UU Cipta Kerja Dinilai Bisa Perkuat Produksi Pangan Domestik
Berita

UU Cipta Kerja Dinilai Bisa Perkuat Produksi Pangan Domestik

Persoalan pangan menjadi perhatian pemerintah, karena berdasarkan data Global Food Security Index, Indonesia berada di ranking 62 dari 113 negara untuk ketahanan pangan.

M. Agus Yozami
Bacaan 4 Menit
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES

Kepala Riset Center for Indonesian Policy Study (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan UU Cipta Kerja bisa memberikan dampak positif kepada perkembangan sektor pertanian karena dapat memperkuat produksi pangan domestik dan melindungi petani kecil.

"Kalau produksi pangan dalam negeri ditingkatkan, petani bisa diuntungkan," kata Felippa dalam pernyataan di Jakarta, Rabu (21/10).

Melalui regulasi itu, ia menjelaskan pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan kewenangan berkewajiban mengutamakan dan meningkatkan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.

Dengan adanya kewajiban peningkatan pangan domestik ini, berarti terdapat upaya untuk meningkatkan kualitas panen melalui penyediaan pupuk maupun benih yang dapat menekan biaya dan mampu mendorong produktivitas hasil panen. "Bisa juga kualitas pangan domestik ditingkatkan, sehingga harga jual jadi membaik. Ini harapannya bisa mendorong pendapatan petani," katanya.

Ia memastikan persoalan pangan menjadi perhatian pemerintah, karena berdasarkan data Global Food Security Index, Indonesia berada di ranking 62 dari 113 negara untuk ketahanan pangan. (Baca Juga: Pentingnya Keterbukaan Akses bagi Publik dalam Proses Legislasi)

Peringkat yang berada di tengah-tengah tersebut memperlihatkan bahwa lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan bernutrisi karena harga yang mahal dan tidak terjangkau.

Felippa tidak memungkiri UU Cipta Kerja memungkinkan pemerintah melakukan impor pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun, impor ini tidak bisa dilakukan ugal-ugalan oleh pemerintah.

UU Cipta Kerja telah mengatur perubahan Pasal 12 ayat 2 dan Pasal 36 ayat 3 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Dua pasal itu menegaskan bahwa impor bisa dilakukan dengan memperhatikan kepentingan petani, nelayan, pembudidaya ikan, pelaku usaha pangan mikro dan kecil, melalui kebijakan tarif dan non-tarif.

"Jadi tidak langsung membuka keran impor dan banjir, tetapi tetap ada keseimbangan dengan produksi pangan lokal," katanya.

Motivasi Nelayan Bentuk Koperasi

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan bahwa salah satu manfaat UU Cipta Kerja adalah mendorong kalangan nelayan untuk membentuk koperasi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.

"Transformasi ekonomi nelayan menjadi kata kunci dalam peningkatan kehidupan masyarakat perikanan yang lebih sejahtera," kata Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan Perikanan (PDSPKP), Artati Widiarti, dalam siaran pers di Jakarta, Rabu (21/10).

Artati mengemukakan, pihaknya memastikan bahwa jajarannya terus mengedukasi masyarakat nelayan untuk bertransformasi dari kelompok usaha bersama (KUB) menjadi koperasi. Menurutnya, keberadaan UU Cipta Kerja diharapkan bisa menjadi pendorong peningkatan rasio partisipasi masyarakat untuk berkoperasi sekaligus berkontribusi terhadap perekonomian.

Terlebih, lanjutnya, dalam regulasi tersebut nantinya akan ada penyederhanaan syarat pembentukan dan kemudahan pengelolaan koperasi. "Kami mendorong para nelayan membentuk kelompok-kelompok usaha berupa koperasi atau badan usaha lainnya," ujarnya.

Sebelumnya, KKP mengatakan UU Cipta Kerja mempermudah nelayan untuk melaut karena bakal membuat penyederhanaan dalam perizinan sektor kelautan dan perikanan sehingga produktivitas juga meningkat.

“Ada belasan dokumen perizinan yang harus dibawa di atas kapal saat melaut. Dengan UU Cipta Kerja, disederhanakan dan pengurusannya semua di KKP," kata Plt Dirjen Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini.

Menurut Zaini, selama ini nelayan mengeluhkan banyaknya perizinan yang harus mereka penuhi, belum lagi perizinan tumpang tindih karena pengurusannya di instansi berbeda-beda. Mirisnya lagi, sambung Zaini, lantaran pengurusan izin di banyak instansi, masa berlakunya pun tidak sama. Padahal, lanjutnya, bila salah satu izin habis masa berlakunya, nelayan tidak bisa melaut secara legal.

Zaini memastikan bahwa kehadiran UU Cipta Kerja merupakan solusi terhadap persoalan tersebut. Hal itu, ujar dia, karena perizinan dikeluarkan oleh satu instansi dan tidak ada perbedaan masa berlaku. "Kalau begini kan mereka tidak ragu lagi menangkap ikan di laut," katanya.

Ia mengingatkan bahwa nelayan di Indonesia sebagian besar merupakan nelayan kecil dan menengah dengan ukuran kapal di bawah 30 GT. Jumlahnya mencapai 600 ribuan kapal, sementara yang di atas 30 GT hanya 5.400 kapal.

Sebelumnya, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (indef) Mirah Midadan menyampaikan bahwa sosialisasi terkait penyederhanaan perizinan pada Undang-undang Cipta Kerja melalui Online Single Submission (OSS), harus tersampaikan dengan baik.

"Sosialisasi untuk mengajukan segala jenis perizinan yang diubah atau disimplifikasi melalui OSS harus tersampaikan dengan baik. Peran pemerintah daerah akan sangat dibutuhkan," kata Mirah seperti dilansir Antara pada Diskusi Online bertajuk Meninjau Perizinan Berusaha di UU Cipta Kerja di Jakarta, Senin (20/10).

Mirah menyoroti poin terkait perizinan di bidang usaha perikanan dan kelautan, di mana dua poin yang terdapat dalam Pasal 1 UU tentang Perikanan jika dibandingkan dengan pasal yang terdapat pada UU Cipta Kerja.

Pada pasal 1 UU tentang Perikanan poin 16,17, dan 18, disebutkan bahwa nelayan harus memiliki tiga izin yang harus dipenuhi sebelum berlayar untuk menangkap ikan. Sementara pada UU Cipta Kerja, perizinan tersebut disederhanakan dari tiga menjadi hanya satu perizinan yang harus dipenuhi nelayan kecil maupun nelayan besar sebelum berlayar untuk mencari ikan yang dilakukan melalui sistem OSS.

Menurut Mirah, hal tersebut akan menguntungkan nelayan karena akan mereduksi biaya nelayan dalam mendapatkan izin, karena hanya perlu satu surat izin lewat sistem OSS. Untuk itu, Mirah berharap agar sosialisasi atas simplifikasi perizinan tersebut dapat tersampaikan dengan baik kepada para nelayan, sehingga dapat dimanfaatkan dengan baik.

Tags:

Berita Terkait