Tiga Catatan Penting Soal Target Prolegnas 2020
Berita

Tiga Catatan Penting Soal Target Prolegnas 2020

PSHK menilai penetapan 54 RUU Prolegnas 2020 ini masih terlalu banyak dan tidak realistis untuk diselesaikan dalam kurun waktu satu tahun ini. Tapi, apapun mekanisme yang dipilih DPR dan Pemerintah, proses pembahasan RUU harus selalu mengedepankan prinsip keterbukaan dan partisipasi publik.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

“Dari sisi prosedural justru dapat menimbulkan kerugian terutama dalam hal substansi, seperti minimnya pelibatan masyarakat dalam proses pembahasan atau potensi penghapusan peraturan yang selama ini sudah melindungi prinsip-prinsip hak asasi manusia, kelestarian lingkungan hidup, serta tata kelola pemerintahan yang baik,” sebutnya.

 

Belum lagi, tiga dari empat RUU carry over yaitu RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Minerba sebelumnya mendapat penolakan keras dari publik yang diwarnai demontrasi besar-besaran pada September 2019 lalu. Ditambah, satu RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS). Selain substansinya dianggap berpotensi melanggar hak privasi dan kebebasan berekspresi, pembahasan RUU KKS juga dinilai sejumlah kelompok masyarakat sipil tidak cukup transparan karena minim pelibatan pemangku kepentingan.

 

Karena itu, PSHK mendorong beberapa hal. Pertama, DPR dan Pemerintah harus menjadikan Prolegnas 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas 2020 tak hanya kumpulan judul RUU, tetapi rujukan perencanaan serta politik legislasi DPR dan Pemerintah selama satu periode. DPR dan Pemerintah harus senantiasa memperbaiki mekanisme penyusunan prolegnas agar target capaian dibuat lebih realistis sesuai kebutuhan aktual masyarakat.

 

“DPR harus membuka kepada publik RUU mana saja yang menjadi prioritas utama untuk dibahas dan diselesaikan oleh setiap Komisi.”

 

Kedua, DPR dan Pemerintah harus meninggalkan paradigma bahwa RUU adalah solusi setiap persoalan. Paradigma itu selama ini telah mengakibatkan jumlah UU terus bertambah dan semakin banyak, potensi pengaturan saling tumpang tindih akan semakin meningkat (hiper regulasi). DPR dan Pemerintah harus membenahi sistem pembentukan undang-undang, salah satunya dengan membuat batasan yang jelas mengenai materi muatan UU.

 

“Ini hanya dapat dilakukan melalui proses perubahan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara komprehensif, meskipun telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019,” lanjutnya.

 

Ketiga, DPR dan Pemerintah harus meninggalkan anggapan omnibus law dapat menyelesaikan persoalan regulasi dalam berbagai bidang. Padahal, bentuk dan mekanisme pembentukan omnibus law sesungguhnya tidak memiliki perbedaan substansial dengan UU pada umumnya. “Tapi, apapun mekanisme yang dipilih DPR dan Pemerintah, proses pembahasan RUU harus selalu mengedepankan prinsip keterbukaan dan partisipasi publik,” pintanya.

Tags:

Berita Terkait