Memo untuk "Sang Promotor", Benang Merah Nurhadi dan Lippo Group
Utama

Memo untuk "Sang Promotor", Benang Merah Nurhadi dan Lippo Group

Dua saksi menyebutkan sang "promotor" adalah Nurhadi.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Wresti Kristian Hesti dan Wawan Sulistiawan bersaksi dalam sidang perkara suap dengan terdakwa Doddy Aryanto Supeno di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/7). Foto: NOV
Wresti Kristian Hesti dan Wawan Sulistiawan bersaksi dalam sidang perkara suap dengan terdakwa Doddy Aryanto Supeno di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/7). Foto: NOV
Karyawan legal PT Artha Pratama Anugrah, Wresti Kristian Hesti menyebutkan dirinya menerima "order" dari Chaiperson PT Paramount Enterprise International, Eddy Sindoro untuk mengurus legal sejumlah perkara Lippo Group dan Paramount. Ia diperintahkan membuat memo, tabel, dan pointer perkara untuk diserahkan kepada Eddy.

Dokumen memo, pointer, dan tabel pun ditunjukan penuntut umum KPK di hadapan persidangan. Tertulis, tujuan memo, yakni "Yth Promotor". Wresti mengaku, tidak mengetahui siapa promotor yang dimaksud. Namun, sesuai penyampaian Doddy Aryanto Supeno kepadanya, promotor itu adalah Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.

Selain "Promotor", nama Nurhadi muncul dalam sejumlah rekaman sadapan dengan sebutan Pak "Wu" dan Pak "N". Meski awalnya, Wresti tidak mengetahui siapa orang yang disebut dengan panggilan Pak Wu dan Pak N, tetapi ketika ia menanyakan kepada Doddy, terungkap bahwa Pak Wu dan Pak N adalah Nurhadi.

"Jadi, istilah promotor itu pertama kali. Habis itu 'N', habis itu 'Wu'. Tapi, itu sama apa yang dimaksud, karena Pak Doddy bilang Pak Wu adalah Pak Nurhadi. Itu yang saya dengar dari Pak Doddy. Waktu itu, saya pernah nanya, 'Wu" itu siapa," katanya saat bersaksi dalam sidang perkara suap Doddy di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (27/7).

Wresti menjelaskan, setiap diperintahkan untuk membuat memo kepada Pak Wu, ia biasanya mencantumkan "Yth Promotor" di bagian atas memo. Ia sudah lupa memo-memo terkait perkara apa saja yang pernah dibuatnya. Yang pasti, salah satu memo berkaitan dengan eksekusi perkara sengketa tanah Paramount.

Isi memo itu, memohon bantuan kepada promotor agar isi Surat Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat No.W10.U1.Ht.065/1987 Eks 2013.XI.01.12831.TW/Estu tanggal 11 November 2013 tentang Permintaan Bantuan Eksekusi Lanjutan dapat direvisi pada bagian alinea terakhir kalimat "belum dapat dieksekusi" menjadi "tidak dapat dieksekusi".

Tak hanya memo, Wresti juga membuat pointer dan tabel sejumlah perkara Lippo Group yang ia persiapkan sebagai laporan untuk Eddy. Beberapa perkara dimaksud adalah perkara AcrossAsia Limited (AAL), Astro, Kymco, dan GMTD Makassar (PT Gowa Makassar Tourism Development) yang semuanya berkaitan dengan Lippo Group.

Pernyataan Wresti mengenai "Wu" adalah Nurhadi dibenarkan pula oleh saksi lainnya, Wawan Sulistiawan. Wawan juga mengaku pernah diberi tahu jika "Wu"merupakan sebutan untuk Nurhadi. Akan tetapi, Doddy membantah pernah menyampaikan bahwa "Wu" maupun "promotor" adalah Nurhadi. Menurutnya, "promotor" yang dimaksud adalah Eddy Sindoro.

Lantas, bagaimana Wresti bisa mendapatkan "order" dari Eddy untuk menangani sejumlah perkara Lippo Group? Wresti menceritakan, dahulu ia merupakan karyawan dari PT Pacific Utama. Pada 2009, PT Pacific merupakan bagian dari Lippo Group, dimana Eddy menjadi salah satu petinggi di perusahaan tersebut.

Kemudian, Wresti diminta menjadi konsultan legal di PT Artha Pratama Anugrah. Wresti diperbolehkan Eddy menjadi konsultan untuk perusahaan-perusahaan lain. Hingga akhirnya, ia diberi perintah untuk mengurus legal sejumlah perkara perusahaan terkait Lippo Group. Ia mengaku, setiap perkembangan perkara, dilaporkan kepada Eddy.

Saat menerima "order" dari Eddy, Wresti sempat menyampaikan, ia tidak mau mengurusi pekerjaan lain, selain yang terkait hukum. Lalu, Eddy berkata kepada Wresti, untuk urusan teknis bisa meminta bantuan Doddy. Doddy sendiri adalah "orang lama" di Lippo Group. Doddy pernah menjadi Direktur di anak usaha Lippo Group, PT Dunia Kreasi Keluarga.

Atas seizin Eddy itu lah, Wresti berhubungan dengan Doddy jika ada pekerjaan yang menyangkut teknis. Sebagaimana diketahui, Doddy tertangkap tangan usai menyerahkan uang sejumlah Rp50 juta kepada Panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution di Hotel Acacia, Senen, Jakarta Pusat, pada Rabu, 20 April 2016 lalu.

Wresti mengungkapkan, uang Rp50 juta itu diberikan kepada Edy sebagai sumbangan untuk pernikahan anaknya. Uang tersebut disiapkan oleh Presiden Direktur Paramount Ervan Adi Nugroho. Setelah uang siap, Wresti memerintahkan Wawan untuk menyerahkan uang kepada Doddy, dan Doddy menyerahkan kepada Edy.

Walau mengaku uang Rp50 juta sebagai sumbangan pernikahan anak Edy, Wresti tidak menampik bila sebelumnya pernah meminta bantuan Edy dalam pendaftaran peninjauan kembali (PK) perkara niaga AAL melawan PT First Media. Ia meminta Edy menerima pendaftaran PK AAL, meski tenggat waktu pengajuan PK sudah lewat.

Berdasarkan putusan kasasi MA No.214/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 31 Juli 2013, AAL dinyatakan pailit. Apabila mengacu Pasal 295 ayat (2) UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, AAL hanya memiliki waktu 180 hari untuk mengajukan PK. Faktanya, sampai batas waktu yang ditentukan, AAL tidak mengajukan PK.

Wresti menyatakan, mulanya Edy menolak, tetapi ia mencoba membujuk Edy. Toh, Edy hanya menerima pendaftaran, sedangkan keputusannya diserahkan kepada MA. Alhasil, Edy pun menyanggupi dan meminta uang sejumlah Rp500 juta. Belakangan, Wresti mendapat kabar AAL batal mengajukan PK, sehingga ia tidak lagi mengurusi PK AAL.

Selain PK AAL, Wresti juga sempat meminta Edy untuk membantu menunda proses pelaksanaan aanmaning PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) melawan PT Kwang Yang Motor Co  Ltd (PT Kymco) dengan imbalan uang Rp100 juta. Sebelumnya, Wresti sudah meminta persetujuan Eddy untuk meminta uang dari Direktur Utama PT MTP Hery Sugiarto.

Setelah uang siap, Wresti meminta Wawan mengambil uang untuk selanjutnya diserahkan kepada Edy melalui Doddy pada Desember 2015. Akan tetapi, Wresti mengaku tidak mengetahui lagi perkembangan pengurusan aanmaning tersebut. "Sebab, saya ditelpon dan dibilang sudah diurus lawyer. Jadi, saya nggak urusin lagi," ujarnya.

Mengenai uang Rp100 juta ini, Wawan yang bersaksi bersamaan dengan Wresti, membantah. Ia mengatakan, meski Wresti pernah memerintahkan untuk mengambil uang, tetapi bukan uang Rp100 juta untuk Doddy, melainkan uang Rp10 juta untuk kebutuhan operasionalnya. Senada, Edy pun membantah menerima uang Rp100 juta dari Doddy.

Edy berdalih pertemuannya dengan Doddy di basement Hotel Acacia pada Desember 2015 bukan untuk penyerahan uang. Namun, pertemuan itu hanya membicarakan soal permintaan bantuan dan persyaratan magang untuk anak Edy di Rumah Sakit Siloam. Untuk diketahui, Siloam juga merupakan bagian dari Lippo Group.

Lippo Group memang memiliki banyak anak perusahaan. Dalam dakwaan penuntut umum, PT Artha Pratama Anugrah disebut sebagai anak perusahaan Lippo Group dengan Presiden Komisaris Eddy Sindoro. Lippo Group juga disebut memilki anak perusahaan, yakni Metropolitan Tirta Perdana dan PT Paramount Enterprise International.

Telepon Nurhadi dan dokumen yang tercabik
Saat bersaksi dalam sidang Doddy, Edy mengaku pernah menerima telepon dari Nurhadi. Telepon itu diterima Edy melalui telepon selular sopir Nurhadi yang bernama Royani. Dalam sambungan telepon, Nurhadi menanyakan apa berkas PK sudah dikirim? Akan tetapi, Edy tidak mengetahui berkas PK apa yang dimaksud Nurhadi.

Ketika ditanyakan, apakah berkas PK yang dimaksud adalah PK AAL, Edy menampik. Pasalnya, menurut Edy, telepon itu ia terima pada Desember 2015. Sementara, AAL baru mendaftarkan PK pada 2 Maret 2016. "Jadi, ditanya, berkas itu sudah dikirim belum? Masalahnya, waktu itu belum ada PK (AAL). Makanya saya bingung," ucapnya.

Ternyata, keterkaitan Nurhadi tidak hanya terungkap dalam perkara yang berkaitan dengan Edy. Penuntut umum Fitroh Rochcahyanto menyatakan, ada keterkaitan antara Nurhadi, Eddy, dan Lippo Group. Hal ini dapat dilihat dari memo dan sejumlah dokumen terkait perkara Lippo Group yang dibuat oleh Wresti.

Fitroh mengungkapkan, memo dan dokumen yang ditunjukan di hadapan persidangan serupa dengan sobekan-sobekan dokumen yang ditemukan di rumah Nurhadi. "Iya, semuanya. Yang disobek-sobek istrinya Nurhadi kan itu. Yang dari Lippo itu yang salah satu yang kita tayangkan tadi kan. Promotor," tuturnya.

Oleh karena itu, menjadi tidak heran jika beberapa waktu lalu, Ketua KPK Agus Rahardjo mengakui telah menerbitkan surat perintah penyelidikan terhadap Nurhadi. "Ya, makanya, itu kita munculkan. Itu nanti kita kembangkan. Makanya, kan ada surat penyelidikan Nurhadi itu. Ini untuk memperkuat. Itu saja," tandas Fitroh. 
Tags:

Berita Terkait