Sejumlah Aturan Tak Akomodir Kepentingan Nelayan
Berita

Sejumlah Aturan Tak Akomodir Kepentingan Nelayan

KIARA tengah menjaring masukan untuk melakukan judicial review atas perubahan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP (Ilustrasi)
Foto: SGP (Ilustrasi)
Sebanyak tujuh Peraturan Kelautan Perikanan (PKP) yang dihasilkan pemerintah dan DPR dipandang tidak berpihak bagi hajat hidup masyarakat nelayan. Semestinya, aturan tersebut dapat mengakomodir kepentingan dan kemajuan bagi masyarakat nelayan. Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Abdul Halim, di Jakarta, Selasa (7/14).

Pusat data dan informasi KIARA mencatat, hingga periode Desember 2013, ada tujuh peraturan yang tidak berpihak pada nelayan. Menurut Halim, ketujuh peraturan perundangan tersebut berpihak kepada kepentingan asing dan diskriminatif. Bahkan, ia menilai ketujuh aturan itu berpotensi menyebabkan dikriminalisasinya nelayan.

Ketujuh peraturan itu adalah; Pertama, UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan sebagaimana telah diperbaharui UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan. Kedua, Perubahan atas UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Halim mengatakan, perubahan atas UU No.27 Tahun 2007 terlihat ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat nelayan. Contohnya, Pasal 26 A. Menurutnya, pasal ituakan mempermudah penguasaan oleh pihak asing atas pulau-pulau kecil. Contohnya, menimbulkan adanya ancaman penggusuran terhadap masyarakat pesisir dan mengancam keberlanjutan sumber daya pesisir dan pulau kecil.

Pasal itu mengatur pemanfaatan  pulau kecil dan perairan di sekitarnya melalui skema investasi penanaman modal dengan dasar izin menteri. Padahal, pemanfaatan pulau kecil mengutamakan kepentingan nasional. “Sayangnya, dalam regulasi itu tidak dijelaskan definisi frasa ‘mengutamakan kepentingan nasional,” ujar Halim.

Ketiga, Peraturan Presiden No.122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Menurutnya, regulasi tersebut justru tidak melindungi masyarakat adat nelayan di pulau-pulau kecil. Pasalnya, bukan tidak mungkin pulau-pulau kecil dapat direklamasi menjadi wisata bahari dengan legitimasi PP No.122 Tahun 2012.

“Menimbulkan ancaman penggusuran terhadap masyarakat pesisir, dan mengancam keberlanjutan sumber daya pesisir di pulau-pulau kecil,” imbuhnya.

Keempat, Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No. PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Permen tersebut direvisi dengan Permen Kelautan dan Perikanan No.26/PERMEN-KP/2013. Menuru Halim, Permen itu justru berpihak pada kepentingan asing.

Halim mengatakan, Permen No.26/PERMEN-KP/2013 tidak menyelesaikan persoalan pencurian ikan di Indonesia. Bahkan, kata Halim, berpotensi  melanggar Pasal 25 B UU. No.45 Tahun 2009 tentang Perikanan. “Pasal ini (25 B) merupakan kebijakan penting mengenai dommestic obligation untuk memperioritaskan konsumsi protein bagi setiap warga negara Indonesia,” ujarnya.

Kelima, Permen Kelautan dan Perikanan No.18/PERMEN-KP/2013 tentang Perubahan Ketiga Atas Permen Kelautan dan perikanan tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Keenam, Permen Kelautan dan Perikanan No.17/PERMEN-KP/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dan ketujuh, Permen No.10/PERMEN-KP/2013 tentang Sistem Pemantauan Kapal Ikan. “Dibidang kebijakan juga mengkebiri,” ujarnya.

Halim menuturkan, KIARA sedang menjaring masukan dari berbagai kalangan akademisi dan masyarakat nelayan terkait revisi UU No.27 Tahun 2007 yang telah disahkan menjadi UU. Langkah itu dilakukan agar upaya pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dimentahkan.

“Kami sedang mengumpulkan fakta dan meminta masukand ari pakar hukum. Supaya niat kami nanti tidak ditolak di MK,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Oseanografi dan Teknologi Kelautan, Alan Frendy Koropitan, sependapat dengan Halim. Menurutnya, regulasi yang ada tidak memihak kepada kepentingan masyarakat nelayan. Contohnya, masyarakat nelayan sulit mendapat kredit kepemilikan kapal. Ia memprediksi di tahun politik, justru akan memperparah kemiskinan dan ketertinggalan nelayan dan masyarakat pesisir. Padahal jika merujuk pada konstitusi, negara wajib melindungi kepentingan nasional.

“Keberpihakan ideologi kita jelas kepada perlindungan negara dan berkedaulatan rakyat,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait