen,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait