Soal Uang Pengganti Jadi Alasan KPK Banding Perkara Markus Nari
Berita

Soal Uang Pengganti Jadi Alasan KPK Banding Perkara Markus Nari

KPK meyakini Markus menerima AS$900 ribu, bukan AS$400 ribu seperti putusan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Markus Nari (baju putih) saat menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES
Markus Nari (baju putih) saat menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan banding atas vonis yang diterima Markus Nari, terdakwa kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik. Banding yang diajukan lembaga antirasuah ini bukan terkait dengan lamanya hukuman, melainkan uang pengganti yang dikenakan kepada Markus. 

 

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memutus uang pengganti yang harus dibayarkan Markus sebesar AS$400 ribu. Uang tersebut diterima dari pengusaha Andi Narogong di daerah Senayan, Jakarta. 

 

Padahal penuntut umum dalam surat tuntutannya meminta majelis menghukum Markus dengan membayar uang pengganti sebesar AS$900 ribu. Sisa dari uang tersebut yaitu AS$500 ribu inilah yang akan terus dikejar penuntut sehingga memutuskan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. 

 

"Pada prinsipnya, pertimbangan banding dilakukan agar uang hasil korupsi dapat kembali ke masyarakat secara maksimal melalui mekanisme uang pengganti," kata Febri kepada wartawan. 

 

Febri berpendapat, penuntut umum meyakini Markus telah menerima uang AS$500 ribu yang juga dari Andi Narogong melalui Irvanto Hendra Pambudi (keduanya juga telah divonis bersalah dalam perkara ini) di ruang Fraksi Partai Golkar. Oleh karena itu, seharusnya uang pengganti yang dikenakan pada Markus sebesar AS$900 ribu atau sekitar Rp12 miliar. 

 

"Selain itu, KPK tentu juga berharap penanganan kasus korupsi KTP Elektronik ini dapat membongkar secara maksimal bagaimana persekongkolan aktor politik dan birokrasi dalam 'mengkondisikan' sejak awal proyek triliunan rupiah tersebut sejak tahap penyusunan anggaran, perencanaan proyek hingga implementasi. Apalagi KTP elektronik adalah sesuatu yang sangat vital bagi administrasi kependudukan dan merupakan kepentingan seluruh masyarakat Indonesia," pungkasnya. 

 

Baca:

 

Diketahui, Markus Nari, divonis enam tahun penjara karena terbukti memperoleh AS$400 ribu dari proyek KTP elektronik dan menghalang-halangi pemeriksaan perkara KTP elektronik di persidangan. Selain itu ia juga dikenakan denda sebesar Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan. 

 

Markus juga dihukum dengan dua pidana tambahan, pertama pencabutan hak politik selama lima tahun setelah ia selesai menjalani pemidanaan. Selain itu ia juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai AS$400 ribu, yang kemudian hal ini menjadi alasan banding KPK.

 

Namun majelis hakim tidak sependapat dengan JPU KPK yang menyatakan bahwa Markus Nari juga menerima uang AS$500 ribu dari Irvanto yang tak lain merupakan keponakan Setya Novanto di ruang Fraksi Partai Golkar. Uang tersebut merupakan bagian AS$1 juta yang diperintahkan Andi Narogong agar Irvanto menyerahkan kepada Nari selaku anggota Komisi II DPR merangkap anggota Banggar dan Melchias Markus Mekeng selaku ketua Banggar yang juga politikus Partai Golkar.

 

Putusan majelis hakim ini lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Markus divonis 9 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar AS$900 ribu. Vonis itu dibacakan ketua majelis hakim Franky Tumbuwun dan Emilia Djadjasubagdja, Rosmina, Anwar, dan Sukartono yang masing-masing sebagai anggota majelis.

 

Selain menerima uang, Markus juga terbukti merintangi proses penyidikan. Markus meminta pengacaranya, Anton Tofik, untuk memantau sidang pembacaan dakwaan perkara Irman dan Sugiharto pada 9 Maret 2018 guna memastikan kebenaran bahwa namanya disebut dalam dakwaan.

 

Pada 12 Maret 2017, ia juga meminta Anton Tofik mencarikan salinan BAP Miryam S Haryani dalam perkara Irman dan Sugiharto yang menyebut secara spesifik namanya dalam penerimaan imbalan. Kemudian pada 17 Maret 2017 meminta Anton Tofik untuk mengantar salinan BAP Miryam yang telah distabilo dan ditandai dicabut kepada Miryam S Haryani di kantor Elza Syarif dengan imbalan Sing$10 ribu dan AS$10 ribu.

 

Selain itu Markus juga berpaya agar Sugiharto tidak menyebutkan namanya dengan cara mengirim pesan melalui Robinson yang memiliki klien bernama Amran Hi Mustari, teman satu sel Sugiharto di Rutan Guntur. Majelis hakim menilai rangkaian perbuatan ini terbukti Markus merintangi peradilan dengan mencoba memengaruhi dua orang dalam persidangan kasus e-KTP. Kedua orang itu ialah eks anggota Komisi II DPR, Miryam S. Haryani, yang saat itu masih saksi dan eks Direktur Dukcapil Kemendagri, Sugiharto.

 

Hal yang memberatkan putusan tersebut yakni Markus dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi, tidak mengakui perbuatannya, dan korupsi merupakan kejahatan luar biasa. Sedangkan hal yang meringankan Markus bersikap sopan di persidangan dan belum pernah dihukum. 

 

Sebelumnya KPK juga telah memproses sejumlah pihak lain dalam perkara ini. Mereka adalah Irman selaku Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto, Andi Agustinus alias Andi Narogong selaku swasta, Anang Sugiana Sudihardjo selaku eks Direktur utama PT Quadra Solutions, Setya Novanto selaku mantan Ketua DPR, Irvanto Hendra Pambudi selaku mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera, dan Made Oka Masagung selaku pihak swasta yang dekat dengan Setya Novanto.

Tags:

Berita Terkait