Zakat dan Wakaf untuk Bantu Korban Covid-19, Mengapa Tidak?
Berita

Zakat dan Wakaf untuk Bantu Korban Covid-19, Mengapa Tidak?

Pemberian zakat dapat dilakukan berdasarkan prioritas. Mereka yang terkena PHK dan jatuh miskin di era pandemi dapat menjadi penerima zakat.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf –Uswatun salah satu anggota penyusun Rancangannya di Departemen Agama—sudah mengakomodasi gagasan tentang keanekaragaman benda wakaf. Selain benda tidak bergerak (misalnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan hak atas satuan rumah susun), ada benda bergerak yang dijadikan sebagai benda wakaf. Misalnya, uang, logam mulia, surat berharga, kiendaraan, hak atas kekayaan intelektual, dan hak sewa. Dalam konteks pandemi seperti sekarang, salah satu benda wakaf yang sangat berguna adalah rumah sakit berbasis wakaf. Dilihat dari organisasi keamanan yang membangunan, sudah ada hampir 500 unit rumah sakit dan klinik.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Farida Prihatini, berpendapat bahwa zakat merupakan salah satu komponen yang dapat menolong warga miskin semasa Covid-19. Pembatasan-pembatasan yang dilakukan pasti berdampak pada warga, ditandai dengan munculnya warga fakir dan miskin baru. Misalnya, warga yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja. Menurut dia, ada kemungkinan akibat pandemi corona, suatu keluarga berubah menjadi mustahik (penerima zakat).

 

(Baca juga: Tarik Ulur Paradigma Baru Hukum Wakaf dari Ritual Menuju Komersial)

 

Dalam hukum Islam, ada delapan kategori penerima zakat yakni fakir (orang yang tidak memiliki harta), miskin (orang yang penghasilannya tidak mencukupi), amil (penerima zakat), muallaf (orang yang baru masuk Islam), riqab (hamba sahaya atau budak), gharim (orang yang memiliki banyak utang), fisabilillah (pejuang di jalan Allah), dan ibnu sabil (musafir). Pertanyaan hukum yang sering muncul adalah: siapa yang harus didahulukan dari kedelapan penerima zakat itu? Pada umumnya ulama menegaskan zakat wajib didistribusikan dan semua mustahik punya hak yang sama. Tetapi ada yang berpendapat zakat dapat diberikan kepada satu golongan saja, tergantung mana yang paling membutuhkan.

 

Bagaimana dengan hukum di Indonesia? Farida menunjuk ketentuan Pasal 25-26 UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Pasal 25 menegaskan zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam. Selanjutnya, Pasal 26 menyatakan pendistribusian zakat dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. “Berdasarkan UU ini boleh mendistribusikan zakat kepada satu atau beberapa golongan saja dan memperhatikan skala prioritas,” pungkasnya.

 

Dalam konteks ini pula terbuka ruang memberikan zakat kepada mereka yang akhirnya jatuh miskin akibat terkena dampak pencegahan Covid-19. Sementara benda yang diwakafkan dapat dimanfaatkan untuk membantu pengobatan pasien, menyediakan alat pelindung diri, bahkan menyediakan kebutuhan pangan warga miskin.

 

Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Ilmu Hukum Islam di FH UI, 22 April 2009, Uswatun Hasanah menegaskan secara normatif, nyaris tidak ada hambatan dari peraturan perundang-undangan untuk mengembangkan wakaf produktif. Tinggal bagaimana komitmen bersama para pengelola dan pihak lain yang berkepentingan. Kalimat dalam pidatonya seakan relevan dengan kondisi pandemi sekarang: “Wakaf uang penting sekali untuk dikembangkan di Indonesia di saat kondisi perekonomian kian memburuk”.

 

Simak Informasi Penting Covid-19 Lainnya:

 

Tags:

Berita Terkait