Tiga Masalah Ketatanegaraan Jika GBHN Dihidupkan
Berita

Tiga Masalah Ketatanegaraan Jika GBHN Dihidupkan

Berdampak kepada sistem pemerintahan, hubungan antar lembaga negara, hingga tugas dan fungsi dari lembaga negara akan ikut berubah secara signifikan.

NNP
Bacaan 2 Menit
Kelompok Pengkaji Perubahan Konstitusi (KP2K) tolak dihidupkannya kembali GBHN. Foto: NNP
Kelompok Pengkaji Perubahan Konstitusi (KP2K) tolak dihidupkannya kembali GBHN. Foto: NNP
Gagasan berlakunya kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) ditolak sejumlah kalangan yang mengatasnamakan dirinya Kelompok Pengkaji Perubahan Konstitusi (KP2K). Alasannya, karena hal itu akan berdampak pada implikasi serius dan luas terhadap ketatanegaran Indonesia.

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, ada tiga masalah ketatanegaraan jika GBHN kembali diberlakukan dalam konstitusi. Ketiganya adalah sistem pemerintahan, hubungan antar lembaga negara, hingga tugas dan fungsi dari lembaga negara akan ikut berubah secara signifikan.

“Sebenarnya akan tercipta peralihan konsep kedaulatan. Presiden dan seluruh lembaga negara akan menjadikan GBHN sebagai haluan. Artinya itu kembali ke cita rasa masa lalu bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan akan dijalankan oleh MPR via GBHN,” jelas Feri di Jakarta, Selasa (19/1).

Ia berpandangan ketika GBHN dihidupkan kembali, maka sistem demokrasi yang berlangsung saat ini lambat laun akan hilang. Alasannya, dengan dalih diatur melalui GBHN, MPR dinilai punya potensi untuk mengganti sistem pemilihan presiden (Pilres) dari sistem pemilihan langsung kembali ke sistem penunjukan oleh MPR.

Hal itu, lanjut Feri, dapat mengganggu kedaulatan rakyat yang sejak masa reformasi telah melakukan Pilpres secara langsung. Ketika GBHN dihidupkan kembali, rakyat mau tidak mau dipimpin oleh orang-orang yang dipilih melalui kehendak politik. “Bukan tidak mungkin ya, karena GBHN itu bagian paling penting untuk merekayasa politik,” sebutnya.

Selain itu, kekhawatiran lain yang mungkin muncul adalah terbukanya ruang transaksi politik baru di lembaga legislatif. Pasalnya, GHBN akan memberi kewenangan milik DPR kepada MPR. Padahal, anggota MPR berisi separuh anggota DPR dan DPD. Bisa saja, kata Feri, ketika ada lembaga negara yang tidak menjalankan GBHN, MPR akan menggunakan wewenangnya untuk memanggil lembaga yang bersangkutan.

Hal itu, Feri menilai, bisa dimaknai sebagai ruang baru korupsi di lembaga legislatif dengan dalih kewenangan MPR yang berasal dari GBHN sebagai alat yang rawan sekali disalahgunakan. Karenanya, ia khawatir jika GBHN menjadi ‘jembatan’ bagi partai politik untuk kembali berkuasa sebagai oligarki di Indonesia.

“Jangan-jangan kekuatan yang diberikan kepada MPR melalui GBHN itu akan dimanfaatkan orang partai politik untuk membuka ruang transaksi baru,” kata pengajar hukum tata negara FH Univeristas Andalas ini.

Hal senada juga dilontarkan oleh Ketua Lembaga Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) Veri Junaidi. Wacana menghidupkan kembali GBHN dinilai sebagai langkah mundur dari penyelenggaraan sistem demokrasi di Indonesia. Menurutnya, ketika GBHN dihidupkan kembali, maka ada satu proses kedaulatan rakyat yang justru dihilangkan oleh negara. “Kalau GBHN ditarik lagi maka akan hilangkan partisipasi demokrasi yang sudah berjalan,” katanya.

Menurut Veri, ketentuan yang saat ini berlaku dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dinilai sudah cukup mengakomodir kepentingan dua pihak, yakni negara dan partisipasi publik.

Dalam aturan itu, sudah diatur mengenai Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengan (RPJM), hingga rencana tahunan kementerian/lembaga dan satuan kerja perangkat daerah. “GBHN muncul lagi, tentu proses partisipasi akan hilang,” tandasnya.

Dosen Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Hifdzil Alim berpandangan bahwa wacana dihidupkannya kembali GBHN merupakan kesalahan fatal. Hal itu dikarenakan selain merancang GBHN, DPR juga lah yang mengawasi pelaksaan GBHN tersebut. “Adalah kesalahan fatal menempatkan dua fungsi utama di satu lembaga. Itu kesalahan fatal ketatanegaraan, itu menjadikan leviathan, menjadikan monster kekuasaan,” katanya.

Lebih lanjut, wacana ini juga akan berimplikasi serius pada sistem presidensial dimana pertanggungjawaban presiden tidak lagi di tangan rakyat melainkan di tangan MPR. Selain itu, hubungan lembaga independen negara akan terganggu kebebasannya karena pertanggungjawabannya nanti bukan lagi kepada presiden, melainkan kepada MPR.

Bukan hanya itu, lanjut Hidzil, nantinya sistem ketatanegaraan Indonesia akan kehilangan arah. Alasannya karena masalah GBHN ini adalah masalah serius yang implikasinya mau tidak mau harus mengubah sistem ketatanegaraan.  “Kekuasaan presidensial nanti menjadi masalah, kekusaan kehakiman yang independen nanti juga menjadi masalah, kan harus tanggun jawab ke MPR, jadi tidak independen lagi. Jadi hilang arah nanti. Ini persoalan serius tapi dianggap sebagai biasa-biasa saja,” tandasnya.

Untuk diketahui, wacana menghidupkan kembali GBHN melalui UUD 1945 menguat pasca Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) beberapa waktu lalu. Salah satu kesepakatan dalam Rakernas itu, dinyatakan secara tegas bahwa Indonesia telah kehilangan arah pembangunan sehingga diperlukan kembali adanya GBHN.

‘Pintu Masuk’ Amandemen
Ada dugaan lain yang muncul dari wacana menghidupkan kembali GBHN. Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil berasumsi bahwa wacana menghidupkan kembali GBHN sebagai ‘pintu masuk’ untuk amandemen UUD 1945. Pandangan yang sama dengan Fadli juga turut diamini oleh Veri.

Mereka berdua melihat kecenderungan kalau GBHN menjadi awal mula bagi MPR untuk melakukan amandeman kelima. Bagi Fadli, amandemen UUD 1945 dalam waktu dekat belum menemui urgensi. Pasalnya, produktivisitas parlemen belakangan ini cukup memprihatikan. Sehingga dari sisi waktu, ia menilai, belum tepat untuk mengamandemen konstitusi.

“Fragmentasi politik masih tajam kalau berbicara soal amandemen UUD 1945,” kata Fadli.   

Lagi pula, jika memang ingin dilaksanakan amandeman UUD 1945, maka perlu dipikirkan kembali materi apa yang akan diubah. Dikatakan Veri, parlemen perlu memberikan dasar argumentasi akademis yang kuat dan rasional sebelum mengamandemen UUD 1945. “Ini menjadi ruang awal proses amandemen UUD 1945 yang tidak dibutuhkan pada saat ini,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait