​​​​​​​Tim Gabungan yang Akhirnya Dibubarkan
Senjakala Lembaga Antikorupsi di Indonesia

​​​​​​​Tim Gabungan yang Akhirnya Dibubarkan

Menggantikan Soeharto, Presiden Habibie berhasil memperbaiki regulasi pemberantasan korupsi. Adapun Presiden Soeharto, tak pernah duduk di kursi pesakitan.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Sesuai Pasal 12 UU tersebut, Komisi Pemeriksa menjalankan fungsi mencegah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dalam penyelenggaraan negara. Untuk melaksanakan fungsi itu Komisi Pemeriksa dapat bekerjasama dengan lembaga terkait. Hasil menjalankan fungsi ini dilaporkan kepada Presiden. Presiden Abdurrahman Wahid, pengganti Habibie, melanjutkan pembentukan KPKPN. Ia menunjuk politisi Partai Persatuan Pembangunan, Jusuf Syakir sebagai ketuanya.

 

(Baca juga: Yusuf Syakir: Izin Presiden Telah Dijadikan Alat Menghantam KPKPN)

 

Guna menjalankan tugas memeriksa kekayaan penyelenggaraan negara, KPKPN mengirimkan formulir laporan kekayaan. Dari 11.000 formulir yang dikirim ke eksekutif, hanya 45,08 persen (sekitar 5.049) yang dikembalikan. Legislatif justru lebih parah lagi, karena dari 12 ribu formulir yang disebar, hanya sekitar dua ribuan (15,48 persen) yang dikembalikan. KPKPN berhasil meyakinkan dan mendorong Presiden Megawati –pengganti Gus Dur—dan sejumlah pejabat tinggi melaporkan kekayaan. KPKPN juga mendapat dukungan dari media, meskipun tak diberikan dukungan staf yang memadai.

 

Salah satu yang mencuat di era KPKPN adalah publik mempertanyakan asal muasal kekayaan Jaksa Agung M.A Rachman (2001-2004). Publik mempertanyakan biaya rumah mewahnya di Cinere dan duit di rekeningnya yang diakuinya sebagai sumbangan dari ‘rekan-rekan’ pengusaha di Jawa Timur. Tindakan KPKPN yang agresif mempertanyakan sumber kekayaan pejabat negara lambat laun mengkhawatirkan eksekutif dan legislatif. Cara yang ditempuh adalah melebur KPKPN ke dalam Komisi Pemberantasan Korupsi. Rencana melebur Komisi Pemeriksa itu tertuang dalam RUU Komisi Pemberantasan Korupsi, yang kemudian menjadi UU No. 30 Tahun 2002 (UU KPK). Cara ini dicurigai sebagai persekongkolan pemerintah dan DPR untuk melemahkan KPKPN.

 

Upaya perlawanan KPKPN melalui Mahkamah Konstitusi juga gagal. Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi UU KPK yang diajukan KPKPN. Pemerintah dan DPR benar-benar mengesahkan UU KPK. Komisi ini resmi berdiri pada era kepemimpinan Presiden Megawati, meskipun gagasannya sudah muncul pada era Gus Dur.

 

Presiden Megawati berjasa memperbarui regulasi untuk memperluas kejahatan korupsi yang dapat ditindak, melalui UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Baca juga: Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi, KPKPN Harus Bubar)

 

TGPTPK

Presiden Gus Dur membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai respons atas aspirasi masyarakat. Saat itu, masyarakat sering mengangkat isu pemberantasan korupsi, terutama yang dilakukan presiden terdahulu dan kroninya. Salah seorang menteri era Soeharto, M. Hasan, sempat ditahan di Nusa Kambangan, atas tuduhan korupsi.

 

TGPTPK dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2000, tanggal 5 April 2000. Tim ini berada di bawah Jaksa Agung (saat itu dijabat Marzuki Darusman). Mantan Ketua Muda Mahkamah Agung, Adi Andojo Soetjipto didaulat memimpin Tim. Sesuai PP, TGPTPK bertugas mengkoordinasikan penyidikan dan penuntutan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya. Penyidikan dilakukan penyidik Polri, dan penuntutan dilakukan jaksa. Penyidik TGPTPK juga punya kewenangan lain.

Tags:

Berita Terkait