UU JPH Digugat ke MK, MUI Lakukan Kajian
Berita

UU JPH Digugat ke MK, MUI Lakukan Kajian

Guna mengidentifikasi efektifitas penyelesaian permasalahan-permasalahan yang muncul di daerah.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan PP No. 31 Tahun 2019 tentang JPH mengubah sistem prosedur dan registrasi sertifikasi halal dari bersifat sukarela (voluntary) menjadi wajib (mandatory) mulai 17 Oktober 2019. Selain itu, beleid itu melahirkan badan baru bernama Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama.

 

Rupanya perubahan itu membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) meradang lantaran terjadi peralihan kewenangan sertifikasi halal yang semula berada pada Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), kini beralih ke BPJPH. Sebagai bentuk protes, LPPOM MUI bersama 31 pimpinan LPPOM MUI provinsi seluruh Indonesia melayangkan uji materi Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 47 ayat (2) UU JPH ke Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Menurut Direktur LPPOM MUI, Lukmahul Hakim keresahan yang terjadi di 31 Provinsi terjadi karena adanya kesalahan pemerintah dalam mempresentasikan pelaksanaan sertifikasi Jaminan Produk Halal. Dia menilai judicial review tersebut bertujuan untuk menyamakan persepsi atau interpretasi terhadap undang-undang.

 

“Dan poin-poin yang diajukan itu adalah poin-poin yang diduga menyebabkan keresahan karena diduga ada miss-interpretasi. Sebenarnya dimasukkan ke MK itu awalnya karena untuk menyamakan persepsi atau interpretasi terhadap UU, bisa jadi outputnya tidak begitu, MK itu penyemaan persepsi, jadi tidak boleh ada mis-interpretasi,” kata Lukmanul Hakim Rabu, (21/8).

 

Atas dasar itu, dia mengaku jika saat ini MUI Pusat tengah melakukan serangkaian kajian ulang. Kajian itu dilakukan terkait efektifitas MUI untuk menyelesaikan keresahan-keresahan LPPOM MUI di daerah.

 

“Ya tentang efektifitas kita menyelesaikan kerasahan-keresahan didaerah melakui forum apa, di dalam UU nya tidak masalah kita enggak bahas tentang UU tapi karena ada impact yang mis-interpretasi itu harus dijelaskan,” tambahnya.

 

Di sisi lain, Lukmanul membantah jika ada gesekan antara BPJPH dengan MUI. Menurutnya, keberadaan UU Jaminan Produk Halal sudah menjadi keputusan politik di tahun 2014 yang pada proses penyusunannya MUI menjadi pihak yang dilibatkan sejak awal. Namun permasalahannya saat ini, lanjutnya, terletak pada implementasinya.

 

“Enggak ada masalah, itu sudah keputusan politik kita di 2014, bahwa ada pembagian peran antara peran administratif dan substantif antara pemerintah dalam hal ini BPJPH dan MUI. Substantif halal mulai dari pemeriksaan dan fatwa yang sifatya substansi di MUI, kalau hal yang sifatnya administratif itu di BPJPH ada di badan pemerintah, enggak ada masalah yang kita ramu adalah bagaimana pelaksanaanya,” tegasnya.

 

(Baca: Sertifikasi Halal Beralih, MUI Persoalkan UU Jaminan Produk Halal)

 

Sementara itu, Direktur Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah mengaku jika keresahan itu muncul karena ada tindakan intimidasi untuk tidak melakukan pendaftaran sertifikasi halal. Selain itu, keberadaan BPJPH memunculkan tanda tanya bagi auditor-auditor LPPOM MUI yang berada di seluruh Indonesia.

 

Pasalnya, bisa saja kehadiran BPJPH menghilangkan hak atas pekerjaan yang sebenarnya dijamin oleh konsitusinonal. Maka sudah selayaknya pemerintah melakukan sharing informasi mengenai posisi dan kedudukan auditor LPPOM MUI pasca lahirnya BPJPH.

 

“UU tidak boleh ketika diberlakukan orang jadi kehilangan hak, karena jaminan konstisusinonal. Justru harusnya ada penguatan pada orang yang sudah punya pekerjaan, sekarang yang sudah ada kerjaan dpercaya sama publik dengan kemudian begitu saja hilang. Perlu ada sharing sehingga mereka tenang, tidak mengalami intimidasi,” jelasnya.

 

Sebelumnya, IHW mengajukan judicial review atas PP 31/2019 yang baru saja terbit pada Mei lalu. Ikhsan Abdullah menjelaskan bahwa judicial review ini dilakukan dengan mempertimbangkan pada 5 (lima) alasan penting. Pertama, PP ini berpotensi membebani masyarakat khususnya dunia usaha. Mandatori sertifikasi halal berpotensi membebani UKM, oleh karena itu seharusnya negara memsubsidi sertifikasi halal bagi UKM, tidak dibebankan kepada pihak-pihak lain sebagaimana tersirat dalam Pasal 62 dan Pasal 63 PP JPH.

 

Kedua, PP ini mereduksi atau mendelusi kewenangan MUI sebagai stakeholder yang diamanatkan UU JPH, yakni sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk menetapkan kehalalan produk.

 

Ketiga, semangat PP JPH mereduksi atau mendelusi kewenangan MUI, tercermin sebagaimana yang tersurat di dalam Pasal 22 ayat (2) yang menyatakan “Pendidikan dan pelatihan sertifkasi auditor halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh BPJPH dan dapat diselenggarakan oleh lembaga pendidikan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

 

Padahal, kata Ikhsan, di dalam UU JPH Pasal 14 ayat (2) huruf f telah jelas di atur bahwa “Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan memperoleh sertifikat dari MUI”.

 

Keempat, ketentuan mengenai Kerjasama Internasional sebagaimana yang diatur pada Pasal 25 pada PP ini tidak melibatkan kewenangan MUI yang berkaitan dengan pengakuan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi halal luar negeri maka berpotensi memudahkan masuknya produk impor dari luar negeri.

 

Menurut Ikhsan, pasar Indonesia akan dibanjiri oleh produk-produk impor karena pengakuan sertifikasi produk asing tersebut tidak berdasarkan standar kehalalan MUI. Padahal di dalam UU JPH telah jelas di atur bahwa menetapkan kehalalan produk adalah kewenangan MUI. Peran dan fungsi fatwa MUI di antaranya adalah mencegah masuknya barang-barang asing yang tidak jelas kehalalannya.

 

Kelima, jiwa dari PP ini pada intinya mengambil kewenangan stakeholder yang lain dan bukan membangun semangat kerjasama sehingga akan berdampak buruk bagi pertumbuhan produk halal dan industri halal di Indonesia.

 

Tags:

Berita Terkait