Tiga Puluh Tahun KUHAP
Berita

Tiga Puluh Tahun KUHAP

Tepat pada 31 Desember 2011, KUHAP memasuki usia 30 tahun. Upaya memperbaiki ‘karya agung’ bangsa Indonesia itu masih terkendala.

Mys
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP

Menjelang tahun 2011 berakhir, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) punya perhelatan penting. Digelar di sebuah hotel di Cikarang, Bekasi, konsinyering itu berusaha mendapatkan masukan dari para pemangku kepentingan. LPSK ingin melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindingan saksi dan korban.

 

Bagaimana teknis perlindungan saksi dan korban hanya satu dari sekian banyak masalah hukum acara pidana yang muncul ke permukaan. Hukum formil perlindungan saksi dan korban memang telah mengalami perkembangan sejak UU No 13 Tahun 2006 disahkan –dan menjadi payung hukum LPSK. Perkembangan terus terjadi bahkan untuk hal-hal yang lebih sederhana. Definisi saksi dalam KUHAP, misalnya, telah mengalami perubahan penting akibat putusan Mahkamah Konstitusi. Perkembangan juga terjadi dalam bentuk perlindungan terhadap polisi, jaksa, dan hakim yang mengadili perkara tindak pidana terorisme.

 

Perkembangan hukum pidana formil tampaknya sulit dibendung. Satu per satu aturan KUHAP diperbaiki oleh peraturan lain atau putusan hakim. Tak ubahnya seperti kebijakan tambal sulam. Ada peraturan yang secara hierarkhis berada di bawah UU No 8 Tahun 1981 (KUHAP). Misalnya, PP No 58 Tahun 2010 yang menambal kekurangan aturan KUHAP mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

 

Upaya membangun Sistim Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System) yang diusung KUHAP ternyata masih mengandung kelemahan. Dalam sistim yang terintegrasi, seharusnya posisi petugas lembaga pemasyarakatan juga penting dan setara dengan profesi lain. Bedanya, petugas pemasyarakatan bekerja pasca proses ajudikasi. “KUHAP belum mengatur banyak mengenai pemasyarakatan,” kata ahli hukum pidana Mudzakkir, dalam seminar “Penguatan Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu Melalui Revisi KUHAP” di Kementerian Hukum dan HAM, Mei 2011 lalu.

 

Angger Jati Wijaya, Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), mengatakan perubahan KUHAP kini merupakan suatu keniscayaan. Medio Desember lalu, PBHI mengundang para pemangku kepentingan untuk mendorong perubahan itu. PBHI menekankan agar perubahan KUHAP ke depan lebih memerhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sejumlah hasil riset dan fakta menunjukkan aparat penegak hukum, terutama polisi, masih sering melanggar hak asasi manusia ketika melakukan tugasnya.

 

Tuduhan pelanggaran KUHAP bukan hanya ditujukan kepada polisi dan jaksa. Pada 15 Desember lalu, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia melaporkan sejumlah pelanggaran KUHAP yang dilakukan hakim ke Komisi Yudisial. Komisioner Komisi Yudisial, Abbas Said, mengapresiasi laporan MaPPI, dan berjanji menjadikan hasil pemantauan tersebut untuk menindak hakim-hakim bermasalah.

 

Lilik Mulyadi, seorang hakim, menulis dalam bukunya “Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia” (2010), sebenarnya KUHAP dirasakan memberikan dimensi perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum. Toh, tidak dapat dipungkiri adanya pengabaian aparat terhadap hak-hak tersangka, terdakwa, atau saksi.

Tags:

Berita Terkait