Ketidakonsistenan Polri dalam Kasus Kebakaran Hutan Menuai Pertanyaan
Berita

Ketidakonsistenan Polri dalam Kasus Kebakaran Hutan Menuai Pertanyaan

Karena perbedaan jawaban penanganan kasus di Polres dan Polda. Begitu pula status tersangka dalam penyidikan hingga penerbitan SP3.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kebakaran hutan. Foto: RES
Ilustrasi kebakaran hutan. Foto: RES
Penghentian penyidikan perkara terhadap kasus kebakaran hutan di beberapa daerah terhadap sejumlah perusahaan menuai pertanyaan. Keterangan antara Polda Riau dan Kabareskrim tidak senada. Yakni perihal ada tidaknya tersangka ketika diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Kabareskrim Mabes Polri, Komisaris Jenderal (Komjen) Ari Dono Sukmanto mengatakan keputusan menghentikan penyidikan perkara terhadap 15 perusahaan setelah terdapat tersangka. Selain itu, kasus kebakaran hutan yang diduga dilakukan oleh 15 perusahaan itu tidak seluruhnya ditangani oleh Polda. Namun juga ada pihak Polres yang menangani kasus tersebut.

Sembilan diantaranya ditangani Polda yang kemudian dihentikan penyidikannya. Sementara 6 lainnya ditangani Polres yang kemudian ditarik ke tingkat Polda. Ari Dono mengatakan, meski belum terdapat tersangka yakni dari perseorangan yang dimintakan pertanggungjawabannya, namun Polri sudah menetapkan tersangka dari pihak perusahaan.

“Tersangka belum ada dari perseorangan. Tapi dari perusahaan sudah ada,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Panitia Kerja (Panja) Kebakaran Hutan dan Lahan (Kahutla) di Gedung DPR, Senin (24/10).

Penjelasan Kabareskrim tak sama dengan sejumlah orang dari pihak Polda Riau yang dimintakan penjelasannya. Pasalnya, pihak Polda Riau kala itu di Panja dalam menerbitkan SP3 belum terdapat tersangka. Begitu pula 15 perusahaan tersebut perkaranya ditangani oleh Polda, bukan Polres.

Ketidaksinkronan jawaban tersebut menjadi sorotan Ketua Panja Kahutla, Benny K Harman. Menurutnya jawaban Kabareskrim berbeda dengan pejabat Polda Riau yang sudah dipanggil Panja untuk dimintakan penjelasannya. Alasan Panja memanggil pejabat Polda dalam penanganan kasus Kahutla lantaran kasus kebakaran hutan ditangani Polda, bukan Polres. (Baca Juga: Pemerintah Diminta Serius Kawal Proses Hukum Korporasi Pelaku Karhutla)

Benny bersama tim Panja turun ke lapangan dalam rangka mengumpulkan informasi. Menurutnya,pihak Polda Riau dan lainnya membenarkan sebagai pihak yang menangani kasus Kahutla. “Tapi ini kenapa berubah lagi keterangannya. Setahu saya, karena saya pimpin ke Polda dan semua ditangani Diretorak Kriminal Khusus. Tapi ini kenapa ini ditangan Polres. Saya waktu itu tanya, ini siapa yang tangani. Siap, Polda Pak. Tapi ini kok lain lagi,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi III DPR ini menilai  Panja tidak dalam kapasitas melakukan intervensi dalam penegakan hukum. Hanya saja sebagai pengawas, penegakan hukum mesti sesuai dengan KUHAP. Menurutnya,penegakan hukum tak boleh menyimpang dari hukum acara. Sebab boleh jadi, SP3 yang diterbitkan Polda menjadi cacat formil.

“Ini saja jawabannya belum konsisten. Polda jawabannya belum ada. Ini yang kita tanya. Kita tidak ada niat intervensi. Saya tanya ke Kapolda, sudah ada tersangka, belum jawabannya,” ujarnya.

Lebih lanjut politisi Demokrat itu mengatakan masalah kebakaran hutan dan lahan menjadi persoalan dunia. Ketika kasus Kahutla mencuat, Presiden Jokowi turun dan masuk ke lahan terbakar di tengah tebalnya asap. Presiden pun tak takut sedikitpun dengan asap. “Luar biasa,” tambahnya. (Baca Juga: Panja Karhutla Endus Kejanggalan SP3 Perusahaan Pembakar Lahan)

Kedatangan presiden pun ditindaklanjuti dengan penetapan tersangka oleh pihak kepolisian. Ia mengaku tindakan presiden tak hanya simbolis. Bahkan mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Namun setahun kemudian, presiden menerbitkan kebijakan pengampunan pajak. “Tiba-tiba ada pengampunan. Jangan-jangan ini ada dugaan pengampunan terhadap perusahaan itu. Namanya juga spekulasi bisa kemana-mana,” ujarnya.

Polri gagal
Anggota Panja Risa Mariska menambahkan Polri dinilai gagal dalam menangani kasus kebakaran hutan dan lahan. Pasalnya proses penyidikan hingga dihentikannya penyidikan dinilai cacat formil. Alasannya karenaahli yang dimintakan pendapat dalam penyidikan kasus tersebut tidak sesuai dengan disiplin ilmu.

Misalnya, terdapat ahli di bidang kesehatan dimintakan pendapatnya seputar kebakaran hutan. Mestinya, seorang ahli dibuktikan dengan ijazah terkait dengan keahliannya di bidang lingkungan hidup. Karenanya, perlu dilihat sebab akibat antara peristiwa kebakaran hutan sebagai satu kesatuan.

“Kami melihat SP3 ini cacat hukum dan Polri gagal. Kami ingin ke depan Polri lebih baik. Apalagi kasus Kahurla adalah atensi dari presiden, jadi Polri harus lebih cermat,” ujar anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Menanggapi tudingan Mariska, Kabareskrim meluruskan. Menurut Ari Dono, ahli kesehatan dimintakan pendapatnya seputar dampak kesehatan dari kebakaran hutan yang meluas kala itu. “Kalau ada ahli kesehatan, pendapatnya bukan kebakarannya. Kalau proses kebakarnya, kita tidak ambil,” pungkasnya. (Baca Juga: Polda Riau Siap Hadapi Gugatan SP3 Karhutla)
Tags:

Berita Terkait