Siapkah Indonesia Menampung IPO Perusahaan Unicorn dan Decacorn?
Kolom

Siapkah Indonesia Menampung IPO Perusahaan Unicorn dan Decacorn?

Agar tidak mengulang 'kesalahan' yang dibuat oleh HKEX dalam kaitan dengan IPO Alibaba, IDX (dan OJK) perlu bergerak cepat untuk memfasilitasi IPO dan listing perusahaan-perusahaan Unicorn dan Decacorn Indonesia, termasuk dengan mengakomodasi dan memperbolehkan Struktur DCS.

Bacaan 2 Menit
Sugianto Osman. Foto: Istimewa
Sugianto Osman. Foto: Istimewa

Artikel kolom di Hukumonline yang ditulis oleh Bang Ahmad Fikri Assegaf berjudul “Kenapa Start Up Indonesia Beramai-ramai Pindah ke Singapura?” (tanggal 30 April 2020) mengangkat fenomena tentang banyak perusahaan perintis (start-up) Indonesia yang memutuskan untuk membuat induk perusahaan di luar negeri, khususnya Singapura.

Dari pengalaman menangani transaksi pendanaan bagi sejumlah perusahaan start-up Indonesia (baik mendampingi perusahaan start-up maupun mendampingi investor), Penulis menemui fenomena yang sama. Di dalam artikelnya, bang Fikri memberikan dua alasan utama di balik fenomena ini, yaitu sulitnya melakukan enforcement atau pelaksanaan perjanjian di Indonesia; dan Singapura memberikan akses pada modal yang jauh lebih mudah.

Kembali Penulis sependapat dengan Bang Fikri dalam kedua hal ini. Bisa Penulis tambahkan juga bahwa pada saat tahapan investasi awal (early round investment), posisi tawar pendiri (founder) biasanya relatif lemah karena pada saat itu bisnis model perusahaan start up belum sepenuhnya teruji dan para founder perlu mendapatkan pendanaan dalam waktu tidak terlalu lama untuk menjaga kelangsungan perusahaan. 

Masalah Kronik Kepastian Hukum

Masalah kesulitan enforcement atau, secara lebih luas, masalah kepastian hukum, adalah masalah kronik negeri ini dan dialami bukan saja dalam hukum korporasi, namun juga dalam ranah hukum perdata secara luas dan pidana. Tentunya hal ini perlu mendapat perhatian serius dari Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), termasuk para advokat.

Namun, menurut hemat Penulis, alasan kedua-lah (yang akan dielaborasi di bawah) yang menjadi penyebab utama mengapa para investor meminta founder mendirikan perusahaan induk di Singapura. Hal ini tidak berarti bahwa Penulis tidak setuju dengan pandangan yang mengatakan bahwa enforcement suatu perjanjian sulit dilakukan di Indonesia. Tetapi, masalah kesulitan enforcement perjanjian di Indonesia sudah menjadi suatu country risk yang diterima dan masuk ke dalam kalkulasi risiko investasi bagi setiap investor asing yang memutuskan melakukan investasi di Indonesia.

Meskipun investasi dilakukan melalui (atau ke dalam) suatu perusahaan induk di Singapura, pada akhirnya dana investor tersebut akan ditanamkan di Indonesia dan operasional usaha dilakukan di Indonesia oleh suatu perusahaan (Penanaman Modal Asing - PMA) Indonesia. Jadi, risiko kesulitan enfocement perjanjian di Indonesia tidak bisa dikesampingkan (sepenuhnya) oleh investor dengan (mengharuskan founder) mendirikan perusahaan induk di Singapura.

Keunggulan Singapura

Adapun keunggulan Singapura dalam hal “kemudahan akses pada modal” di alasan ke-2 bagi saya adalah representasi dan akumulasi dari sejumlah hal yang lebih baik pada Limited Liability Company (LLC) Singapura dibandingkan dengan pada Perseroan Terbatas (PT) Indonesia. Hal-hal tersebut bukan melulu hanya pada infrastruktur hukum (dalam artian ketentuan di dalam undang-undang perseroan terbatas masing-masing negara), namun juga infrastruktur fisik dan non-fisik penunjang. Selain faktor kepastian hukum (alasan pertama di atas), hal-hal seperti kemudahan pendirian suatu perusahaan serta transparansi informasi perusahaan di Singapura membuat investor merasa lebih nyaman.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait