Serikat Buruh Bakal Gugat Perpres Penggunaan TKA
Berita

Serikat Buruh Bakal Gugat Perpres Penggunaan TKA

​​​​​​​Karena Peraturan Presiden No.20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) dianggap bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Demo buruh pada Mayday 2016. Foto: RES
Demo buruh pada Mayday 2016. Foto: RES

Setelah mengkritik keras Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja asing (TKA), kalangan serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berencana menggugat beleid itu ke Mahkamah Agung (MA). Deputi Presiden KSPI, Muhammad Rusdi, mengatakan gugatan itu dilayangkan karena Perpres Penggunaan TKA bertentangan dengan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

 

Misalnya, Perpres Penggunaan TKA hanya mewajibkan pemberi kerja untuk mengantongi pengesahan Rencana Penggunaan TKA (RPTKA) yang sekaligus merupakan izin untuk mempekerjakan TKA. Padahal UU Ketenagakerjaan mewajibkan selain RPTKA yakni Izin Mempekerjakan TKA (IMTA). “Rencananya akhir pekan ini kami akan mendaftarkan gugatan uji materi ke Mahkamah Agung,” kata Rusdi di Jakarta, Selasa (24/4).

 

Rusdi mengatakan, Perpres Penggunaan TKA tidak tepat karena tenaga kerja di Indonesia banyak yang membutuhkan lapangan pekerjaan. Regulasi itu dikhawatirkan bakal membuka pintu lebar bagi TKA untuk masuk ke Indonesia. Apalagi Perpres itu nanti akan ditindaklanjuti pemerintah dengan menerbitkan sejumlah peraturan teknis yang ditengarai bakal memudahkan prosedur penggunaan TKA.

 

Gelagat itu menurut Rusdi sudah terlihat dari Permenaker No.35 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Permenaker No.16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA. Dalam ketentuan itu pemerintah menghilangkan ketentuan yang mewajibkan TKA berbahasa Indonesia dan rasio 1:10 yakni setiap mempekerjakan 1 TKA perusahaan harus merekrut minimal 10 tenaga kerja lokal.

 

Terpisah, Sekjen OPSI, Timboel Siregar, menilai Perpres Penggunaan TKA mengandung cacat formil dan materil. Secara formil, proses pembuatan Perpres itu disinyalir tidak melibatkan pemangku kepentingan di bidang ketenagakerjaan seperti kalangan serikat buruh dan asosiasi pengusaha. Padahal hal tersebut telah diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. “Penyusunan Perpres Penggunaan TKA ini terkesan buru-buru,” ujarnya.

 

Secara materil, Timboel mencatat sejumlah ketentuan Perpres Penggunaan TKA yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan. Seperti Pasal 9 Perpres, menyatakan RPTKA merupakan izin untuk mempekerjakan TKA. Ini berarti badan usaha yang ingin menggunakan TKA tidak wajib lagi mengurus izin, padahal penjelasan Pasal 43 UU Ketenagakerjaan mengatur RPTKA merupakan syarat untuk mendapat izin kerja.

 

Kemudian Pasal 10 ayat (1a) Perpres menyebut pemegang saham yang menjabat sebagai direksi atau komisaris tidak wajib mengantongi RPTKA. Pada pasal 41 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mewajibkan TKA termasuk komisaris dan direksi untuk memiliki izin. Pasal 43 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mewajibkan TKA mempunyai RPTKA. “Yang tidak diwajibkan untuk komisaris dan direksi sebagaimana Pasal 45 UU Ketenagakerjaan yakni dalam menunjuk tenaga kerja lokal sebagai pendamping dan pelatihan pendidikan,” katanya.

 

Ada juga ketentuan Perpres yang mengecualikan RPTKA bagi pemberi kerja yakni yang merekrut TKA untuk jenis pekerjaannya yang dibutuhkan pemerintah. Hal itu diatur dalam Pasal 10 ayat (1c) Perpres. Padahal Pasal 43 ayat (3) UU Ketenagakerjaan hanya memberi pengecualian bagi instansi pemerintah, badan internasional, dan perwakilan negara asing. “Saya menduga kuat hadirnya Pasal 10 ayat (1c) ini dikhususkan untuk TKA yang terlibat dalam pengerjaan infrastruktur yang dibiayai dari pinjaman luar negeri,” tukasnya.

 

Sekalipun pemerintah berdalih Perpres Penggunaan TKA ini akan mempermudah masuknya investasi, Timboel menilai hal tersebut belum tentu akan menarik investasi secara signifikan. Masuknya investasi dari luar negeri sangat ditentukan banyak faktor seperti infrastruktur, pajak, dan korupsi.

 

Baca:

 

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri, mengatakan tidak jadi masalah jika Perpres Penggunaan TKA akan digugat karena itu hak setiap warga negara termasuk kalangan serikat buruh. “Kalau mau menggugat, itu hak sebagai warga negara dan tidak bisa dihalangi,” ucapnya.

 

Hanif menekankan kepada semua pihak untuk tidak khawatir terhadap Perpres Penggunaan TKA. Mayoritas lapangan pekerjaan yang diciptakan investasi ditujukan untuk tenaga kerja lokal. Penciptaan lapangan kerja itu bisa dilakukan dengan cara memperbaiki iklim bisnis investasi. Perpres hadir untuk memastikan penggunaan TKA bisa dilakukan dengan cepat dan efisien. Pemerintah tidak mengurangi syarat kualitatif terhadap TKA yang ingin masuk ke Indonesia. TKA yang masuk ke Indonesia harus berkterampilan tinggi dan hanya boleh menempati jenis pekerjaan tertentu dalam waktu yang terbatas.

 

Jika ditemukan ada TKA yang melanggar ketentuan, Hanif mengimbau kepada masyarakat untuk melapor ke dinas ketenagakerjaan setempat. Setiap TKA yang terbukti melakukan pelanggaran akan ditindak, misalnya dipulangkan ke negaranya. “Pemerintah mengendalikan TKA melalui persyaratan, pengawasan dan penegakan hukum. TKA untuk jenis pekerjaan kasar tetap kita larang, kalau kami menemukan pelanggaran pasti ditindak,” tegasnya.

 

Perpres Penggunaan TKA menurut Hanif hanya mempermudah proses penggunaan TKA. Misalnya, selama ini TKA untuk beberapa jenis jabatan harus mengantongi rekomendasi dari Kementerian atau Lembaga terkait. Seperti TKA yang bekerja di sektor pertambangan dan minyak, harus mengantongi rekomendasi dari Kementerian ESDM. Biasanya Kementerian atau Lembaga yang bersangkutan butuh waktu yang cukup untuk menerbitkan rekomendasi itu. Lewat Perpres, rekomendasi itu sekarang tidak diperlukan lagi.

 

Kementerian dan Lembaga yang terkait masih bisa mengendalikan masuknya TKA dengan cara mengusulkan jenis pekerjaan apa saja yang boleh dan tidak untuk diampu TKA. Kemudian Kementerian Ketenagakerjaan akan menerbitkan peraturan teknis. “Usulan itu nanti ditindaklanjuti dengan menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan,” papar Hanif.

 

Melansir data Kementerian Ketenagakerjaan Hanif menyebut jumlah TKA di Indonesia sampai akhir 2017 mencapai 85 ribu orang. Tahun 2016 sebesar 80 ribu dan tahun 2015 77 ribu orang. Dalam beberapa tahun terakhir trennya mengalami kenaikan tapi masih dalam jumlah yang wajar. Jumlah TKA di Indonesia lebih kecil daripada buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri, BPS dan Bank Dunia mencatat jumlahnya sekitar 9 juta orang, kebanyakan bekerja di Malaysia (55 persen) dan Arab Saudi (13 persen).

 

“Jumlah TKI kita di China jumlahnya mencapai ratusan ribu orang, sementara TKA asal China yang bekerja di Indonesia hanya 24 ribu orang,” urai Hanif.

 

Hanif menegaskan pemerintah terus menggenjot penciptaan lapangan kerja. Sebagaimana nawacita, pemerintah menargetkan periode 2014-2019 lapangan kerja baru yang tersedia mencapai 10 juta. Berarti setiap tahun pemerintah menargetkan lapangan kerja baru yang tersedia sebanyak 2 juta. Untungnya, setiap tahun pemerintah selalu melebihi target tersebut, tercatat lapangan kerja yang tercipta pada 2014 sebanyak 2,6 juta, tahun 2015 naik 2,8 juta, tahun 2016 hanya 2,4 juta dan 2017 menjadi 2,6 juta.

Tags:

Berita Terkait