Urgensi Perubahan UU Advokat Demi Terciptanya Advokat yang Bermartabat
Kolom

Urgensi Perubahan UU Advokat Demi Terciptanya Advokat yang Bermartabat

Perubahan UU Advokat tersebut mulai dari bentuk organisasi, adanya Dewan Kehormatan Advokat Bersama Nasional, kewenangan Kementerian Hukum dan HAM menyelenggarakan UPA hingga pelaksanaan PKPA.

Bacaan 4 Menit
Hendarsam Marantoko. Foto: Istimewa
Hendarsam Marantoko. Foto: Istimewa

Berbicara tentang profesi advokat, profesi ini diberi gelar yaitu Officium Nobile (profesi yang mulia) menunjukkan bahwa profesi ini dinilai dapat menolong banyak orang tanpa membeda-bedakan suku, ras, agama, bangsa serta latar belakang politik. Advokat dinilai mampu untuk dapat memperjuangkan hak-hak bagi pencari keadilan. Seorang advokat yang dapat menjalankan profesinya harus didukung dengan kemampuan yang mumpuni di bidang hukum dan tentu memiliki integritas serta moral yang baik.

Pilar utama dalam mencetak calon advokat saat ini adalah organisasi advokat. Apabila organisasi advokat memiliki visi-misi cukup baik, memiliki personil atau tenaga pengajar yang mumpuni serta memiliki karakter penegak hukum yang kuat, maka akan dapat menghasilkan calon advokat yang cukup secara pemahaman dan karakter. Dalam praktiknya PERADI adalah organisasi advokat yang lahir pasca UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat disahkan. Akan tetapi PERADI tidak dapat menjadi organisasi yang mampu menaungi seluruh advokat di Indonesia lantaran adanya perpecahan kepengurusan hingga munculnya beragam organisasi advokat lainnya.

Penulis menilai apa yang terjadi dalam tubuh organisasi advokat hari ini adalah karena tidak ada kejelasan dalam UU Advokat terkait dengan bentuk organisasi advokat itu sendiri. Kalaulah frasa “Organisasi Advokat adalah wadah satu-satunya bagi para advokat” diartikan sebagai bentuk single bar, maka perubahan UU Advokat sangat diperlukan, mengingat bahwa bentuk single bar tak mungkin untuk dipertahankan lagi. Dikarenakan hal tersebut sangat mempengaruhi eksistensi dari para advokat itu sendiri.

Baca juga:

Apa yang terjadi pada tubuh organisasi advokat hari ini adalah akibat dari ketidaksesuaian konsep organisasi advokat di Indonesia yang menganut konsep single bar dengan keadaan dan keberagaman negara Indonesia yang menyebabkan banyaknya bermunculan organisasi-organisasi advokat (multi bar). Terjadinya perpecahan dalam tubuh organisasi advokat dan banyaknya organisasi advokat yang menyatakan dirinyalah merupakan satu-satunya amanat dari UU Advokat mengakibatkan kebingungan bagi para calon advokat untuk memilih organisasi mana yang benar-benar menjadi amanat UU.

Tidak hanya itu saja Penulis berpendapat bahwa perpecahan tersebut juga berpengaruh terhadap sikap dan perilaku para advokat yang sudah tidak tunduk kepada Kode Etik Advokat. Dikarenakan tingkat pengawasan yang dilakukan Dewan Kehormatan Advokat dalam tubuh organisasi advokat tidak berjalan secara maksimal. Juga dengan begitu banyaknya organisasi advokat mengakibatkan advokat yang telah dijatuhi sanksi dari Dewan Kehormatan Advokat di satu organisasi advokat dengan mudahnya dapat berpindah ke organisasi advokat lainnya.

Untuk itu Penulis menilai, agar dapat menjaga integritas dan dapat mengawasi perilaku advokat serta supaya dapat menegakkan Kode Etik Advokat, perlu dibentuk dan ditetapkannya dalam perubahan UU Advokat sebuah Dewan Kehormatan Bersama Advokat Nasional (DKBAN) yang bersifat tunggal, berkedudukan di Ibu Kota Negara dan memiliki perwakilan di wilayah pengadilan tinggi masing-masing provinsi di Indonesia yang berfungsi untuk menegakkan Kode Etik Advokat serta mengawasi seluruh advokat dari berbagai ke anggota organisasi advokat dalam hal tindakan dan perilakunya menjalankan profesi sebagai seorang advokat.

Jauh sebelum itu penyebab dari banyaknya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh oknum advokat adalah dikarenakan kurangnya rasa integritas dan pemahaman terhadap tugas dan fungsi serta kode etik dari seorang advokat dalam menjalankan profesinya. Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan oleh organisasi advokat hanya berfokus kepada bagaimana cara seorang calon advokat akan lulus dari Ujian Profesi Advokat (UPA). Bahan ajar yang diberikan kebanyakan hanya tentang kiat-kiat lulus dari UPA bukan mengajarkan bagaimana sikap integritas yang harus dimiliki oleh seseorang yang menyandang gelar Officium Nobile.

Penulis berpendapat sudah seharusnya konsep dan kurikulum yang diajarkan kepada peserta atau calon advokat harus menghadirkan materi-materi tentang integritas seorang advokat. Organisasi advokat harus bersinergi dengan para akademisi untuk membuat sebuah kurikulum PKPA yang tidak hanya mengajarkan tentang ilmu hukum akan tetapi juga memberikan pemahaman tentang integritas, marwah dan kode etik dari profesi advokat tersebut. Agar supaya calon advokat yang dinyatakan selesai mengikuti PKPA dapat memahami akan pentingnya integritas dari seseorang yang akan menjadi advokat.

Hal senada juga dapat dilihat dalam pelaksanaan UPA yang diselenggarakan oleh organisasi advokat. Pelaksanaan UPA selama ini cenderung hanya formalitas semata. Dengan terjadi perpecahan di tubuh organisasi advokat, mengakibatkan organisasi advokat dapat mempermudah kelulusan calon advokat agar supaya dapat menggalang anggota sebanyak-banyaknya.

Di sinilah penulis melihat bahwa organisasi advokat sudah tidak profesional lagi dalam melaksanakan UPA. Penulis menilai agar terciptanya selektivitas dalam proses penerimaan calon advokat, untuk pelaksanaan UPA harus dilaksanakan oleh pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM agar supaya pelaksanaan ujian tersebut dapat diawasi dengan sangat ketat dan soal-soal yang dibuat dapat mengkualifikasi para calon advokat yang benar-benar memiliki wawasan akademik hukum dan juga memiliki nilai-nilai integritas serta memahami Kode Etik Advokat. Selain itu, tujuan diberikannya pelaksanaan UPA kepada Kementerian Hukum dan HAM agar supaya setiap organisasi advokat dapat melaksanakan PKPA secara bersungguh-sungguh yang menghasilkan calon advokat yang memiliki kualitas yang mumpuni dan memiliki integeritas tinggi.

Dari problem yang terjadi tersebut Penulis dapat menyimpulkan bahwa keadaan di dalam tubuh organisasi advokat sangat mempengaruhi kualitas dan integritas dari para advokat berpotensi merugikan para pencari keadilan. Karena itulah Penulis berpendapat bahwa pemerintah melalui DPR harus segera mengubah UU Advokat dengan memuat perubahan-perubahan sebagai berikut: (a) Bentuk organisasi advokat Indonesia yang semula Single Bar harus diubah menjadi Multi Bar. (b) Menetapkan adanya Dewan Kehormatan Advokat Bersama Nasional (DKABN) dengan memiliki perwakilan di wilayah hukum pengadilan Tinggi di setiap provinsi, sebagai lembaga independen di luar organisasi advokat memiliki kewenangan untuk menegakkan Kode Etik Advokat. (c) Memberikan kewenangan kepada Kementerian Hukum dan HAM sebagai penyelenggara UPA. (d) Menetapkan PKPA diselenggarakan oleh masing-masing organisasi advokat dengan bekerja sama dengan para akademisi untuk membuat kurikulum pendidikan yang berisikan pendidikan hukum, penegakan Kode Etik Advokat serta pendidikan tentang integritas advokat.

*)Hendarsam Marantoko adalah seorang advokat di Jakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait