YLBHI-LBH Desak Revisi UU ITE Dilakukan Secara Partisipatif
Utama

YLBHI-LBH Desak Revisi UU ITE Dilakukan Secara Partisipatif

Masyarakat sipil mencatat proses revisi kedua UU ITE di DPR dilakukan secara tertutup. Pembahasan harus melibatkan partisipasi publik secara bermakna.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Pengacara publik LBH Makassar Abdul Azis Dumpa, mengatakan beberapa kasus yang ditangani LBH Makassar berkaitan dengan jeratan UU ITE. Misalnya, ada korban yang berprofesi sebagai aparatur sipil negara (ASN) dilaporkan dengan pasal pencemaran nama baik pasal 27 ayat (3) UU ITE. Dalam proses persidangan, korban malah e divonis 8 tahun penjara.

Padahal yang dilakukan ASN itu hanya kritik terhadap atasannya. Pasal serupa dikenakan kepada jurnalis tahun 2016 jurnalis karena mengomentari soal dugaan korupsi tapi akhirnya pengadilan membebaskan karena dinilai kurang bukti. Tahun yang sama pasal pencemaran nama baik UU ITE juga menimpa ibu rumah tangga, Yusniar atas laporan anggota DPRD Jeneponto. Majelis hakim menjatuhkan vonis bebas kepada Yusniar.

Setelah kasus Yusniar itu Abdul mencatat pemerintah kemudian melakukan revisi pertama terhadap UU ITE. Sayangnya, revisi itu tetap mempertahankan pasal-pasal karet. Revisi itu antara lain mengubah delik penghinaan dan pencemaran nama baik menjadi delik aduan. Revisi itu tidak memberi perubahan yang signifikan karena kriminalisasi terhadap masyarakat sipil dengan mengggunakan UU ITE tetap terjadi.

Dari berbagai kasus itu, Abdul menyimpulkan penggunaan pasal karet UU ITE digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat, berekspresi, dan kebebasan pers. Penggunaan pasal karet UU ITE atau pelaporan ke polisi kerap dilakukan oleh pejabat, perusahaan, atau pihak yang punya relasi dengan kekuasaan. Tercatat sudah banyak profesi yang terjerat pasal karet UU ITE mulai dari mahasiswa, konsumen, ibu rumah tangga, dosen, korban kekerasan, kelompok rentan, dan jurnalis.

“Motif penggunaan pasal karet ini untuk membungkam kritik, balas dendam, dan lainnya tapi bukan untuk keadilan,” urainya.

Terkait revisi kedua UU ITE YLBHI-LBH mendesak sedikitnya 4 hal. Pertama, Pemerintah dan DPR menunda pengesahan revisi kedua UU ITE. Kedua, pemerintah (Presiden RI) dan DPR RI harus memberikan akses informasi revisi UU ITE  secara mudah dan terbuka  serta membuka kesempatan seluas-luasnya kepada  masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna.

Ketiga, pemerintah dan DPR RI harus memastikan revisi UU ITE dibahas secara demokratis dan mengatur ketentuan yang sejalan dengan prinsip hak asasi manusia dan Konstitusi. Keempat, pemerintah dan DPR untuk mencabut pasal-pasal karet dalam UU ITE yang mengancam kemerdekaan berpendapat dan berekspresi  (Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2) dan (3).

Sebagaimana diketahui, proses pembahasan Perubahan Kedua atas UU 11/2008  masih berjalan di parlemen antara Komisi I dengan pemerintah. Panja RUU ITE Komisi I mulai membahas daftar inventarisasi masalah (DIM). Sayangnya, pembahasan terkesan tertutup. Akibatnya publik tak memiliki akses luas dalam memantau jalannya pembahasan. Padahal sebagaimana putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 partisipasi bermakna dari masyarakat menjadi syarat dalam pembentukan peraturan perundangan.

Tags:

Berita Terkait